Kronologi Tentang Pertambangan Minyak Dan Gas Di Laut Timor


Peridoe Portugis tahun 1500-an sampai 1975

1893: Eksplorasi non-pribumi sumber minyak lepas pantai yang pertama di Timor Portugis dilakukan di Laclubar, Manatuto, dengan mengekspor dalam skala kecil.

1956: Perusahaan Timor Oil yang berbasis di Australia memulai eksplorasi minyak lepas pantai dan 12 tahun kemudian tergabung dengan perusahaan lain.

1956: Portugal mengklaim kedaulatan atas dasar laut sesuai dengan prinsip-prinsip garis tengah yang kemudian diratifikasi pada Konvensi Wina tahun 1958. Australia menolak klaim itu, dengan pernyataan persaingan mengenai wilayahnya.

1970-1972: Beberapa perusahaan perminyakan Australia melakukan eksplorasi dekat dengan dan di lepas pantai bagian selatan Timor Portugis.

1970: Australia dan Indonesia mulai mengadakan negosiasi atas batas-batas dasar laut, tanpa mengindahkan penolakan Portugis bahwa dasar laut hendaknya dibagikan di tengah antara Timor dan Australia. Australia dan Indonesia menandatangani kesepakatan "menetapkan batas-batas tertentu di dasar laut" pada 18 Mei 1971 dan 9 Oktober 1972, selanjutnya diberlakukan pada bulan Nopember 1973. Kesepakatan-kesepakatan tersebut didasari pada prinsip landas kontinental, yang hasilnya menguntungkan Australia. Karena Portugal tidak mengambil bagian dalam kesepakatan itu, maka kedua negara tidak menentukan garis batas antar Timor Portugis dan Australia, akhirnya memunculkan istilah "Celah Timor".

1974: Portugal memberi izin eksplorasi eksklusif kepada sebuah perusahaan perminyakan Amerika Serikat, Oceanic Exploration/Petro Timor di Laut Timor. Area eksplorasi yang diizinkan meliputi 60.700 kilometer persegi yang luasnya mulai dari dekat pesisir pantai selatan Timor Portugis sampai dengan garis tengah dengan Australia. Australia menolak perizinan itu.

1974: Ladang Sunrise Gas ditemukan, walaupun isu-isu politik dan lainnya mengakibatkan penundaan pertambangan sampai dengan beberapa tahun terakhir.

17 Agt 1975: Duta Besar Australia untuk Indonesia Richard Woolcott mengirim telegram kepada pemeritahnya "… menutup celah yang sekarang dengan batas yang disetujui … lebih mudah dinegosiasikan dengan Indonesia … dari pada dengan Portugal atau Timor Portugis yang merdeka.


Pendudukan Indonesia tahun 1975 sampai 1999

7 Des 1975: Indonesia mencaplok Timor Lorosa’e. Petro Timor dan semua lembaga Portugis melarikan diri.

17 Juli 1976: Indonesia mengklaim untuk mengabungkan Timor Lorosa’e sebagai propinsinya yang ke-27, tetapi PBB tetap memandang wilayah itu sebagai jajahan Portugis sampai 1999.

Okt 1976: Menteri Kehakiman Indonesia, Prof. Mochtar Kosumaatmadja menyatakan bahwa Indonesia telah siap mengadakan negosiasi mengenai batas dasar laut untuk menutup celah Timor dengan syarat-syarat yang sama sebagaimana termuat dalam kesepakatan-kesepakatan antara Australia-Indonesia pada tahun 1971-2 (batas-batas landas kontinental yang menguntungkan Australia)

20 Jan 1978: Australia "mengakui secara de facto" bahwa Timor Lorosa’e adalah bagian dari Indonesia.

Feb 1979: Australia dan Indonesia mulai menegosiasi batas laut bagian Selatan dari Timor Lorosa’e, yang menandakan pengakuan Australia "de jure atau secara hukum" atas aneksasi Indonesia terhadap Timor Lorosa’e. Lebih dari belasan negosiasi dilakukan pada dekade berikutnya.

Okt 1983: Sumur minyak Jabiru 1a di laut Timor antara Timor Barat dan Australia), dibor oleh perusahaan BHP Australia dengan menemukan kandungan minyak yang cukup besar. Eksplorasi dan uji-coba sumur-sumur minyak tetap berlangsung dengan penyulingannya dimulai pada 1986. Pada tahun 1989 dikonfirmasikan bahwa cadangan kandungan minyak di Laut Timor ada 241 juta barel dan sumur minyak Jabiru La memproduksi 42.000 barel setiap hari.

11 Des 1989: Menteri Luar Negeri Australia Gareth Evans dan menteri Luar Negeri Indonesia Ali Alatas menandatangani Kesepakatan Celah Timor dalam satu acara di atas pesawat terbang yang sedang melintasi Laut Timor. Kesepakatan itu menentukan Zona Kerjasama (ZOC) di bagian utara garis tengah antara Timor Lorosa’e dan Australia. Kesepakatan inilah menuntun eksplorasi bersama antara Indonesia dan Australia dengan hasil bagi pendapatan 50%-50% di daerah yang diduduki secara illegal. Portugal langsung memprotes kesepakatan ini.

Okt 1990: Juru bicara perlawanan José Ramos-Horta melayankan sebuah surat dengan mengatakan: "Perusahaan-perusahaan perminyakan Australia disarankan dengan tegas agar tidak melompat masuk ke daerah Celah Timor. … Suatu nasehat yang baik bagi bisnismen Australia: tunggu dan lihat bagaimana perkembangannya dalam 5 sampai 10 tahun mendatang"

Feb 1991: Pemimpin Perlawanan Timor Lorosa’e Xanana Gusmao menulis surat kepada Parlamen Australia dengan mengatakan: "Australia telah menjadi kaki-tangan pembantaian yang dilakukan oleh tentara-tentara pendudukan, karena kepentingan-kepentingan yang diinginkan oleh Australia hanyalah untuk mempertahankan pengabungan Timor Lorosa’e ke Indonesia adalah sangat jelas. Bukti yang paling baik adalah kesepakatan Celah Timor.

9 Feb 1991: Kesepakatan Celah Timor diberlakukan setelah diratifikasi.

Feb 1991: Pemerintah Portugis mulai mengadu perkara melawan Australia dengan mengadu perkara ini di Pengadilan Internasional di Nederland, Belanda. Portugal berpendapat bahwa Kesepakatan Celah Timor melanggar hak penentuan nasib sendiri Timor Lorosa’e dan melanggar hak Portugal sebagai penguasa administratif. Karena Indonesia tidak menerima jurisdiksi pengadilan tersebut, maka hanya Australia yang digugat.

12 Nov 1991: Tentara Indonesia membantai masyarakat Timor Lorosa’e yang jumlahnya lebih dari 250 orang dalam demonstrasi damai di makam Santa Cruz Dili.

11 Des 1991: Australia dan Indonesia melakukan kontrak pembagian hasil kepada Phillips Petroleum, Royal Dutch Shell, Woodside Energy dan perusashaan minyak lainnya untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber-sumber kandungan minyak di Zona Kerjasama Celah Timor. Petro Timor menolak tawaran dengan menyatakan bahwa kesepakatan itu melanggar klaim sahnya. Kontrak tetap diberikan dan eksplorasi tetap berlangsung selama tahun 1990-an.

1994: Minyak yang pertama kali dapat dieksplorasi di Zona Kerja sama ditemukan di Elang Kakatua.

Juni 1994: Pengadilan International mengadili pengaduan Portugal melawan Australia dengan suara 14-2 dimana pengadilan memperkuat hak penentuan nasib sendiri namun Kesepakatan Celah Timor tidak dapat dibatalkan karena Indonesia yang dituntut atas pengklaiman Timor Lorosa’e tidak menerima jurisdiksi pengadilan itu. Ada dua hakim yang tidak setuju sedang yang satunya memberikan catatan bahwa "tindakan Australia untuk masuk dalam Kesepakatan Celah Timor akan bertentangan dengan hak-hak rakyat Timor Lorosa’e."

Okt 1994: Woodside menemukan sumber minyak di Laminaria, sepanjang daerah kerja sama yang mana daerah itu bisa menjadi milik Timor Lorosa’e jika batas laut 1971-2 antara Australia dan Indonesia ditentukan secara jujur dengan melibatkan Portugal / orang Timor Lorosa’e.

1995: Phillips Petroleum dan perusahaan-perusahaan lainnya menemukan ladang minyak dan gas Bayu-Undan di daerah kerja sama.

14 Mar 1997: Australia dan Indonesia menandatangani kesepakatan tentang batas perairan laut, namun bukan batas kekayaan-kekayaan dasar-laut sesuai dengan prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh Konvensi hukum laut PBB 1982.

22 Juli 1998: Pemimpin CNRT Mari Alkatiri, José Ramos Horta dan João Carrascalão mengeluarkan suatu pernyataan: "CNRT mendukung hak-hak para kontraktor Celah Timor yang sedang beroperasi dan juga pemerintah Australia untuk bersama-sama mengeksplorasi cadangan-cadangan minyak lepas pantai Timor Lorosa’e, bekerjasama dengan orang Timor Lorosa’e."

Juli 1998: Memulai produksi di ladang minyak yang kecil Elang Kakatua yang terbentang di daerah kerja sama . Pada tahun 2002, ladang itu sering mengalami kekeringan karena telah memproduksi sekitar 31 juta barel minyak untuk Phillips Petroleum dan mitra-mitranya. Walaupun Australia dan Indonesia telah mendapat keuntungan dari ladang ini, namun jata pendapatan untuk Timor Lorosa’e yang jumlahnya sekitar US$2 juta/tahun sejak tahun 2000 telah disimpan pada rekening pihak ketiga sambil menunggu ratifikasi kesepakatan laut Timor tanggal Mei 2002.

Tahun 1999

27 Jan: Presiden Indonesia BJ Habibie menerima tuntutan masyarakat Timor Lorosa’e untuk melakukan referendum bagi kemerdeaan yang diawasi secara internasional . Kemudian selama delapan bulan terjadi teror dan penghancuran yang dilakukan oleh TNI /Milisi.

30 Agt: Mayoritas Masyarakat Timor Lorosa’e memilih untuk menolak integrasi dengan Indonesia. Setelah pengrusakan total oleh Tentara Indonesia selama menarik mereka, Timor Lorosa’e langsung berada dibawah bimbingan pemerintahan transisi PBB sampai kemerdekaan pada bulan Mei tahun 2002.

Okt: Tujuh perusahaan perminyakan yang dipimpin oleh Phillips Petroleum mengesahkan pembangunan ladang minyak dan gas Bayu-Undan di daerah kerja sama. Semenjak itu, perusahaan-perusahaan ini telah menginvetasi modalnya sekitar US$ 1.5 juta untuk menjalankan proyek ini. Tahap pertama, perusahaan ini akan memproduksi cairan yang mana akan dimulai pada tahun 2004. Tahap kedua, perusahaan ini akan memproduksi gas yang sedianya akan dimulai pada tahun 2006. Total pendapatan untuk pemerintah Timor Lorosa’e dari Bayu-Undan bisa mencapai lebih dari US$3 miliar, 20 kali lipat dari pendapatan Elang-Kakatua.

Nov: Proyek Woodside di Laminaria-Corallina (termasuk BHP dan Shell) mulai memproduksi minyak. Perusahaan-perusahaan tersebut memproduksi minyak sebanyak 100 juta barel lebih, sekitar separuh dari total cadangan minyak selama dua tahun mendatang dengan memberikan keuntungan bagi pemerintah Australia lebih dari US$900 juta. Beberapa bahkan semua pendapatan ini seharusnya menjadi milik Timor Lorosa’e jika Zona Eksklusif Ekonomi (ZEE) ditentukan dengan prinsip-prinsip hukum laut PBB (Konvensi hukum laut PBB).

29 Nov: Mari Alkatiri, juru bicara Timor Lorosa’e untuk masalah Celah Timor mengatakan "kami masih menganggap Kesepakatan Celah Timor adalah suatu kesepakatan yang ilegal. Ini adalah makna dari prinsip itu. Kami tidak mau menjadi penerus suatu kesepakatan ilegal."


Tahun 2000

10 Feb: Australia dan UNTAET menandatangani dokumen Pertukaran Nota sementara dan Memorandum Saling Pengertian untuk tetap melanjutkan Kesepakatan Celah Timor 1989 antara Australia dan Indonesia namun posisi Indonesia ditempati oleh Timor Lorosa’e. Kesepakatan ini menyatakan pembagian pendapatan minyak dan gas dari daerah kerja sama 50-50 antara Australia dan Timor Lorosa’e yang selanjutnya dituankan dalam Perjanjian Celah Timor, kemudian sekarang disebut Daerah Pertambagan Minyak Bersama/Joint Petroleum Development Area (JPDA). Kesepakatan ini tidak menyinggung tentang ladang-ladang minyak dan gas di luar JPDA, yang seharusnya ada dalam zona ekonomi eksklusif Timor Lorosa’e.

Okt: UNTAET memulai adakan negosiasi dengan Australia tentang sebuah kesepakatan untuk jangka panjang menyangkut pembagian kekayaan-kekayaan Laut Timor tetapi negosiasi itu bukan mengenai batas-batas maritim atau ZEE.

Tahun 2001

Feb: Ramiro Paz, Penasehat Senior bidang Ekonomi UNTAET pada pemeirntah transisi Timor Lorosa’e (ETTA) menulis surat setebal enam halaman dengan judul "Perjanjian Celah Timor vs Zona Ekonomi Eksklusif: Kemerdekaan Ekonomi bagi Timor Lorosa’e" kepada Menteri Ekonomi ETTA, Mari Alkatiri. Paz dengan tegas merekomendasikan bahwa Timor Lorosa’e harus menuntut hak penuh atas Zona Ekonomi Eksklusif dibawah hukum internasional dari pada menerima saja atau meninjau kembali isi Kesepakatan Celah Timor yang sudah tidak berlaku.

9 April: Menteri Urusan bidang Politik UNTAET, Peter Galbraith berbicara dihadapan Asosiasi eksplorasi dan produksi minyak Australia. Seusai negosiasi putaran kedua dengan Australia, Galbraith meminta membatalkan Kesepakatan Celah Timor kemudian menegosiasi batas-batas laut dengan Australia berdasarkan Hukum Internasional. Ia memberikan argumentasi bahwa sebuah kesepakatan harus dicapai sebelum 15 Juli untuk menghindari kemunkinan adanya komplikasi dari Timor Lorosa’e segera setelah pemerintahannya terpilih.

5 Juli: Galbraith, Alkatiri, dan dua menteri Australia menandatangani Memoradum Salin Pengertian yang disebut Rancangan Perjanjian Laut Timor. Rancangan Perjanjian inilah yang menggantikan Memorandum Saling Pergertian Pebruari 2000. Dengan Rancangan itu pula, Timor Lorosa’e akan menerima 90% dan Australia 10% pendapatan minyak dan gas dari Daerah Pertambagan Minyak Bersama/JPDA. JPDA berasal Daerah Kerja Sama/ZOC yang termuat dalam Kesepakatan Celah Timor 1989, dengan perubahannya hanya ada pada pembagian pendapatan. Ladang gas terbesar Greater Sunrise dinyatakan 20% kandungan gas terletak di Daerah Pertambagan Minyak Bersama/JPDA dan 80% kandungan gas terletak di wilayah Australia. Walaupun Rancangan itu "tidak memprejudis" masa depan penyelesaian batas dasar laut, namun rancangan ini tidak mempersoalkan klaim Australia atas ladang-ladang minyak di luar JPDA.

Agt: PetroTimor memasukan berkas gugatan ke Pengadilan Federal Australia atas dasar kesepakatannya dengan Portugal pada tahun 1974. Perusahaan ini menginginkan miliaran dolar sebagai kompensasi terhadap kerugian pendapatannya dari minyak dan gas Laut Timor.

30 Agt: Timor Lorosa’e mengadakan pemilihan Majelis Konstituant untuk menulis Konstitusi, yang kemudian dialihkan menjadi Parlamen pertama, Fretilin memenangkan 57% suara.

21 Des: Phillips Petroleum dan UNTAET menyetujui paket pajak dan fiskal untuk menentukan bagaimana pemerintah baru Timor Lorosa’e akan memperoleh keuntungan dari pendapatan dan investasi di ladang minyak dan gas Bayu-Undan yang ada daerah Pertambangan Minyak Bersama/JPDA. "Kesepakatan Bayu" memakan waktu berbulan-bulan adakan negosiasi, di mana perusahaan Phillips berusaha menggunakan pemerintah Australia dan Amerika untuk menekan pemimpin-pemimpin Timor Lorosa’e. Perdebatan isu-isu tersebut dilanjutkan pada Agustus dan Oktober 2002.


Tahun 2002

15 Mar: Phillips mengumumkan bahwa dua perusahaan Tokyo untuk membeli gas Bayu-Undan selama 17 tahun, mulai tahun 2005.

21 Mar: Australia secara formal menarik diri dari proses hukum internasional untuk menyelesaikan persengketeaan batas laut di bawah Hukum Kelautan dan Pengadilan Internasional.

23 Mar: PetroTimor mengadakan seminar mengenai Celah Timor di Dili. Pakar-pakar mereka memberikan argumentasi bahwa Timor Lorosa’e secara sah memiliki 100% atas ladang Sunrise dan Bayu-Undan, demikian pula ladang-ladang di Laminaria/Corallina.(yang terletak di luar JPDA). Ahli hukum batas laut Australia Christopher Ward mengatakan "Kesepakatan 5 Juli antara Australia dan UNTAET menujukkan strategi politik agar Timor Lorosa’e tidak akan mempersoalkan lagi kesepakatan-kesepakatan masa lalu".

April: Peter Galbraith menjelaskan proses negosiasi yang dilakukan oleh UNTAET mengenai Laut Timor kepada Majelis Konstituant Timor Lorosa’e. Ia menegaskan bahwa Timor Lorosa’e memiliki "klaim legal yang sangat bagus" dari Rancangan yang disepakati pada Juli 2001, dan Kesepakatan Laut Timor akan berakhir apabila persoalan batas laut diselesaikan pada akhirnya Timor Lorosa’e akan memperoleh 100% batas dasar laut yang disepakati. Galbraith mengklaim bahwa kesepakatan yang tertera di Memorandum Saling Pengertian bulan Juli 2000 merupakan "upaya yang paling baik bagi Timor Lorosa’e yang dapat dinegosiasikan dengan Australia".

17 Mei: Pengembangan pengeboran dari 16 sumur dimulai di Bayu-Undan.

19 Mei: Kelompok-kelompok masyarakat sipil Timor Lorosa’e dan partai-partai politik oposisi memprotes penandatanganan Perjanjian Laut Timor antara Perdana Menteri Timor Lorosa’e Mari Alkatiri dan Perdana Menteri Australia John Howard.

19-20 Mei (dini hari): Republik Demokratik Timor Lorosa’e menjadi sebuah negara merdeka.

20 Mei: Perdana Menteri Timor Lorosa’e dan Australia Menandatangani Kesepakatan Laut Timor dan Pertukaran Nota untuk menggantikan Rancangan 5 Juli 2001 antara UNTAET dan Australia. Substansi dari rancangan itu masih tetap dipertahankan. Kedua Perdana Menteri bertekat untuk bekerja sama untuk meratifikasi kesepakatan itu.

12 Juni: Kelompok-kelompok masyarakat sipil Timor Loroa’e membentuk Kelompok Kerja Celah Timor, suatu koalisi untuk memonitor proses-proses legal perkembangan penyelesaian persoalan Laut Timor. Mereka mendesak Parlamen Timor Lorosa’e untuk tidak meratifikasi kesepakatan Laut Timor.

17 Juni: Pada Konferensi Minyak Lepas Pantai Asia Tenggara Australia di Darwin, Perdana Menteri Timor Lorosa’e Mari Alkatiri berjanji bahwa Kesepakatan Laut Timor "akan segera diratifikasi" karena kesepakatan itu memuat komitmen dan pengertian antara dua negara.

19 Juli: Negosiasi putaran pertama antara Timor Lorosa’e dan Australia mengenai kesepakatan unitisasi Internasional atas Sunrise (IUA - Internasional Unitization Agreement) menyimpulkan bahwa kedua belah pihak berjanji untuk mencapai kesepakatan pada akhir tahun 2002. kesepakatan unitisasi Internasional akan menentukan bagaimana ladang Greater Sunrise dengan jumlah kandungan gas alam sekitar 9 trilion kubik (nilainya sekitar US$16 miliar), akan dibagikan. Australia (kini diprediksikan akan mendapat 82% dari pendapatan Sunrise) telah menempatkan prioritas utama untuk mencapai kesepakatan ini agar proyek Sunrise dapat dilaksanakan.

17 Agt: Dewan Perdagangan dan perburuhan Wilayah Bagian Utara Australia (The Northern Territory) mengadakan seminar tentang pengembangan Laut Timor di Darwin. Tiga LSM dari Timor Lorosa’e turut menghadiri konferensi ini: Konfedrasi Sindikat Timor Lorosa’e (KSTL), Labor Advocacy Institute for East Timor – LAIFET dan Pusat Informasi Independen untuk Laut Timor (CIITT – Independent Center for Timor Sea Information).

24 Agt: Parlamen Nasional Timor Lorosa’e membuat Undang-undang tentang batas kelautan yang berasaskan pada prinsip-prinsip Konvensi Hukum Laut PBB/UNCLOS. Timor Lorosa’e mengklaim Zona Eksklusif Ekonomi seluas 200 mil lepas pantai Timor Lorosa’e. Undang-undang ini juga meletakkan dasar untuk negosiasi-negosiasi batas kelautan dengan Indonesia dan Australia yang belum dijadwalkan.

9 Sep: Perdana Menteri Timor Lorosa’e, Mari Alkatiri dan para menteri lainnya mengunjungi Proyek Bayu-Undan, yang disambut oleh Phillips Petroleum.

17 Sep: Dewan Menteri Timor Lorosa’e mengesahkan Kesepakatan Laut Timor 20 Mei, dan kemudian diajukan ke Parlamen Timor Lorosa’e untuk diratifikasi.

3 Okt: Tiga perwakilan dari Masyarakat sipil Timor Lorosa’e (NGO Forum, CIITT dan La’o Hamutuk) memberikan kesaksian dihadapan Komite Kerja Gabungan untuk Pakta-pakta khususnya kesepakatan Laut Timor di Darwin. Tiga organisasi tersebut menghimbau kepada parlamen untuk tidak meratifikasi kesepakatan Laut Timor yang telah ditandatangani pada tanggal 20 Mei 2002, sebagaimana dilakukan oleh lebih dari 80 submisi yang diterima oleh komite kerja itu.

Okt: Perundingan mengenai kesepakatan unitisasi Sunrise dilanjutkan. Australia dan Woodside ingin mengikut sertakan kesepakatan ini dalam ratifikasi kesepakatan Laut Timor, dengan demikian menanguhkan proyek Bayu-Undan (yang pada dasarnya menguntung Timor Lorosa’e) sebagai ganti atas konsesi pendapatan luar biasa dari Proyek Sunrise kepada Australia. Pemerintah Timor Lorosa’e dan Phillips Petroleum mendesak bahwa kedua kesepakatan tersebut harus ditangani secara terpisah.

11 Nov: Komite Kerja Gabungan parlemen Australia untuk pakta-pakta merekomendasi ratifikasi yang tuntas Kesepakatan Laut Timor dan perjanjian mengenai sunrise.

25 Nov: Parlamen Timor Lorosa’e memulai perdebatan mengenai kesepakatan Laut Timor.

27 Nov: Menteri Luar Negeri Australia Alexander Downer, seusai bertemu dengan Mari Alkatiri di Dili, mengatakan bahwa Australia tidak dapat meratifikasi kesepakatan Laut Timor sampai bulan Februari 2003 atau sesudahnya. Perusahaan-perusahaan perminyakan mengatakan bahwa penundaan itu dapat membahayakan usaha-usaha untuk menjual gas dari Bayu-Undan dan Sunrise, dan meningkatkan tekanan terhadap Pemerintah Timor Lorosa’e untuk bersedia menerima substansi unitisasi Sunrise yang secara tidak adil menguntungkan Australia, dari pada tetap mendesak untuk menegosiasikan batas-batas kelautan.

6 Des: Patner Sunrise, Woodside, ConocoPhillips, Shell dan Osaka Gas mengumumkan penundaan tetap mengenai proyek sunrise dan mengklaim bahwa proses pengolahan gas baik proses terapung di tenga laut/FLNG maupun proses melalui kanalisasi ke Darwin secara ekonimis adalah tidak menguntungkan.



Sumber

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama