PRAJURIT ABRI SEBAGAI TUMBAL

 
Foto sebagai lustrasi tulisan

Timor Timur adalah daerah kompetisi naik pangkat bagi para perwira militer. Perang yang diciptakan oleh operasi intelijen Opsus pimpinan Jendral Ali Moertopo di Timor Timur hanyalah kesenangan ideologis dari kumpulan jendral di Jakarta untuk memuaskan psikis mereka yang ditakut-takuti oleh hantu komunisme yang ditiup-tiupkan Amerika. Perang tak berkesudahan di Timor Timur, tidak menciptakan suatu beban psiko-historis bagi para jendral tersebut, selain kebanggaan mengelus-elus lencana penghargaan dan kenaikan pangkat. Dunia para jendral Orde Baru yang menciptakan perang itu sendiri, berkebalikan dengan sisi-sisi kehidupan prajurit yang dengan terpaksa, dengan alasan yang sulit dipahami, untuk mengorbankan selembar nyawa mereka di bawah demagogi mengabdi tanah air dan negara.

Mengamati perang di Timor Timur tidaklah cukup dengan hanya mengangkat kebrutalan ABRI di sana, tapi juga harus dilihat beban psikologis yang harus dihadapi seorang prajurit sebagai manusia biasa. Bagi rakyat Indonesia bukan hanya nasib rakyat Timor Timur yang menjadi korban perang yang masih gelap, tapi juga nasib ribuan prajurit yang dikirim ke sana. Tidak seperti pemerintah di AS yang harus bertanggungjawab atas pengorbanan para prajurit untuk ambisi perang dingin di Vietnam di hadapan rakyatnya. Pemerintah Indonesia yang tertutup, tidak pernah mengumumkan tentang jumlah korban dari para prajurit di sana. Sikap tertutup ini justru memberikan suatu fakta bahwa rejim ingin menyembunyikan segala hal yang menyangkut korban perang di Timor Timur dari pihaknya, meskipun itu adalah para prajurit yang mereka kirim sendiri.

Bila kita tengok ke belakang. Pada awal dijalankannya Operasi Seroja telah terjadi ketidaksepakatan di lingkungan para perwira. Komandan Kostrad saat itu, Leo Lopilusa sedang berada di Paris ketika Ali Moertopo menjalankan Operasi Seroja. Tampaknya Leo sengaja tidak dilibatkan karena ada kemungkinan ia tidak sepakat dengan operasi tersebut. Ia berkata dengan penuh penyesalan tentang nasib prajurit yang terpaksa dikirim ke Timor Timur. “Saya hanyalah seorang pengurus kamar mayat. Tak lebih daripada itu. Saya tidak terlibat. Saya telah dituduh menggali liang kubur bagi orang-orang yang tidak pernah kembali lagi.” (Richard Tanter, “Intelligence Agencies and Third World Militarization: A Case Study of Indonesia, 1966-1989, h. 350)

Jendral Sayidiman Suryohadiprojo, meskipun terlambat, memberikan ulasan kritis atas perang yang tak pernah tuntas di Timor Timur. Bahkan dengan agak sinis ia menilai Operasi Seroja sebagai strategi yang keliru secara militer. Dengan penuh kecewa ia menulis, “Memang kalau tidak ada akibat yang merugikan, para penyelenggara (yaitu para pimpinan intel) menjadi pahlawan. Tapi terbukti berakibat fatal.” (Sayidiman Suryohadiprojo, Kepemimpinan ABRI dalam Sejarah dan Perjuangannya, Jakarta, 1996, h. 275) Dalam wawancaranya di majalah Gatra, 10 Februari 1996 ia menyamakan intervensi di Timor Timur dengan intervensi Uni Soviet di Afganistan, intervensi Amerika di Vietnam dan intervensi Rusia di Chechna sekarang ini.

Menurut Letkol Soebijanto, seorang perwira yang berani menolak untuk dikirm berperang di Timor Timur, “ABRI yang sudah ke Timor Timur itu, ya keceblok, terperangkap jatuh, sudah terlanjur masuk lumpur, begitu.” (Aboeprijadi Santoso, Jejak-Jejak darah: Tragedi dan Pengkhianatan di Timor Timur, Yogyakarta, Pijar Indonesia, 1996, h. 37)

Satu hal yang tidak bisa digantikan oleh kedua belah pihak yang sedang berperang adalah melayangnya nyawa mereka. Para jendral yang bertanggungjawab atas kelangsungan perang juga tidak pernah secara terbuka mengumumkan tentang jumlah prajurit yang tewas sia-sia di sana. Di koran dan TV hanya mencatat komentar para jendral atas berbagai operasi teritorial di Timor Timur. Namun pada kenyataannya kesuksesan itu harus diumumkan di atas galian kubur para prajuritnya sendiri. Para jendral tersebutlah yang menggali liang kubur bagi para prajuritnya sendiri. Menurut Letkol Soebijanto tentang jumlah korban dari pihak prajurit ABRI: “Kalau mulai dari awal penyerangan di Dili sampai sekarang … tak bisa ukuran seribu atau dua ribu. Itu bisa lima ribuan atau sepuluh ribuan orang.” (Aboeprijadi Santoso, Jejak-Jejak darah: Tragedi dan Pengkhianatan di Timor Timur, Yogyakarta, Pijar Indonesia, 1996, h. 39) Sementara menurut George Aditjondro sejak Desember 1975 sampai dengan Agustus 1976, sekitar 500 orang tentara Indonesia telah mati terbunuh dan 2.000 orang lainnya luka parah (Dari Memo ke Tutuala, 6 Agustus 1993). Bisa dibayangkan berapa jumlah prajurit yang gugur selama 20 tahun perang sipil di sana.

Bila nasib korban perang Vietnam menjadi daftar penyesalan rakyat dan pemerintah AS yang harus juga ditanggung oleh generasi masa depan, maka perang di Timor Timur yang memakan korban ribuan prajurit justru membuat penguasa Jakarta semakin rapat untuk menutup-nutupi. Prajurit memang harus tunduk pada komando. Tapi komando para jendral telah memperlakukan para prajurit sebagai bidak-bidak catur yang bisa mereka maju-mundurkan seenaknya. Mereka tidak peduli bahwa para prajurit hanya mempunyai selembar nyawa yang harus ditanggung, anak-istri atau orangtua yang menanti penuh khawatir; prinsipnya prajurit tidak lagi diperlakukan sebagai manusia yang sebenarnya. Bila mereka mati maka bintang-bintang jasa akan disematkan pada para perwira. Karangan bunga dan puja-puji kepahlawanan tidak dapat mengembalikan para prajurit di tengah orang-orang yang dicintainya.

Bagi para prajurit ABRI yang dikirim ke medan perang di Timor Timur adalah sebuah perjudian rolet rusia yang menegangkan. Apalagi bila ditambah dengan berbagai cerita tentang para prajurit yang gugur, cacat atau hilang tak tentu rimbanya. Situasi ini menciptakan suatu ketegangan psikologis yang hanya dapat dirasakan oleh mereka yang menjalani perang itu sendiri. Para prajurit itu sendiri bila dibolehkan memilih, pastilah akan memilih untuk tidak dikirim ke Timor Timur. Ada kisah seorang prajurit yang rela mematahkan salah satu kakinya sendiri ketika kesatuannya akan dikirim ke Timor Timur. Dengan cara ini ia tidak jadi dikirim ke Timor Timur. Ada pula para prajurit yang stres hingga berat badannya susut hingga 5 sampai 10 kilogram. Di Indonesia, masyarakat yang melintas di depan kompleks satuan tentara yang baru pulang bertugas dari Timor Timur, harus ikut memikul stres yang diderita para anggota ABRI, berupa larangan kecepatan dan suara mesin kendaraan. Bila yang melanggar aturan biasanya dipukuli hingga babak belur. Banyak pula keluarga yang melakukan lobi kepada perwira supaya suami atau anaknya jangan dikirim ke Timor Timur. Sedangkan para prajurit yang melepas kawan-kawannya selalu punya harapan: “semoga ini kontingen yang terakhir”.

Namun sesudah 20 tahun kontingen terakhir tak pernah ada. Cara lain untuk menghilangkan rasa takut adalah dengan cara mencari dukun untuk mendapatkan jimat. Atau mencari “orangtua” sakti yang dapat memberikan mantera dan keselamatan agar mereka tidak terkena bencana di Timor Timur. Saya masih ingat dengan tetangga saya pada masa kecil yang mengadakan selamatan karena salah seorang prajurit yang merupakan anak kandungnya pulang dari Timor Timur. Adiknya yang merupakan teman main saya berkata, bahwa ibunya tidak pernah merasa tenang selama anaknya berangkat ke Timor Timur. Inilah kenyataan yang harus dihadapi oleh istri, anak, ayah, atau ibu para prajurit yang dikirim ke medan perang di Timor Timur. Di manakah para jendral pada saat itu?

Bagaimanakah perlakukan para penguasa militer yang menciptakan perang di Timor Timur memperlakukan para prajuritnya di sana? Di Jakarta, para jendral dan diplomat hanya sibuk menangkis kritikan dunia internasional jadi tidak sempat memikirkan nasib para prajurit yang ada di sana. Sementara para prajurit yang harus gugur hari demi hari harus dirahasiakan kematiannya. Bahkan yang cacat dan harus dirawat harus diisolasi dan tidak boleh diketahui oleh keluarganya. Menurut Letkol Soebijanto:

“Walaupun dia pulang selamat, kebanyakan cacat. Itupun waktu cacat dari Timor Timur itu dirahasiakan oleh pemerintah kita … Semua militer yang ada di Timor Timur yang masih bisa ditolong, artinya masih bisa disembuhkan, apa itu kakinya, apa itu kepalanya, apa tangannya, itu langsung dilarikan keluar dari Dili… Dan saudara selain militer tidak boleh diketahui.” (Aboeprijadi Santoso, Jejak-Jejak darah: Tragedi dan Pengkhianatan di Timor Timur, Yogyakarta, Pijar Indonesia, 1996, h. 40)Bila para pimpinan entah dengan pertimbangan macam apa tidak memperbolehkan keluarga sendiri tahu tentang kondisi mereka yang sedang sekarat atau luka-luka, pada siapa mereka harus memohon bantuan? Hukum militer memang keras tapi bukan berarti tidak berdasar kemanusiaan, apalagi atas para prajuritnya yang luka-luka dan dalam kondisi psikologis yang down. Biasanya para prajurit yang sedang bertugas atau luka-luka dan dalam perawatan menitip salam atau surat pada kontingen atau kesatuan yang ingin pulang untuk disampaikan pada keluarga. Romo Mangunwijaya, orang di luar ABRI, menceritakan kesannya ketika membezoek seorang prajurit yang sedang dirawat di rumah sakit. Prajurit yang berbaring itu meminta kepada Romo Mangun untuk memberitahu keluarganya. Saya tidak boleh memberitahu kepada istri kalau saya sakit.” (D&R, 30 November 1996)

Di medan pertempuran sekalipun para prajurit ABRI yang tampaknya marah dengan pengiriman mereka ke medan perang yang tidak mereka kehendaki mempunyai cara sendiri untuk menunjukkan bahwa mereka tidak memusuhi rakyat Timor Timur. Ini merupakan suatu cara dari para prajurit tersebut untuk menunjukkan pembangkangan secara tidak langsung pada para komandan yang hanya ingin menjadikan mereka tak lebih sebagai anjing-anjing pembunuh belaka. Malahan beberapa prajurit mendukung kemerdekaan Timor Timur sebagaimana yang diajarkan oleh konstitusi Indonesia. Xanana Gusmao mengungkapkannya dalam sebuah wawancara:

“… bahwa di dalam tubuh ABRI ada orang yang baik hati. Banyak gerilyawan yang ditawan, di malam hari dilepaskan. Atau ada yang dapat saran supaya lari sebelum mereka dihabisi. Tidak pernah ada disersi tentara Indonesia, tapi banyak batalyon yang menghindari bentrokan senjata dengan kami, atau mencari cara untuk memberi tahu kami. Sampai tahun 1978 kami masih banyak bantuan dari ‘teman-teman’ yang tak dikenal yang meninggalkan amunisi, bahan peledak, obat-obatan, dan sebagainya di tenda-tenda. Bahkan ada batalyon-batalyon yang berbicara dengan rakyat tentang hak-hak atas kemerdekaan.” (Aboeprijadi Santoso, Jejak-Jejak Darah, 1996, h. 67)Saya sendiri juga pernah mendengar kisah tentang prajurit yang membebaskan seorang aktivis kemerdekaan Timor Leste yang ditangkap. Pemuda Timor Leste tersebut dibawa kesuatu tempat sepi dengan sebuah kendaraan. Beberapa orang prajurit siap untuk memuntahkan peluru. Tiba-tiba saja salah seorang yang tampaknya menjadi pimpinan menghampiri dirinya, membebaskan ikatan di tangan dan kaki, lalu menyuruhnya lari. Biasanya ini adalah taktik klasik tentara di sana untuk melegitimasi pembunuhan politik dengan alasan korban akan melarikan diri dan melawan petugas. Namun setelah ratusan, ribuan langkah tak satu peluru pun menembus punggungnya, hingga ia dapat bersembunyi. Tadinya ia menduga akan dibuntuti menuju tempat persembunyian teman-temannya. Tapi ternyata kecurigaan itu tidak benar. Ini bukan sebuah keajaiban di film, tapi suatu fakta yang menunjukkan bahwa para prajurit juga mengalami suatu pengalaman batin yang rumit.

Meskipun para jendral fasis telah menangkap pimpinan perjuangan rakyat Timor Timur Xanana Gusmao, tetap saja penangkapan itu tidak menutupi hati kecil mereka untuk mengakui bahwa di belakang Xanana berdiri ratusan ribu rakyatnya. Di dalam pembelaannya di Pengadilan Negeri Dili, Xanana menceritakan betapa istri seorang perwira yang menangkapnya justru tercengang-cengang mengetahui betapa besar dukungan yang telah dimiliki oleh Xanana. Nyonya itu tiba-tiba berkata di dekat Xanana. “Akhirnya banyak rakyat yang menyokong dia.” Seorang perwira tinggi juga menukas, “mungkin semua rakyat Timor Timur.” (Pembelaan, 27 Maret 1993). Pernyataan kedua orang ini membuktikan bahwa para jendral tersebut telah rela untuk menggadaikan suara hati nuraninya sekadar untuk promosi jabatan dan kenaikan pangkat. Meskipun begitu suara hati nurani yang kelewat dipaksakan untuk dibendung akhirnya keluar juga dalam bentuk gumaman yang spontan dan mungkin tidak disadari keluar begitu saja dari mulut mereka.

Dari semua kisah di atas, pengalaman tentang sersan Edi adalah yang paling banyak dikenang. Pada awal tahun 1979 seorang prajurit yang terluka parah dalam pertempuran ditinggalkan oleh komandannya dalam keadaan sekarat. Para pejuang Falintil tidak membunuhnya tapi merawat lukanya hingga sembuh dengan tulus dan penuh perhatian. Setelah luka-lukanya sembuh sersan Edi itu bergabung dengan Falintil. Di dalam pasukan ia diberi tugas untuk mengajarkan bahasa Indonesia kepada para komandan regu. Hampir selama 3 tahun ia bergabung. Pada tahun 1982 ia turun gunung dan menyerahkan diri pada sebuah Korem di Dili. Dari sana ia dioper ke Kodam Udayana dan diajukan ke Mahkamah Militer di Denpasar, Bali dengan tuduhan disersi dan dijatuhi hukuman 4 tahun serta dibebastugaskan dari militer. Ini adalah suatu ironi, para komandan yang meninggalkan anak buahnya yang terluka, justru tidak diadili, tapi membantu Falintil yang menolong nyawanya justru dianggap bersalah.

Begitulah kenyataan yang terjadi di lapangan. Semuanya serba tidak terduga. Sikap para prajurit yang membantu para pejuang Timor Timur menunjukkan bahwa tidak semua prajurit setuju dengan perang pendudukan di Timor Timur. Namun kekebalan para jendral di Jakarta sudah tidak sanggup lagi membaca tanda-tanda tersebut. Para prajurit terus dikirim. Dan korban terus berjatuhan.

Ali Alatas, Menlu Indonesia yang sering kehilangan muka di berbagai forum internasional bila ditanyakan soal Timor Timur, hanya sibuk ber-cocktail party dan mengadu gelas toast untuk membenarkan proses integrasi yang belum bisa diterima dunua. Para diplomat ini jelas tidak tahu bahwa ribuan prajurit dikorbankan untuk perang yang tidak pernah selesai di Timor Timur. Gengsi para diplomat tidak dapat merasakan bagaimana duka kehilangan teman, penderitaan keluarga para prajurit, maupun beban psikologis menghadapi medan yang berat. Ali Alatas tidak pernah tahu jeritan ibu Soedarni dari Jawa Tengah yang tidak pernah tahu nasib saudaranya yang dikirim ke Timor Timur. “… Jadi sampai sekarang pun belum ada berita yang sebenarnya. Meninggalnya bagaimana itu belum ketahuan sampai sekarang.” (Aboeprijadi Santoso, Jejak-Jejak darah: Tragedi dan Pengkhianatan di Timor Timur, Yogyakarta, Pijar Indonesia, 1996, h. 67) Ia juga tidak pernah tahu tentang nasib para anak yatim yang kehilangan ayahnya, para istri yang kehilangan gantungan hidup dan harapan karena suaminya tidak akan pernah menjadi bapak yang membesarkan dan membimbing anak-anaknya. Ucapan duka cita, puja-puji, tanda kehormatan dan demagogi nasionalisme tidak bisa menghidupkan para prajurit yang sudah mati dari liang kubur. Peter R, seorang wartawan dari Timor Barat mengatakan rasa keprihatinannya:

“Kalau kita lihat di panti-panti asuhan yang merawat anak-anak yatim korban dari pertempuran di Timor Timur yang saya lihat di Panti Asuhan Seeroja di Bekasi Jakarta, itu cukup banyak. Nah, itu ‘kan sangat mengharukan kalau kita lihat orangtua mereka, akhirnya menjadi korban dari suatu kewajiban.” (Aboeprijadi Santoso, Jejak-Jejak darah: Tragedi dan Pengkhianatan di Timor Timur, Yogyakarta, Pijar Indonesia, 1996, h. 40)Biarpun para prajurit tersebut tunduk pada perintah dari para komandan, bukan berarti sah untuk menginjak-injak hak mereka sebagai manusia yang punya perasaan dan bisa menilai sendiri tentang apa yang sebenarnya telah mereka lakukan di Timor Timur. Memang kerap terdengar adanya cara-cara yang di luar batas kemanusiaan atas para prajurit tersebut. Misalnya adalah pemberian “pil-pil tertentu” yang membuat para prajurit “setengah sadar” hingga dapat menghilangkan rasa takut mereka dan mampu bertindak brutal, bahkan terhadap rakyat jelata sekalipun, dengan tindakan di luar batas kemanusiaan. Bukankah ini tindakan yang biadab! Menjadikan fitrah manusia yang berakal sehat menjadi buas seperti binatang. Namun meskipun berbagai upaya dilakukan untuk mengubah kodrat prajurit sebagai manusia tetap saja terjadi konflik batin di dalam diri mereka. Letkol Soebijanto mengatakan, “… saya kalau ke sana nanti, saya hanya norekken mengambil nyawa saja nich, saya bilang gitu, harus tugas dulu yang diutamakan, tapi kan nggak boleh begitu pak. Namanya kita manusia.” (Aboeprijadi Santoso, Jejak-Jejak darah: Tragedi dan Pengkhianatan di Timor Timur, Yogyakarta, Pijar Indonesia, 1996, h. 37) Romo Mangunwijaya mencatat kontradiksi tersebut sebagai sesuatu yang memang ada dan dapat dilihat dengan dua bola mata atau dua telinga sendiri:

“Atau mendengar sendiri, kesaksian (bisik-bisik) para pegawai sipil RI yang pernah bekerja di Timor Timur, yang masih jujur dan bisa dipercaya, bahwa kopral sersan yang pernah bertempur di sana dan tidak tahan menyimpan segala beban rahasia di dalam hati lalu bercerita kepada keluarga dan tetangga, apa yang mereka lihat atau dipaksa harus dikerjakan di bawah perintah dengan segala konflik batin yang luar biasa.” (Rohaniawan Tak Boleh Berpolitik? Apakabar, 20 November 1996)Melihat seluruh konsekuensi yang harus diterima oleh ribuan prajurit yang telah tertipu oleh perang yang tak lebih untuk mempertahankan gengsi diplomasi para penguasa di Jakarta, PRD dalam buku Manifesto PRD mengatakan bahwa perang di Timor Timur harus dihentikan untuk menyelematkan penderitaan ribuan para prajurit dan keluarganya. Dalam resolusi PRD tersebut dikatakan:

“… perang sipil yang berkepanjangan telah menimbulkan korban nyawa yang banyak di kalangan para prajurit ABRI, para pejuang Timor Timur dan rakyat sipil. Ini mengakibatkan suatu trauma psikis bagi para prajurit beserta sanak-keluargnya. Perang ini harus dihentikan dengan menyepakati solusi-solusi yang ditawarkan oleh PBB.” (Manifesto PRD, h. 82) Nasib para prajurit ABRI yang menjadi korban tersebut harus dibicarakan kepada rakyat. Untuk itu tidak ada upaya lain untuk menghentikan ribuan prajurit dan keluarganya yang telah menjadi “tangga darah” bagi kenaikan pangkat para perwira selain menghentikan perang tersebut dan menarik mundur semua personil militer dari Timor Timur. Lalu menyerahkan keamanan Timor Timur di bawah pengawasan PBB langsung. PBB nanti dapat mengusahakan suatu misi pasukan perdamaian seperti yang dilakukan di Kamboja, Bosnia, Albania, Ethiopia. Dengan cara ini Indonesia tidak hanya dapat menghemat anggaran militer untuk mensejahterakan prajurit, tapi juga dapat menghentikan jatuhnya korban-korban baru. Secara diplomatis Indonesia juga sudah terbebas dari tekanan internasional yang selama puluhan tahun tidak dapat menerima praktek pendudukan di Timor Timur.

Bila para jendral dan penguasa tidak mempunyai iktikad untuk menghentikan operasi militer di Timor Timur, maka pengalaman para veteran perang Vietnam yang menjadi korban dapat dijadikan contoh. Para veteran mengorganisir aksi-aksi, petisi, resolusi dan pernyataan sikap untuk menghentikan perang di Vietnam. Malahan banyak yang di antara mereka menjadi aktivis anti-perang dan pendukung perdamaian yang fanatik. Film yang dibintangi oleh Tom Cruise, Born in Fourth of July merupakan contoh yang dapat ditiru. Sebagai seorang prajurit bekas perang Vietnam, Tom Cruise, sang tokoh utama, kembali dalam kondisi invalid bukan dengan pujian, tapi dengan fakta bahwa rakyat Amerika sendiri tidak merestui perang di Vietnam. Bersama semua teman-temannya yang menjadi korban perang yang dibuat oleh penguasa, ia mengorganisir aksi-aksi penentangan meminta agar perang dihentikan untuk menyelamatkan kemanusiaan. Mungkin langkah ini terlihat ekstrim di Indonesia yang otoriter dan tidak pernah memberikan pendidikan demokrasi dalam hirarki komandonya. Namun paling tidak para keluarga prajurit dapat menuntut ganti rugi material dan pertanggungjawaban dari para jendral yang mengirim para prajurit ke medan perang yang tidak mereka kehendaki. Atau, mengajak para jendral pensiunan yang sekarang kritis agar mau membicarakan nasib para prajurit dan keluarganya yang kini harus menanggung beban psikologis dan ekonomis dari perang di negeri asing yang dalam proklamasi kemerdekaan belum disepakati sebagai wilayah republik.


Sumber

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama