Suatu hari, prajurit bernama Sapto dengan pengawalan ketat melakukan inspeksi ke sejumlah pemukiman di Baucau, Timor Timur. Di kawasan itu, Sapto keluar-masuk rumah penduduk dan memeriksa semua isi rumah secara detil. Rupanya Sapto ingin menyaksikan bagaimana penduduk Timor Timur menata rumahnya, sekaligus seberapa jauh proses integrasi telah berhasil.
Di ruang tamu beberapa rumah penduduk Sapto melihat terpampang gambar burung Garuda dan potret Presiden Soeharto serta Wakil Presiden Try Sutrisno di sebelah kanan-kirinya. ‘Wah, ternyata Bapa sudah sadar dengan arti integrasi ya.’ Dan rupanya Bapa sudah tahu bahwa presiden di Timor-Timur adalah Soeharto dan wakilnya adalah Try Sutrisno. Selamat Bapa,’ ujar Sapto sambil memberikan uang Rp 100 ribu.
Sapto mengulanginya ke setiap penghuni rumah yang diketahui memasang lambang Garuda dan potret presiden dan wapres.
Kini giliran rumah Manuel yang dikenal sebagai anti-integrasi diinspeksi Sapto dan rombongannya. Ketika masuk ke ruang tamu, Sapto tampak tertegun melihat di ruang tamu rumah Manuel tergantung sebuah patung Yesus Kristus tengah disalib. Sedang di kanan-kirinya terpampang gambar Soeharto dan Try Sutrisno.
Raut wajah Manuel dan istrinya sempat tegang. Tapi senyum Sapto pun segera mengembang. ‘Tak saya sangka Bapa Manuel telah menyadari arti integrasi. Terima kasih bahwa Bapa telah menyejajarkan Pak Harto dan Pak Try dengan Yesus,’ ujar Sapto sambil memerintahkan anak buahnya menyerahkan uang sebesar Rp 500 ribu sebagai penghargaan kepada Manuel.
Ketika rombongan berlalu, datang tetangga Manuel bernama Mariano.
‘Lho bukankah Bapa selama ini melawan penindasan penguasa Orde Baru? Apa betul Bapa menyejajarkan Soeharto dan Try Sutrisno dengan Yesus?’ tanya Mariano.
‘Ah siapa bilang. Itu kan kata si Sapto. Kau pasti ingat adegan penyaliban di Golgota. Yang disalib di samping kiri dan kanan Yesus adalah kriminal,’ jawab Manuel enteng.