MENENGOK DAKWAH ISLAM DI NEGERI LORO SAE


Pengantar: Meskipun kian hari jumlah umat Islam di Timor Timur (Timtim) kian meningkat, namun dakwah di propinsi bekas jajahan Portugis ini banyak menghadapi hambatan. Berikut kami turunkan beberapa tulisan di halaman 7, 8, dan 9 yang mencoba memaparkan berbagai persoalan yang dihadapi umat Islam Timtim. Tulisan digarap Hersubeno Arief yang berkunjung ke propinsi termuda di Indonesia itu beberapa waktu lalu (sebelum Sept 1995-red).

Suara azan yang dilantunkan oleh Zaenal Abidin, seorang pegawai Departemen Penerangan, Kabupaten Lautem, Timor-Timur (Timtim) itu hanya memantul ke empat penjuru Masjid At Taqwa, Los Palos. Dari luar masjid suaranya lirih dan hanya terdengar dalam radius beberapa meter saja. Tak berapa lama, beberapa orang jamaah segera memasuki masjid dan setelah salat sunat mereka segera menunaikan salat Dhuhur berjamaah.

Sudah beberapa bulan ini seruan untuk memanggil umat Islam melaksanakan salat fardlu itu tak lagi terdengar di udara kota Los Palos. Berdasarkan instruksi Komandan Kodim setempat, pengeras suara yang ada mesti diturunkan. Alasannya, dianggap mengganggu, karena komplek masjid yang awalnya didirikan oleh anggota ABRI tersebut berada di komplek perkantoran.

Semula para pengurus masjid bersikeras bertahan. Namun karena berbagai ancaman, mereka terpaksa menurut. Belakangan mereka kembali memasang pengeras suara meskipun hanya di dalam masjid. “Jamaah banyak mengeluh tak bisa mendengar azan ketika sedang bekerja,” kata Armindo da Costa — sekarang bernama Aminudin Azis, seorang dai asli Timtim yang menjadi pengurus masjid.

Bukan hanya soal pengeras suara yang menggelisahkan Aminudin. Masjid tersebut kini terancam digusur, dengan alasan, ya ..itu tadi, berada di komplek perkantoran. Meskipun disediakan masjid pengganti, tapi lokasinya sedikit di luar kota, yang tentu saja membuat jamaah enggan.

Ketidakleluasaan umat untuk mengekspresikan kehidupan beragamanya, kini menjadi persoalan utama umat Islam di Timtim, sejak di ibukota propinsi Dili apalagi mereka yang berada di daerah terpencil seperti Manufahi, Viqueque, Baucau dan juga Lautem. “Suasananya kini sudah berubah,” kata seorang tokoh Islam di Dili.

Sebagai gambaran, sang tokoh lalu menceritakan bahwa pada awal integrasi dulu, setiap menyambut hari raya mereka bisa takbir keliling kota, bahkan beberapa tank dan truk militer ikut serta. Kemudian perlahan-lahan ruas jalan yang boleh dilalui untuk takbir mulai dibatasi dan akhirnya sekarang takbir keliling kota samasekali tak diperbolehkan.

Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan, padahal jumlah kaum muslim di Timtim kini jauh lebih meningkat. Jika awal integrasi tahun 1976 berdasarkan sensus hanya sekitar 600 orang dari jumlah penduduk 750 ribu, kini telah mencapai 20 ribu orang.

Jika diinventarisir lebih jauh, bukan hanya larangan menggunakan pengeras suara atau takbir keliling yang dialami oleh umat Islam di Timtim. Di Luro, kabupaten Lautem, Departemen Agama setempat menginginkan agar sebuah madrasah yang dikelola oleh yayasan An Nur ditutup karena dianggap melakukan proses Islamisasi. Di Daisua, Same, Kabupaten Manufahi, dua orang dai ditangkap dengan tuduhan memalsukan tanda tangan. Ujung-ujungnya ada kaitannya juga dengan tuduhan Islamisasi.

Di Dili, sebuah musalla di kantor PU harus dibongkar, dengan alasan tak mempunyai IMB (Izin Mendirikan Bangunan). Demikian pula halnya dengan Yayasan Kesejahteraan Islam Nasrullah (Yakin) yang diserbu oleh massa dengan sebab yang tak jelas.

Dan yang paling banyak dibicarakan belakangan ini adalah dipindahkannya Ka Dolog Timtim Ir. Muslimin Siregar. Alasannya, karena Muslimin dianggap terlalu aktif dalam kegiatan Islam, sementara istrinya juga aktif dalam kegiatan pengajian.

Beberapa kasus di atas, hanyalah sekadar contoh betapa umat Islam tidak leluasa untuk menjalankan ibadahnya. Alasan yang banyak dipakai adalah kondisi Timtim yang berbeda dengan wilayah Indonesia yang lain dan mayoritas penduduk di sana Katolik. “Mereka selalu berpegang pada pernyataan Pangdam agar umat beragama lain menahan diri di Timor-Timur. Tapi menahan diri yang bagaimana?” keluh Chairil Anwar, seorang anggota Tim-9.

Tim yang disebut belakangan tadi terdiri dari beberapa orang pemuda Islam Timtim yang memprotes berbagai perlakuan diskriminatif dan puncaknya penyerbuan dan pengrusakan kantor Yakin Juli lalu. Disebut Tim-9, karena mereka terdiri dari sembilan orang, yaitu Faisal M. Alkatiri, Chairil Anwar, Saidi Abdullah, Abdul Harris Azis, Marfuad Masmar,Eka Komara, Abubakar A Azis, Resmika Husman, dan Ali Atamimi.

Kondisi yang memprihatinkan ini pernah dilaporkan oleh Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Timtim H. Salem M Sagran kepada ketua MUI Pusat, Mendagri, Menag, Menlu RI, dan juga Panglima ABRI.

Dalam Munas MUI akhir Juli lalu, Ketua MUI Timtim (Alm) H. Abdul Hamid juga mengeluhkan hal serupa. Sehingga dalam salah satu rekomendasi keputusan Munas dicantumkan masalah dakwah di Timtim haruslah mendapat perhatian tersendiri.

Persoalannya, banyak pihak maupun media yang terkesan menghindar untuk membuka berbagai persoalan umat Islam di Timtim. Alasannya tak lain karena masalah Timtim belum selesai di forum internasional. Dan isu proses Islamisasi bisa menjadi ganjalan. Jika alasan semacam ini terus digunakan, bisa diduga kondisi yang lebih buruk akan menimpa umat Islam di sana. Soalnya, sikap diskriminatif itu dilakukan oleh aparat pemerintahan sendiri.

ABRI yang diharapkan dapat bertindak sebagai pihak yang netral, posisinya serba salah. “ABRI posisinya agak sulit. Sebab kalau mereka bertindak, dibenturkan dengan masalah Hak Asasi Manusia. Tapi kalau diam, umat Islam yang sengsara,” kata Saidi Abdullah.

Apa yang dikatakan oleh Saidi tidaklah berlebihan. Berbagai sorotan internasional membuat aparat keamanan juga harus lebih menahan diri. Makanya kemudian muncul pameo, bila seorang warga Timtim dijewer telinganya, maka berita yang muncul di luar negeri telinganya telah dipotong’.

“Semula saya menimbang-nimbang apa manfaat dan mudaratnya jika masalah ini diungkapkan. Tapi saya sekarang berkeyakinan bahwa masalah ini perlu diketahui secara luas,” kata Abdullah Sagran, salah seorang anggota MUI Timtim.

Tapi benarkah ada proses Islamisasi di Timtim? Jika berpegang pada data statistik yang ada, maka yang terjadi malah sebaliknya. Seperti dikutip oleh Media Dakwah, edisi Agustus 1995, ketika pemerintah Porto melakukan sensus tahun 1973 jumlah penduduk Timtim 625 ribu jiwa, dengan komposisi: Katolik 40.000 jiwa, Protestan 4000 jiwa, Islam 600 Jiwa, dan animisme 581.400 jiwa.

Anehnya, ketika pemerintah RI mengadakan sensus tahun 1980, diumumkan jumlah penduduk Timtim 555.350 jiwa, dengan Katolik mencapai 75 %. Tapi data ini dibantah oleh Martinho Da Costa Lopez yang saat itu menjadi Uskup. Menurutnya, jumlah yang benar hanya sepertiganya.

Berdasarkan fakta ini jelaslah bahwa sebenarnya Timtim adalah lahan yang masih terbuka untuk semua agama melakukan dakwahnya. Kendati begitu, toh kalangan Islam tidaklah terlalu ofensif. Kalau saat ini jumlah umat Islam cukup banyak, sebagian besar adalah pendatang.

Memang banyak juga penduduk setempat yang tertarik masuk Islam. Dalam banyak kasus mereka ini biasanya tertarik Islam, karena praktek yang dilakukan oleh para anggota ABRI. “Saya melihat mereka bersih-bersih, mandi dua kali dan setiap mau salat berwudlu,” kata M Idris.

Akan halnya jumlah Katolik secara statistik cukup besar, kasus Joao Soares dari Daisua bisa dijadikan contoh untuk menjelaskannya. Di zaman Porto, untuk mendapatkan KTP maka nama-nama setempat seperti Maubere, Kibere, Bibere atau Bikunta yang bila di Jawa bisa disetarakan dengan Suto, Guno, Sinah atau Pariyem, tak diperkenankan. Mereka harus mengubah namanya menjadi Fernando, Fransisco atau Amaral.

“Jadi walaupun secara nominal mereka Katolik, tapi secara intrinsik mereka tetap Zentio,” kata Saidi. Argumen ini dibenarkan oleh Joao Soares yang kini berganti nama menjadi Abdul Hasan.

Lepas dari berbagai perdebatan tentang kondisi dan fakta yang ada, bagaimanapun kondisi yang diskriminatif tadi perlu mendapat perhatian. Atau setidaknya kita perlu mempertegas kembali rekomendasi Munas MUI bahwa dakwah di Timtim perlu mendapat perhatian tersendiri.


Sumber 1, sumber 2

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama