Pertemuan-pertemuan Historik Mario Carrascalao dan Xanana

 

Matheos Messakh

Satutimor.com/WAINGAPU

MARIO Carrascalao adalah tokoh yang bisa diterima banyak pihak di Timor-Leste. Mungkin karena itulah ia bisa melewati tiga jaman kekuasaan yang berbeda di Timor dengan posisi sosial dan politik yang penting.

Keluarga Carrascalao telah terlibat dalam politik di Timor selama lebih dari setengah abad. Ayahnya Manuel Viegas Carrascalao lahir di Sao Braz de Alportel di Algarve, Portugal, dan bekerja sebagai pencetak di Lisbon. Ia juga adalah seorang anarchist terkenal dan pemimpin serikat buruh di tahun 1920-an. Pada tahun 1927, setelah ditangkap karena aktifitas politiknya, ia dideportasi ke Timor Portugis, di mana ia menikah dengan anak perempuan seorang liurai (kepala suku). Mereka mempunyai sepuluh anak dan Mario adalah anak keempat.

Keluarga Carrascalao tetap tinggal di Timor selama pendudukan Jepang, tetapi setelah perang Dunia II memilih kembali ke Portugal. Di tahun 1946, Manuel Viegas Carrascalao di”ampuni” oleh Presiden Salazar, pemimpin regim fascist Estado Novo Portugal, dan memintanya kembali ke Timor Portugis, dimana ia diberikan perkebunan kopi yang luas dan kemudian menjadi walikota Dili.

Mario Carrascalao  belajar ilmu kehutanan di Lisbon, menjabat sebagai kepala Departemen Kehutanan dan Pertanian di Timor Portugis, dan merupakan anggota Partai Aksi Nasional Portugis yang berkuasa. Di tahun 1974 ia menjadi anggota pendiri dan salah satu ketua dari UDT.

Di Tahun 1977  ia bergabung dengan Kementrian Luar Negeri Indonesia, dari tahun  1982-1992 menjabat sebagai Gubernur Timor-Timur di bawah kekuasaan Orde Baru. Setelah Timor-Leste kembali merdeka, ia kembali ke Timor dan menjadi ketua Partai Social Demokrat dan kemudian menjadi anggota Parlemen. Sekarang Ia telah pensiun dari politik dan tinggal di Dili.

Salah satu peristiwa penting saat ia menjabat Gubernur Timor-Timor adalah pertemuannya dengan Pemimpin gerakan kemerdekaan saat itu Xanana Gusmao. Pertemuan itu sangat penting bagi gerakan kemerdekaan, karena selain secara implisit merupakan pengakuan akan eksistensi gerakan kemerdekaan, juga karena dengan pertemuan  itu meneruskan gencatan senjata yang telah dimulai Kolonel Purwanto, sehingga Xanana bisa mereorganisir kembali gerakan perlawanan yang kocar-kacir akibat serangan-serangan pasukan Indonesia.


Dalam sebuah wawancara yang dilakukan oleh Ben Anderson, Arief Djati, dan Douglas Kammen pada 20 Maret 2002, Mario menceritakan pertemuannya dengan Xanana di Larigutu pada bulan January 1983. Wawancara empat jam di Acait Bistro di Dili yang kemudian diterbitkan bulan Oktober 2003 dalam journal Universitas Cornel Indonesia No. 76. Mario mengatakan bahwa pada bulan Januray 1983 ia menerima pesan dari Kolonel Purwanto yang telah bertemu dengan Xanana di Larigutu.[1] Purwanto memintanya ke Larigutu karena sang kolonel kehabisan argumen dalam percakapan dengan Xanana.

Pihak militer menyiapkan sebuah helicopter untuk membawa Mario ke Larigutu. “Saya kaget: ada sekitar 25 anggota Fretilin – satu platon – dan wow, mereka memberi saya penghormatan militer. [tertawa] Saya tak menyangka. Pertemuan dengan Xanana berlangsung 45 menit. Saya duduk di sebelah Xanana dan di depan kami ada bendera Fretilin,” kata Mario.

Mario mengatakan bahwa Xanana menegaskan kepadanya bahwa pertemuan itu bukan bertujuan untuk menyerah.  “Tidak, Ia mengatakan, ‘kami ingin memohon bangtuanmu, agar anda mengatakan kepada dunia bahwa ada pembicaraan-pembicaraan damai’.”

Mario tidak bisa menjamin apa-apa. “Saya bilang, ‘saya tidak punya kekuasaan apa-apa. Saya bisa bilang kepada mentri luar negeri dan jendral Benny Moerdani tetapi hanya itu yang bisa saya lakukan. Bagaimana berita bisa keluar? Apa saja bisa terjadi besok-besok, tetapi tidak ada apa-apa di sini. Timor tidak punya satu telponpun, tidak ada apa-apa.’ Jadi bisa dikatakan tidak ada kesepakatan dalam pertemuan itu. Kolonel Purwanto ada di sana, dekat saya, dan pertemuan itu disaksikan oleh militer Indonesia. Saya ke sana dengan helicopter, yang mendarat sekitar seratus, atau mungkin dua ratus meter dari tempat pertemuan. Dan juga disaksikan oleh RPKAD[2].  Saya masih ingat, saya mengeluarkan rosario saya dan memberitakan kepada Xanana dan berkata ‘Ini, sebagai orang Timor, janganlah lupakan [agama kita]’.”

Tidak lama setelah itu, menurut Mario, ia menerima pesan dari Xanana yang ingin bertemu dengannya di Areana, sekitar lima kilometre dari Venilale. “Kali ini dia ingin bertemu saya sendirian. Dia tidak ingin orang lain hadir, tanpa tape recorder, tanpa foto, tanpa apa-apa. Pertemuannya di bulan April atau Mei, saya lupa tanggal sebenarnya.”

Kolonel Purwanto membawa sang Gubernur dengan helicopter ke Venilale, di sana ia bertemu Pastor Locatelli dan Aleixo Ximenes, dari Baucau[3].  Sang pastor membawa Mario dalam mobil ke arah Areana. “Mereka berhenti dan meminta saya berjalan sekitar lima ratus meter [ke semak-semak]. Saya melihat rumputnya sangat tinggi. Wah, saya mati! Saya tidka melihat seorangpun, taka da satu jiwapun. Saya berjalan sendiri. Di tengah-tengah [rumput yang tinggi] ada sebuah gubuk kecil, dan Xanana keluar dan berjalan kea rah saya. Di sebelahnya saya melihat sekitar seratus anggota Fretilin bersenjata.”

“Saya kira saya sudah mati. Bahkan Xanana membawa pistol [di pinggangnya]…Saya bilang kepadanya ‘kamu panglima tapi membawa pistol; saya sendiri tak punya satu pistol kecilpun.’ Ia berkata, ‘jangan lupa, untuk bisa ke sini saya harus berjalan kaki sekitar 25 kilometer, dengan segala resikonya’.

Saya kira mereka pasti datang dari sekitar Mundo Perdido[4].  Setelah itu kami duduk sendiri –tanpa saksi- dan ia meminta saya berbicara tentang proses Integrasi Timor.

Mario mengaku memberitahu Xanana semua yang telah terjadi. Pertemuan dimulai pukul 9.00 pagi dan selesai sekitar pukul 2.30 atau pukul 3.00 sore. Mereka hanya minum kopi tanpa gula.

“Ketika saya hendak pulang, saya berkata: ‘Jangan merasa bahwa kamu kalah. Dan saya juga tidak perlu merasa bahwa saya kalah. Kita telah datang bersama…pada titik tertentu aka nada jalan keluar untuk Timor. Berapa banyak orang di sana? Menurut sensus Indonesia 555,000, itu saja. Tapi jika engkau….meneruskan perjuangan bersenjata, Indonesia bisa membawa lagi satu juta. Tidak masalah. Itu kesimpulan saya saja.”

Xanana menjawab, “Jangan. Jika engkau benar-benar orang Timor, jika engkau merasa sebagai orang Timor, ada satu hal yang ingin saya minta. Pertama-tama, carilah jalan agar para jendral Indonesia meneruskan gencatan senjata selama tiga bulan, sehingga saya punya waktu tiga bulan untuk reorganisasi. Saya butuh tiga bulan.”

Mario berkata ia tidak bisa menjanjikan apa-apa namun ia termotivasi untuk melanjutkan pembicaraan damai. Hal terakhir yang dikatakan Xanana adalah “engkau urus rakyat, saya akan mengurus bapak-bapak.”

Menurut Mario, pertemuan itu berlangsung sebelum 12 April 1983[5], sebab pada tanggal itu Benny Moerdani mengunjungi Timor untuk merayakan Idul Fitri.

Pada malam 12 April 1983 Mario ada dalam rapat sampai jam 9 malam. Keesokan harinya pada jam 8 pagi Ia menerima telpon yang mengatakan Jendral Benny Moerdani ingin bertemu dengannya di Baucau jam 9.  Sebuah helicopter telah disiapkan baginya dan ia tiba di Baucau pada jam 10.

Benny dan para stafnya masuk ke ruang VIP. Ketika Mario masuk, pintu ditutup dan hanya ia dan Beny sendirian. Beny berkata: “Apakah anda ingin gencatan senjata dilanjutkan atau tidak?”

Mario menjawab, “Anda telah tahu posisi saya. Saya ingin semua ini diselesaikan secara damai. Itu watak saya. Saya bukan seseorang yang menginginkan senjata; saya suka orang damai. Anda tahu posisi saya.”

Moerdani menjawab, “kalau begitu anda harus menjawab pertanyaan [yang muncul dalam pertemuan kami] tadi malam. Kami bicara hingga jam 2.00 pagi namun Sutarto dan Purwanto tidak bisa memberi jawaban kepada staf saya[6]. Pada pukul 2:00 saya bilang, sebaiknya kita berhenti di sini sehingga besok saya bicara dulu kepada gubernur. Dia yang tahu pasti, dia bisa bicara Tetun.”

Lalu Mario menjawab, “Pak, jika anda ingin saya bicara bahasa Jawa saya bicara bahasa Jawa. Tapi siapa tahu, saya mungkin tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu juga.”

Lalu Benny menjawab, “Okay, jika sudah siap, buka pintu.”

Sekitar 20 anggota staff telah datang ke Baucau dengan sebuah pesawat Pelita Airlines. Ada yang garis keras, ada yang begitu begitu saja – semua jenis ada. Semua pertanyaan berpusat sekitar jaminan. Jika ada jalan damai untuk semua ini, bisakah dijamin Timor Timur tetap menjadi bagian Indonesia? Apa posisi rakyat? Bagaimana mereka akan menanggapi? Itulah yang ingin mereka ketahui.

Mario menjawab “dengan keadaan seperti sekarang, bagaimana saya tahu?”

Tanya jawab itu berlangsung sekitar sejam sampai taka da lagi pertanyaan. Benny Moerdani menghentikan. “Sampai hari ini, satu hal yang tidak saya mengerti …Xanana meminta waktu tiga bulan. Saya tidak memberitahu para jendral tentang hal itu,” kata Mario.

Anehnya, Benny Moerdani juga memberi waktu tiga bulan kepada Mario. Benny berkata, “Saya akan memberi Sutarto dan Purwanto dan gubenur tiga bulan untuk menolong Timor dengan cara damai. Ok, ayo pulang.”

Setelah itu, Sutarto berdiri menunggu Benny Moerdani. Purwanto di belakang Mario berkata, “Ah, karir politik saya habis.” Saya menjawab, “Tidak. Jendral mengatakan kepada anda untuk menyelesaikannya sesuai kehendak anda.”

“Namun Purwanto sudah terlanjur pesimistik. Atau mungkin ada hal lain,” kata Mario.

Delapan hari kemudian, Purwanto menelpon Mario pada jam 6.00 sore, mengundangnya untuk bertemu jam 8:00. Mario memintanya ke rumah namun Purwanto menginginkan bertemu di rumahnya. Mario tiba di rumah Purwanto tepat jam 8.00 dan Purwanto berkata: “Apa yang saya takutkan terjadi. Ia kembali ke Timor Timur – Prabowo.[7]

Dalam Timor Timur yang dinyatakan tertutup saat itu, ta seorangpun baik sipil ataupun militer yang boleh masuk atau meninggalkan Timor tanpa sepengetahuan Purwanto.  “Ternyata ia datang, dan pergi ke pedalaman. Ke  Viqueque, sekitar Bibileo. Saya tidak tahu apa yang ia lakukan. Saya tidak tahu lagi.”

“Ketika Xanana bertemu dengan Mario di Areana ia mengatakan akan berbicara dengan Komite Central Fretilin. Saya mendengar bahwa setelah pertemuan kami Xanana memberitahu Komite Central tentang pembicaraan kami di Areana. Komandan Brigade Merah [Brigada Vermelha], Komandan Paulino Gama, yang juga dipanggil Mauk Moruk, memberontak terhadap Xanana, terhadap kelompok Xanana. Dan mereka mulai . . . Anehnya setelah itu Paulino Gama menyerah, ia menyerah kepada komanda Widya Sugito.[8]  Dan ketika Gama turun [dari pegunungan] untuk menyerah, Sugito memberinya seragam mayor dan membawanya ke mana-mana, membangga-banggakan Paulino Gama.[S]

======================================================================


[1] Jose Alexandre “Kay Rala Xanana” Gusmao adalah panglima Tentara Nasional Pembebasan Timor-Leste (Forςas Armadas de Libertaςao Nacional de Timor Leste, Falintil). Mayor Purwanto adalah komandan Nanggala 52 dari akhir tahun 1982 sampai awal tahun 1983; ketika kesatuannya menyelesaikan tugas di Timor Timur, Purwanto dipertahankan untuk melanjutkan negosiasi dengan Xanana. Perundingan-perundingan ini berujung pada persetujuan gencatan senjata pada 21 Maret 1983. Pertemuan Mario Carrascalao berlangsung dua hari setelah itu.

[2] Di tahun 1975, RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) telah menjadi Kopassandha (Komando Pasukan Sandhi Yudha, Kopassandha), namun masih sering disebut dengan nama lama. Di tahun 1985 Kopassandha menjadi Komando Pasukan Khusus (Kopassus).

[3] Pastor Locatelli, seorang imam berkewarganegaraan Itali, bekerja di Timor Timur dan menjalin komunikasi dengan gerakan perlawanan.

[4] Mundo Perdido adalah puncak tertinggi dari gugusan pegunungan yang memisahkan kabupaten Baucau dan Viqueque.

[5] Dalam wawancara selanjutnya Mario Carrascalao menambahkan: “Saya bertemu Xanana dua kali di tahun 1983, sekali di depan militer dan satu lagi hanya kami berdua – tidak sebagai gubernur dan panglima tetapi sebagai sesame orang Timor.”

[6] Brigadir Jendral Sutarto rupanya adalah Komandan Divisi Infrantry Pertama Kostrad saat itu. Ia ditunjuk sebagai Panglima Komando Daerah Militer IX/Udayana.

[7] Setelah menyelesaikan sebuah kursus anti-teroris di Jerman, pada Maret 1982 Mayor Luhut Pandjaitan dan Kapten Prabowo Subianto ditunjuk untuk membentuk sebuah unit anti-teroris dari Kopassandha, yang diberi nama Detasement 81. Pada bulan Oktober 1982 Luhut mengikuti kursus komando dan staff, meninggalkan Kapten Prabowo menangani Detasement 81. Di bulan November 1982, Prabowo mempimpin unit ini ke sebuah operasi di wilayah Papua New Guinea. Kemunculannya di Viqueque dengan demikian dihubungkan dengan operasi kedua dari detasemen ini. Versi lain yang tidak menyebutkan kemunculan Prabowo di Viqueque di akhir Maret atau awal April, lihat Ken Conboy, Kopassus: Inside Indonesia’s Special forces (Jakarta: Equinox Publishing, 2003),h. 289-297.

[8] Paulino Gama menyerah di tahun 1985, bukan 1983. Lihat Paulino Gama (Mauk Muruk [sic]), “The War in the Hills: A Fretilin Commander Remembers” in East Timor at the Crossroads: The Forging of a Nation, ed. Peter Carey and G. Carter Bentley (London: Cassell, 1995), h. 97-105.


Sumber 1, sumber 2

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama