Di Balik Christo Rei Timor Leste



Oleh 

Ahmad Yunus


Mon, 24 March 2008

Ketika Soeharto memberi hadiah sebuah patung di Dili

RUMAH itu menyempil di sebuah gang kecil di Jalan Sempurna No 4 Bandung. Catnya sudah mengelupas. Warnanya sudah kabur. Di ruang tamu terongok sebuah komputer lusuh. Kertas kerja dan beberapa koran tercecer di atas meja kecil. Termasuk beberapa gelas kopi yang sudah mengering.

Ruang ini disulap menjadi ruang kerja Mochamad Syailillah. Lelaki berperawakan tinggi. Dan membiarkan bulu kumisnya menjadi tebal seperti kayu balok. Gayanya mirip generasi muda tahun 70’an. Dan memang, ia besar pada masa akhir tahun itu di jurusan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung atau ITB.

Dan mempelajari seni patung di bawah asuhan master patung Indonesia, Rita Widagdo. Rita kelahiran Rottweil, Jerman, 1938. Ia salahsatu peletak pendidikan seni patung di ITB.

“Nama pendek saya, Bolil. Tidak ada yang tahu nama saya Mochamad,” katanya kepada saya. Ia tersenyum. Wajahnya lusuh seperti sudah begadang satu minggu. Badannya ramping dengan tulang wajah kuat.Nama Bolil terasa asing di jagad pematung Indonesia. Siapakah dia? Apa karya hasil patungnya yang paling terkenal saat ini? Mungkin tak asing jika mendengar pematung I Nyoman Nuarta kelahiran Bali yang membuat sculptur macam Arjuna Wijaya di Jakarta atau proyek besarnya Garuda Wisnu Kencana di Bali. Atau seniman patung lainnya macam Soenaryo yang mendirikan Galeri Selasar Soenaryo di Dago, Bandung.

Bolil adalah seniman biasa yang sudah lama tak berkarya lagi. Dan tenggelam dalam jagad seni patung Indonesia. Namun pada masa tahun 1992 hingga 1996 ia adalah pematung penting di Indonesia.

Mochamad Syailillah -Bolil- adalah pematung yang membuat patung Kristus Raja di puncak Bukit Fatucama, Dili, Timor Timur. Patung ini memiliki ketinggian 27 meter. Patungnya berdiri tegak dan menghadap langsung pada jantung Timor Leste.

Patung ini merupakan salahsatu patung Yesus terbesar setelah patung Christ Redeemer di Brasil dengan ketinggian 38 meter. Patung ini sendiri berada di puncak Gunung Corcovado di Taman Nasional Hutan Tijuca. Hasil buah ide gagasan imam Katolik Pedro Maria Boss pada pertengahan 1850-an. Patung ini berbahan beton dan batu.

Design patung ini oleh Heitor da Silva Costa dan dibantu oleh pemahat Perancis, Paul Landowski. Patung ini diresmikan pada 12 Oktober 1931 oleh Keuskupan Agung Rio de Janeiro.

GAGASAN pembuatan patung ini datang dari Gubernur Timor Timur Jose Osario Soares. Gagasan ini ia sampaikan kepada Presiden Soeharto. Patung ini ditujukan sebagai kado ulang tahun integrasi Timor Timur ke Indonesia. Rencananya pada 17 Juli 1996 adalah hari integrasinya Timor Timur ke-20 bergabung dalam wilayah Indonesia.

Indonesia sendiri mengambil Timor Timur dari Portugis melalui langkah operasi militer pada 7 Desember 1975. Namun kemudian Timor Timur sendiri merdeka dari Indonesia melalui jajak pendapat tahun 1999. Kini, wilayah seluas 14.615 km persegi ini menjadi negara Timor Leste.

“Waktu itu saya dengar pertemuannya di pesawat Garuda. Soeharto mengiyakan gagasan ini. Direktur Garuda jadi pimpinan proyek ini. Tapi saya tidak tahu urusan politiknya. Saya cuma pematung,” kata Bolil.

Soeharto sudah memberi restu dan tidak ada yang bisa menolak. Garuda penanggung jawab pembuatan patung ini. Termasuk mencarikan modal. Menurut Bolil, Garuda hanya menyediakan dana sebesar Rp 1,1 miliar. Garuda kelimpungan untuk menyediakan dana tambahan lagi. Darimana dananya? Apa Garuda sudah mengalokasikan dana lain hanya untuk membuat satu buah patung?

Sekertaris Wilayah Daerah atau Sekwilda Timor Timur mengeluarkan surat edaran kepada pegawai negeri sipil -khususnya beragam Katolik- agar menyumbangkan gajinya untuk mendanai pembangunan patung tersebut.

Golongan I dikenai biaya sebesar Rp 1.000 dan Rp 5000 untuk golongan IV. Surat edaran ini menimbulkan polemik. Anggota DPRD Tingkat I Timor Timur waktu itu, Manuel Carrascalao meminta agar proyek ini dihentikan.

“Portugal yang menjajah Timor Timur beratus tahun ternyata tak berbuat apa-apa,” kata Sekertaris Wilayah Daerah atau Sekwilda Timor Timur, Radjakarina Brahmana kepada Majalah Gatra. Ia seperti hendak menyatakan bahwa Indonesia sudah menyumbang dan membantu Timor Timur lebih baik ketimbang Portugis.

Kekurangan dana ini mencapai Rp 4 miliar lebih. Pengusaha di Timor Timur juga dimintai untuk menyumbang satu persen dari setiap nilai kontrak proyek. The show must go on. Jenderal Soeharto sudah memberikan restu pembuatan patung ini. Proyek mau tidak mau harus jalan.

BOLIL menerima dengan senang hati tawaran dari Garuda Indonesia untuk membuat patung Kristus Raja ini. Apalagi dirinya belum pernah membuat patung yang besar. Sebelumnya ia hanya mengurusi urusan dekorasi festival Garuda Indonesia saja. Seperti arak-arakan bunga.

Ia bersama teman-temannya dari ITB berangkat dari Bandung menuju Timor Timur. Bolil hendak melakukan survei untuk mengetahui letak berdirinya patung di Bukit Fatucama. Bukit yang cantik, ingatnya. Pasir pantainya putih dan bersih. Ombaknya tenang dan aman untuk berenang. Ikan lautnya banyak. Namun gersang dan panas.

“Di atas bukit banyak selongsong peluru kosong,” ingatnya.

Gubernur Timor Timur minta agar patung ini berdiri di atas bukit Fatucama. Di atas bukit ini bisa melihat dengan jelas jantung Timor Timur, Dili. Bukit Fatucama keras dan terjal. Bukit ini berbatu kuat dan cocok untuk mendirikan sebuah patung yang tinggi dan besar.

Ia menghitung angin dan kekuatan penyangga tanahnya. Gubernur minta patung ini menghadap ke Dili. Bolil menggambar patung ini dan membuat prototipe patungnya. Patung Yesus Raja memakai jubah dengan ada lilitannya. Tangannya terbuka seperti hendak merangkul orang.

“Saya pelajari struktur wajah Yesus. Terutama ciri-ciri utama seperti janggut, kumis, rambut. Saya intepretasikan,” kata Bolil.

Ia menekankan pada sorotan mata Yesus agar terlihat teduh. Bagian bibir juga menjadi perhatiannya agar tampak santun. Senyumnya sedikit. Ia ingin ekspresi wajah Yesus tampak ramah dan penuh kasih sayang.

Mencari sosok wajah Yesus tak mudah. Ia melihat kitab, majalah, dan referensi yang berkaitan dengan wajah Yesus juga ekspresi orang biasa. Anatomi wajah penting untuk menentukan karakter seseorang.

“Saya percaya mata itu jendela hati. Saya lihat banyak wajah Yesus namun tidak ada yang tersenyum,” katanya. Ia mengalami kesulitan. Bantuan dari Dewan Gereja Indonesia di Jakarta juga tak banyak membantu untuk menemukan wajah Yesus seperti yang ia inginkan. Termasuk ide untuk memasang mahkota raja.

“Akhirnya saya merasa menemukan sorot mata yang cocok dari sebuah lukisan dan foto majalah,” katanya.

Ia melihat kekuatan sosok Yesus terletak pada kesederhanaan. Dari wajah terlihat alami. Wajahnya condong pada karakter wajah Romawi dan Yunani. Interpretasi ini harus teliti. Menurutnya pembuatan patung-patung agama memiliki aturan sendiri. Ada patokan-patokan untuk membuat patung-patung ini.

Patung Yunani menekankan pada kekuatan duniawi ketimbang spiritual. Hal ini terlihat pada karya Michael Angelo yang menekankan pada konsep pembebasan diri. Budha di Thailand, misalnya. Ia melihat lipatan-lipatan pada bentuk wajah. Dan lekuk bagian hidung dan bibir yang berbeda. Yesus, menurutnya, menekankan pada sifat. Dan terlihat pada bagian wajah.

Pembuatan patung ini sendiri dikerjakan di Sukaraja, Bandung. Dan memakan waktu hampir satu tahun. Ia menyewa sebuah lapangan sepakbola kosong. Dan mengerahkan awak pekerja sekitar 30 orang. Lapis patung ini sendiri terbuat dari bahan plat tembaga yang korosif-nya atau keroposnya rendah. Patung sebesar ini membutuhkan sekitar 200 sampai 300 lembar plat tembaga. Dengan tehnik pengelasan menggunakan asetelin.

Ia menggunakan tehnik proyeksi untuk mendapatkan ukuran utuh patung. Pertama ia terlebih dahulu membuat model patung setinggi 20 cm. Ini sebagai percontohan untuk mendapatkan skala ukuran patung nyata. Ia membagi menjadi enam segmen untuk mendapatkan patung ukuran asli.

Satu segmen bisa menghasilkan irisan sebanyak lima buah. Dari irisan ini ia proyeksikan pada sebuah tembok yang sudah tertempel kertas roll. Dari ujung kaki sampai ujung kepala. Hasilnya? Ia mendapatkan tumpukan lempengan plat tembaga sebanyak 27 komponen. Dan muat dalam tiga truk kontainer!

Ini masih menyisakan pekerjaan besar yang belum selesai. Ada tahap inti dari pekerjaan patung itu; kerangka tulang.

“Bagian tangan yang jadi masalah besar. Ada usulan pakai besi namun tidak jadi. Akhirnya diputuskan memakai tali kawat baja untuk menahan bagian tangan patung,” kata Bolil. Telapak tangan pada bagian patung itu terbuka ke atas dan menggantung seperti hendak meminta sesuatu.

Obrolan terhenti. Bolil menyeduh kopi panas untuk kami berdua di meja kecil. Juga gorengan macam pisang goreng, bakwan dan tahu isi.

Keputusan ini diambil setelah melihat kondisi di lapangan. Di Bukit Fatucama tekanan angin sangat besar. Dan ini mempengaruhi keseimbangan patung. Tali baja ini bisa menahan dari goncangan angin.

Ia juga merancang lubang angin masuk di bagian jubah ketiak patung. Ini membuka sirkulasi angin agar tidak menampar langsung pada badan patung. Angin ini akan masuk pada pipa dan keluar di bagian jubah belakang patung.

“Kalau di atas patung ini goyang. Memang harus begitu supaya ada toleransi gerak,” katanya.

Pengelasan plat tembaga tidak boleh sembarangan. Soal pengelesan ia serahkan pada ahli las menara dari Pemalang. Tahap pertama pembuatan di Bandung selesai sudah. Semua pekerja sujud syukur. Malah sampai pengajian dan hajatan potong Kambing. Habis?

MEMBAWA potongan patung sebanyak itu bukan perkara mudah. Apalagi dari Bandung menuju Dili yang jaraknya ribuan mil. Setelah disusun sesuai bagian masing-masing ternyata membutuhkan tiga truk kontainer besar. Tim ini juga menyewa kapal laut untuk membawa tiga truk kontainer ini menuju Dili. Semua tim dari Bandung ia bawa ke Dili.

Waktu terus mendekati hari integrasi dan tidak boleh telat. Garuda ketar ketir untuk menambah modal agar proyek patung ini tidak terlambat. Setiba di Dili ada persoalan teknis besar. Di sini belum punya alat-alat berat untuk mengangkut potongan-potongan segmen patung. Apalagi tingkat kecuraman bukit ini cukup tinggi. Potongan segmen seberat 100 sampai 200 kilogram. Tinggi bukit jika diambil tegak lurus setinggi 100 meter. Bagaimana caranya?

Bolil putar kepala. Ia tahu di Bandung ada ahli bikin stelen atau konstruksi tangga dari bambu. Ia membawa beberapa orang dari Bandung ini dan membuat kerangkat bambu untuk mengangkut potongan segmen tembaga ini. Tehnik ini berhasil dan satu persatu potongan tembaga patung ini bisa naik ke atas bukit.

Las asetelin ia dapatkan dari bengkel motor Suzuki di Dili. Ia membawa sekitar 100 tabung gas oksigen untuk mengelas tembaga-tembaga ini. Tahap pertama ia menyelesaikan bagian bola dunia dan sepuluh tiang. Sepuluh tiang ini merujuk pada sepuluh firman Allah. Urusan ini selesai baru beralih pada pengerjaan tulang patung. Satu persatu tersusun dan membentuk rekonstruksi patung. Sisanya kemudian pengerjaan penempelan potongan lempengan tembaga.

“Tahap ini ada masalah besar. Keuangan membengkak. Sempat libur dulu pengerjaan. Lempeng tembaga mulai karatan,” kata Bolil.

Waktu senggang ini mereka manfaatkan untuk menikmati Timor dan Dili. Dari menikmati minuman alkohol impor sampai memancing ikan di laut. Beberapa kali mereka juga mendapatkan undangan makan malam bersama gubernur Timor Timur.

Tahap akhir sudah hampir selesai. Patung sudah berdiri namun belum memasang wajah Yesus. Tahap penting memasang tangan sudah selesai dan tidak mengalami persoalan. Bagian wajah Yesus masih berada di bawah.

Warga Dili sudah tahu ini adalah patung Yesus Kristus. Warga datang berbondong-bondong dan melakukan doa di depan patung ini. Bolil dan pekerja kaget melihat reaksi dari warga ini. Apalagi ketika warga melihat wajah patung Yesus dalam ukuran besar seperti itu.

“Akhirnya kami masukan lagi ke dalam peti. Terus kami cepat-cepat naikkan ke atas,” kata Bolil. Hampir pengerjaan pemasangan patung ini berlangsung pada pagi hari dari jam 07.00 hingga 11.00. Pekerja tak sanggup bekerja setelah mendekati jam siang. Panas matahari langsung menyengat. Apalagi berdiri di atas patung setinggi 27 meter ini.

Pengerjaan patung ini termasuk pembuatan salib setinggi 10 meter. Untuk menuju patung dibuatkan anak tangga melewati 14 relief yang menceritakan kisah penyaliban Yesus. Rekonstruksi patung ini menghabiskan waktu sekitar tiga bulan. Dengan awak pekerja hingga 30 orang.

“Lantas warga tanya agama saya. Saya bilang muslim,” kata Bolil sambil tersenyum.

XANANA Gusmao memberikan kritik pedas atas patung Yesus Kristus Raja ini. Waktu itu Xanana Gusmao adalah Dewan Nasional Perlawanan Maubere sekaligus merangkap sebagai Panglima FALINTIL atau Forcas Armada de Libertacao Ncional de Timor Leste.

“Ini merupakan propaganda Jakarta untuk mengelabui rakyatnya sendiri maupun dunia internasional. Soeharto baik di istana maupun di tempat lain dimanapun adalah pemimpin politik. Apa yang uskup Bello tak setujui adalah campur tangan politik ke gereja. Saya tak tahu apakah Uskup akan hadir di acara itu. Mudah-mudahan tidak. Karena hal ini bisa berarti gereja Dili berada di bawah Jakarta, padahal ia langsung di bawah Vatikan,” katanya kepada Kabar dari PIJAR.

PIJAR singkatan dari Pusat Informasi dan Jaringan Aksi Reformasi. Salahsatu organisasi prodemokrasi yang melawan Soeharto pada tahun 1998.

Polemik patung ini pupus sudah ketika Orde Baru gencar membangun citra tentang Timor Timur. Patung Kristus Raja telah menjadi simbol Timor Timur. Hampir setiap publikasi tentang Timor Timur memuat foto patung Kristus Raja. Apalagi rezim Orde Baru menjadikan Kristus Raja sebagai landmark pulau ini.

Tinggi 17 meter ini sendiri merujuk pada hari kemerdekaan Republik Indonesia yang jatuh pada 17 Agustus. Banyak yang menilai Patung Kristus Raja ini menjadi simbol Orde Baru untuk menaklukkan masyarakat Katolik di Timor Timur.

Pada tanggal 15 Oktober 1996 Presiden Soeharto bersama Uskup MGR Carlos Ximenes Filipe Belo DSA dan gubernur Timor Timur menyaksikan langsung kemegahan patung ini dari udara menggunakan helikopter.

Bahkan, Museum Rekor Indonesia atau MURI memberikan penghargaan sebagai patung Kristus Raja tertinggi di Indonesia. Walau tak mencatat sama sekali siapa nama dibalik pematung Kristus Raja ini.

Dan Mochamad Syailillah atau Bolil pun tenggelam bersama sejarah Orde Baru yang dua tahun berikutnya sekarat. Pada tahun 1998, Soeharto pun lengser dari jabatannya selama 32 tahun sebagai presiden Republik Indonesia.


*) Ahmad Yunus adalah Editor Pantau Ende Media Center.


Sumber

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama