PERANG RUSIA SEBAGAI REFLEKSI POLITIK TERITORI INDONESIA

 


Oleh: Basmeri[1]

Perang Rusia vs Ukraina di Bulan Februari 2022 merupakan peristiwa politik yang serius di kawasan Eropa Timur. Rusia melihat peristiwa ini sebagai hal yang harus dilakukan untuk memastikan keamanan wilayah Rusia sendiri. Reaksi dunia yang menentang diabaikain Putin. Putin bahkan mengancam negara mana pun yang melakukan intervensi maka akan mengambil resiko menghadapi serangan militer Rusia secara penuh. Tindakan beserta ancaman Putin secara faktual sangat efektif karena invasi terhadap Ukraina berlangsung sesuai rencana Rusia. Beberapa negara secara implisit mendukung invasi Rusia seperti China, Iran, Korea Utara Venezuela yang merupakan mitra Rusia selama ini.

Perang Rusia ini memperlihatkan determinasi dan dominasi Rusia yang sangat nyata atas Ukraina. Kekuatan militer dan teknologi canggih peperangan membuat Putin mampu melangkah melawan dunia dan dunia pun tidak berdaya dengan ancamannya, termasuk NATO dan AS. Memang NATO dan AS memiliki kesulitan landasan hukum untuk melakukan intervensi untuk mencegah Rusia. PBB pun hanya bisa mengutuk karena tidak mampu mengendalikan perang Rusia. Keputusan Dewan Keamanan PBB (resolusi) menyesalkan serangan Rusia terhadap Ukraina pada Jumat (25/02/2022) di Markas Besar PBB digagalkan Rusia dengan menggunakan hak vetonya. Resolusi DK PBB ini didukung oleh 11 anggota sementara China, India dan Uni Emirat Arab memilih abstain. Penggunaan hak veto oleh Rusia menggagalkan peran DK PBB untuk menghentikan perang Rusia terhadap Ukraina. Konsekuensi selanjutnya Rusia akan terus menyerang Ukraina sampai keinginannya terwujud.

Mencermati latar belakang perang Rusia maka kita tidak akan menemukan alasan apa pun termasuk ancaman terhadap keamanan Rusia sebagaimana diwartakan Putin. Ukraina adalah sebuah negara merdeka dan berdaulat setara dengan Rusia dan lainnya dalam segala persyaratannya. Atas dasar ini maka perang Rusia terhadap kedaulatan Ukraina adalah tindakan melawan hukum dan norma-norma internasional. Masyarakat interasional pun turut menyesalkan dan mengutuk invasi Rusia. Mayoritas tunggal negara-negara di dunia mengutuk tindakan Presiden Vladimir Putin sebagai invasi tidak beralasan terhadap kedaulatan Repubblik Ukraina

Pemerintah Indonesia tidak memiliki sikap yang jelas terkait perang Rusia terhadap Ukraina. Presiden Indonesia maupun Menlu Indonesia tidak memiliki sikap dan pernyataan sikap yang jelas di berbagai media, maupun kesempatan yang selalu terbuka. Pemerintah Indonesia sepertinya mengambil sikap abstain. Sikap abstain sesungguhnya adalah sikap ambigu yang cenderung berpangkal pada keraguan dan ketakutan. Hal ini pada sisi lain memperlihatkan dengan jelas bahwa Pemerintah Indonesia pun memilih-milih untuk bersikap dalam konflik atau perang antara negara. Pemerintah Indonesia melalu presiden maupun menlunya selalu reaktif mengutuki tindakan penyerangan Israel terhadap wilayah Palestina. Namun berbanding terbalik ketika Rusia memerangi Ukraina. Pemerintah Indonesia tampak “bingung” dan tidak mampu bersikap. Pemerintah Indonesia tidak mampu menyadari bahwa sikap ambigu yang mengambang terhadap perang Rusia di Ukraina ini menegaskan pemerintah tidak memiliki standar sikap politik luar negeri yang jelas, tegas dan nyata.

Berlindung di bawah payung “politik luar negeri yang bebas dan aktif” pun tidak pantas karena dalam kasus ini, slogan politik luar negeri di atas menjadi basi sekaligus mandul. Bagaimana kita “bebas” jika menyatakan sikap politik saja tidak sanggup? Bagaimana kita “aktif” jika tidak bertindak apa pun? Memang menyedihkan jika mencermati sikap pemerintah dalam konflik ini. Pemerintah tampak berusaha baik dengan Rusia dengan resiko menabrak amanat konstitusi sendiri. Pemerintah menghendaki perang tidak terjadi tetapi sikap dan tindakan tidak pernah ada. Kebingungan dan ketidakberdayaan sikap Pemerintah Indonesia terhadap perang Rusia ke Ukraina menyiratkan satu hal minus yakni Pemerintah Indonesia memang lemah ketika berhadapan dengan konflik atau perang pada level wacana internasional. Bangsa ini akan selalu lemah jika pemerintah hari ini tidak memulai perilaku dan sikap politik luar negeri yang jelas dan tegas.

Kelemahan pemerintah ini dapat dipahami ketika kita menapaki sejarah bangsa ini sendiri. Ini merupakan warisan pemerintah masa lalu. Peristiwa Timor Timur merupakan preseden baik untuk menggambarkan betapa lemahnya pemerintah Indonesia berhadapan dengan realitas konflik pada level dunia.

Pemerintah Indonesia tidak mempunyai alasan untuk tidak mengutuki tindakan Rusia bukan hanya karena amanat konstitusi melainkan jua karena bertentangan dengan hukum internasional dan hukum humaniter. Sikap dan tindakan ini menjadi bukti bahwa Indonesia adalah negara berdaulat dan mampu bersikap dan berbicara atas dasar konstitusinya dan hukum internasional, hukum humaniter serta norma-norma kemanusiaan.

Apakah Pemerintah hanya mau membantu para pengungsi sebagai korban perang tetapi tidak mampu bersikap dan bertindak menghentikan perang? Pemerintah Indonesia memberikan gambaran buram kepada masyarakatnya. Jika di kemudian hari ada wilayah Indonesia yang diinvasi dengan alasan yang sama irasionalnya dengan Putin atau Rusia, maka Indonesia hanya siap berperang? Apakah Indonesia tidak membutuhkan bantuan negara-negara di dunia? Pemerintah menjadi mandul berpikir dan merefleksikan invasi Rusia sebagai peristiwa yang dapat juga dilakukan Amerika terhadap wilayah separatis di Indonesia. Posisi Indonesia saat ini secara signifikan tidak hanya memperlihatkan kelemahan sikap dan tindakan politik luar negeri Indonesia melainkan juga mengakui kelemahan Indonesia menghadapi tekanan politik luar negeri.

Kegagalan Pemerintah Indonesia mempertahankan Timor Timur ke dalam NKRI menjadi referensi paling benderang mengenai kelemahan pemerintah atas tekanan politik internasional. Pemerintah tidak sanggup menanggulangi intervensi politik internasional terhadap kedaulatan teritorialnya. Berbarengan dengan kelemahan itu, pemerintah juga tidak sanggup menjadi bagian kekuatan internasional dalam memberikan tekanan politik terhadap setiap agresi atau invasi suatu negara ke negara lain, kecuali Israel ke wilayah Palestina. Jadi pemerintah Indonesia memiliki kedua kelemahan itu, baik ke dalam maupun ke luar.

Kedua kelemahan ini, di satu sisi akan memasung pemerintah dalam kebingungan berkelanjutan tetapi di sisi lain selalu berteriak soal kebijakan politik luar negeri yang bebas dan aktif mendorong persahabatan dan perdamaian negara-negara di dunia. Retorika sampah ini senantiasa mengisi kehidupan politik dan hukum luar negeri Indonesia. Pada konteks ini, kita mengakui bahwa partisipasi Indonesia dalam peacekeeping force cukup tinggi, namun pengiriman Pasukan Garuda tidak berhubungan dengan sikap dan tindakan politik luar negeri Indonesia terhadap invasi negara kuat terhadap negara lemah. Kita selalu bereaksi aktif dan langsung jika perang Israel vs Palestina namun menutup mata terhadap invasi Rusia ke Ukraina yang menmbulkan perang. Jika Pemerintah Indonesia memang tidak sanggup bersikap atas invasi Rusia, setidaknya mengambil pelajaran penting dari perang ini untuk menjaga keutuhan dan kedaulatan wilayah Indonesia.

Pelajaran penting yang patut Indonesia ambil untuk dipelajari dan dimaknai adalah keberanian sikap seorang pemimpin. Putin memberikan pelajaran penting itu bagi Indonesia ke depannya. Terlepas dari pelanggaran terhadap kedaulatan Ukraina, namun Putin mengajarkan kepada Indonesia bahwa keberanian seorang pemimpin adalah parameter eksistensi negara itu di mata internasional. Putin mengabaikan apa pun penilaian dan pandangan dunia bahkan sanksi-sanksi yang akan diterimanya. Namun esensi keberanian Putin berpangkal pada eksisntensi kedaulatan dan keamanan negara dan wilayahnya sebagai prioritas tertinggi dan tidak mengenal negosiasi.

Banyak kalangan menilai Putin bertindak melawan hukum dan norma-norma internasional namun bagi Putin stabilitas keamanan wilayah sebagai jaminan eksisteni kedaulatan negaranya menjadi krusial. Putin menyatakan dengan terbuka melalui perangnya bahwa atas nama keamanan dan kedaulatan negaranya semua hukum internasional dan hukum kemanusiaan dapat dilanggarnya. Kedudukan stabilitas keamanan dan kedaulatan negara menjadi prioriitas tertinggi melampau ketentuan-ketentuan internasional.

Pandangan berani seperti ini hanya dimiliki Presiden Soekarno. Pasca Presiden Soekarno kita belum memiliki pemimpin negara yang mampu bertindak independen dan mampu menepis intervensi asing. Sayangnya era kepemimpinan Soekarno yang cukup lama tidak juga mengambil Timor Potugis dari kekuasaan Portugis. Sejarah tidak mencatat alasan Soekarno tidak mengambil Timor Portugis selama kepresidenannya. Kita mengetahui bahwa Soekarno menjadi salah satu yang menekankan batas wilayah termasuk Timor Portugis selain Papua harus dimasukan ke dalam batas negara Indonesia yang akan diproklamirkan. Banyak kalangan sejarahwan maupun masyarakat Indonesia umumnya memandang lepasnya Timor Timur karena bukan menjadi bekas jajahan Belanda. Kemerdekaan Indonesia hanya meliputi wilayah bekas jajahan Belanda. Pemikiran dan pandangan ini mengacu isi persetujuan dalam Konferensi Meja Bunda (KMB) pada 02/11/1959. Isi persetujuan ini kembali disampaikan oleh Bung Hatta dalam Sidang Sidang kedua Rapat Besar BPUPKI (11 Juli 1945) namun keputusan Batas Negara Indonesia dihasilkan melalui voting. Hasil voting mayoritas tunggal anggota BPUPKI memilih opsi kedua yang mana batas-batas wilayah itu meliputi juga Timor Portugis dan Papua. Artinya sejak tahun 1945 Indonesia sudah menyepakati bahwa wilayah negara Indonesia meliputi juga Timor Portugis dan Papua. Timor Portugis masih sebagai koloni Portugis dan Papua masih menjadi koloni Belanda. Memandang bahwa Timor Timur bukan bagian Indonesia karena jajahan Portugis sesungguhnya sudah gugur berdasarkan hasil voting BPUPKI tahun 1945 itu.

Kita mudah terperangkap dalam kekeliruan pandangan yang kita bangun sendiri. Kita pun puas dengan mencukupi diri kita pada sumber informasi tunggal. Kita tidak berusaha menjelajahi sejarah dengan baik agar menemukan informasi altenatif yang mampu membuat kita berpikir lebih bijak dan beralas historik. Memandang Timor Timur berada di luar wilayah NKRI sesungguhnya kita sedang menyangkal pergulatan sejarah kemerdekaan yang dilalui bangsa ini.

Hari-hari menjelang akhir Februari 2022 ini, kita dihadapkan dengan invasi Rusia ke Ukraina. Bagaimana pun penolakan dan pengecaman terhadap Rusia, Putin memiliki alasan sendiri untuk membenarkannya. Putin sebelum invasi telah menghembuskan wacana nostalgia tentang Ukraina. Putin mengatakan bahwa Ukraina adalah satu dengan Rusia sebagai karya Vladimir Lenin melalui Revolusi Boshevik. Putin pun menggemakan bahwa Ukraina dan Rusia memiliki satu identitas. Ukraina dan Dunia serentak menolaknya namun nostalgia Putin seketika bermetamorfosa menjadi invasi militer. Putin menyadari bahwa invasinya ke Ukraina bertentangan dengan hukum internasional dan karena itu akan ditentang oleh dunia. Namun kita melihat sendiri nostalgia Putin mengenai Ukraina di atas direalisasi melalu invasi. Nostalgia Putin hanya sebagai narasi politik membangun kohesi sosial secara historik. Pater Leo Kleden melalu tanggapannya dalam International Symposium di Ledalero – Maumere (2019) lalu mengatakan bahwa berdasarkan filsafat hermeneutik, jati diri suatu bangsa dirumuskan secara naratif yaitu identitas yang ditenun dalam rajutan sebuah kisah. . Putin melalu nostalgianya berusaha merajut kisah dengan Ukraina agar dunia mengetahui bahwa Rusia adalah Ukraina dan Ukraina adalah Rusia. Ukraina dan Rusia adalah satu bangsa dalam rajutan kisah Bolshevik 1917 yang lalu.

Pada konteks ini, melihat lepasnya Timor Timur menunjukkan bahwa Indonesia tidak hanya gagal mempertahankannya secara hukum dan politik tetapi lebih jauh Indonesia gagal membangun identitas naratif sebagai payung persatuan masyarakat Timor Timur di dalam NKRI. Berbagai alasan telah membuat Indonesia harus merespon tuntutan kelompok pro integrasi, sebagaimana Putin merespon permintaan Abkhazia dan Ossetia Selatan (2008) dari Georgia, Krimea (2014) dari Ukraina dan Donetsk dan Luhansk (2022) dari Ukraina. Semua wilayah ini adalah wilayah separatis sehingga pemerintahan Georgia dan Ukraina menindak secara militer karena separatis pun bersenjata. Hal ini berbeda dengan Timor Timur yang merupakan wilayah koloni Portugis dan Portugis gagal melakukan dekolonisasi. Kegagalan Portugis menyulut perang saudara. Kondisi perang saudara yang tidak terkendali karena Fretilin memiliki persenjataan bekas Timor Portugis maka partai-partai pro integrasi mengikrarkan diri ke dalam NKRi. Pasca mengikrarkan diri mereka mendesak Pemerintah Indonesia segera masuk untuk menghentikan perang saudara. Indonesia pun menjawabnya dan berhasil menghentikan perang saudara namun Fretilin melarikan diri ke hutan dan melakukan perang gerilya. Dibandingkan dengan invasi Rusia ke Georgia dan Ukraina maka masuknya Indonesia ke wilayah bekas koloni Portugis adalah sebuah keabsahan. Timor Portugis ketika itu pun dalam kondisi vacum of power karena Pasukan Portugis dan Gubernur Timor Portugis telah meninggalkan wilayah itu dengan perang saudara.

Indonesia seharusnya tidak menunggu waktu lama hingga tahun 1975 untuk masuk ke Timor Portugis karena wilayah Timor Portugis sudah diputuskan menjadi bagian Indonesia Merdeka dalam sidang ke 2 BPUPKI bulan Juli tahun 1945. Meski terlambat megambil Timor Portugis namun momentum memberikan ruang Indonesia merealisasi keputusan BPUPKI itu sendiri.

Gerilyawan Fretilin sesungguhnya tidak sanggup mengklaim eksis sebagai separatis karena mereka tidak memiliki wilayah selain berpindah-pindah di dalam areal hutan. Alhasil lepasnya Timor Timur hakekatnya adalah penyangkalan terhadap sejarah itu sendiri. Indonesia sudah sesuai prosedural mengambil Timor Portugis bukan hanya karena keputusan BPUPKI tetapi juga kesepakatan mayoritas masyarakat ketika itu yang berada dalam empat partai politik. Kekuatan massa mereka real mayoritas tunggal. Fretilin menjadi eksis sebagai separatis ketika itu karena mereka mengantongi persenjataan perang yang ditinggalkan militer Portugis bukan karena dukungan masyarakat dan menguasai wilayah seperti Abkhazia dan Ossetia Selatan di Georgia atau Krimea di Ukraina maupun Donetsk dan Luhansk sekarang yang menjadi pintu invasi Rusia ini. Fretilin hanya mengantongi senjata militer Portugis dan gerilya di hutan-hutan dan tidak menguasai suatu wilayah maupun masyarakat dalam wilayah itu.

Rusia tidak memiliki alasan kuat tetapi tetap saja melakukan invasi ke Georgia dan Ukraina. Ini memperlihatkan bahwa Rusia hanya menjadikan kelompok separatis ini sebagai pintu untuk memperluas wilayah dan pengaruhnya di Eropa Timur. Sementara Indonesia mengambil Timor Portugis mengingat latar sejarah dan budaya yang mempersatukan sebagai bagian masyarakat nusantara. Rusia yang memiliki wilayah negara yang begitu luas di eropa timur masih membutuhkan perluasan wilayah untuk menjaga stabilitas politik dan pengaruhnya di kawasan Eropa Timur. Sikap Indonesia mengambil Timor Portugis tidak memiliki ambisi politik seperti Rusia. Indonesia hanya menjawab permintaan mayoritas masyarakat Timor Portugis sekaligus mewujudkan keputusan BPUPKI. Rusia bermodalkan dukungan kongres dapat menginvasi dan mempertahankannya.

Indonesia seharusnya bersikap seperti Rusia terkait tekanan internasional soal Timor Timur. Indonesia sudah memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat terkait integrasi Timor Timur ke dalam NKRI sejak tahun 1976. Proses integrasi dikukuhkan dengan UU No. 7 Tahun 1976 tentang Pengesahan Penyatuan Timor-Timur ke Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pembentukan Propinsi Daerah Tingkat I Timor-Timur dan dikuatkan dengan TAP MPR Nomor VI/MPR/1978 Tahun 1978 tentang Pengukuhan Penyatuan Wilayah Timor Timor Ke Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga apa pun terjadi integrasi Timor Timur ke dalam NKRI sudah final dan tidak dinegosiasikan.

Ada sekelompok masyarakat termasuk pengamat dan analis dalam dan luar negeri menekankan bahwa Timor Timur belum melakukan dekolonisasi sehingga integrasi menjadi tidak sah. Pandangan yang skeptis ini diakibatkan oleh keterbatasan pengetahuan dan referensi sejarah pada waktu itu. Mereka tidak mengetahui bahwa agenda referendum sudah ditentukan tetapi dibatalkan oleh Fretilin sendiri. Fretilin juga menolak referendum dan menuntut agar Pemerintah Portugis langsung menyerahkan kekuasaan Timor Portugis kepada Fretilin. Tuntutan Fretilin ini berdasarkan pada dua asumsi. Pertama, ideologi Pemerintah Portugis sejalan dengan Fretilin yakni komunisme sehingga diserahkan seperti di Mozambique. Fretilin lupa bahwa di Mozambique itu ada organisasi pembebasan yang memberikan perlawanan sistematis dan terstruktur terhadap Portugis. Sementara hal ini tidak ada di Timor Portugis. Kedua, Fretilin menyadari bahwa jika dilaksanakan referendum maka Fretilin akan kalah telak mengingat massa pendukung integrasi sangat besar jumlahnya. Upaya Fretilin memboikot pertemuan Makau yang membahas referendum pun terjadi. Proses dekolonisasi selanjutnya menjadi buram dan kemudian gagal karena Fretilin lebih dahulu menyatakan kemerdekaan Timor Leste pada 28 November 1975 secara sepihak. Proklamasi Fretilin ditentang empat partai lainnya dengan memproklamasikan integrasi ke dalam NKRI dua hari kemudian yakni 30 November 1975 yang dikenak dengan Deklarasi Balibo.

Masyarakat Indonesia memandang peristiwa integrasi Timor Timur ke dalam NKRI secara variatif dan cenderung konfrontatif di atas data yang keliru. Pendekatan HAM yang dilakukan terhadap Timor Timur telah menegasikan narasi obyektif sejarah integrasi. Akibatnya “nyanyian pelanggaran HAM” lebih subur dari pemahaman sejarah. Model ini tidak berlaku dalam kebijakan teritorial Rusia. Rusia berkemampuan mengendalikan pemikiran dan analisa liar kalangan dalam negeri maupun luar negeri dengan realitas sejarah.

Masyarakat Indonesia sering memasung logikanya ketika ada informasi pihak asing tentang suatu hal di Indonesia. Kepercayaan kepada informasi asing mendominasi kepercayaan dan loyalitas kepada negara. Konsekuensinya, tidak hanya terperangkap dalam paradigma impor melainkan menjadikannya satu-satu yang benar. Sehingga negara dan pemerintah pun dilawan di bawah payung pelanggaran HAM, represi kebebasan berbicara dan kebebasan pers dan demokrasi. Mereka sering membanggakan diri mereka sebagai aktivis demokrasi, pejuang HAM, tampil di media massa dan seterusnya namun tidak menyadari sedikit pun bahwa dirinya adalah “pion” kepentingan aktor global.

Indonesia baik pemerintah maupun masyarakat harus belajar dari Rusia dalam hal mempertahankan kedaulatan teritorial bangsa dan negaranya. Keberanian pemimpin nasional bersikap dan bertindak merupakan wujud tanggungjawab terhadap negara dan bangsa. Pemimpin yang berani akan mewujudkan kedaulatan secara absolut. Sebaliknya, pemimpin yang lemah hanya akan menjadi boneka bagi kepentingan ideology, kepentingan globalis dan korporasi transnasional. Putin dengan invasinya menegaskan bahwa sabilitas keamanan dan eksistensi kedaualatan negaranya merupakan prioritas tertinggi dan tidak mengenal negosiasi. Putin berani mengorbankan kepentingan Georgia dan Ukraina dengan mereduksi kedaulatan territorial demi kelangsungan kedaulatan negaranya. Indonesia tidak harus menerapkan cara Putin namun keberanian Putin mempertahankan kehormatan bangsa dan negaranya adalah contoh nyata bagi pemimpin Indonesia sekarang dan ke depan.Indonesia tidak harus mengorbankan kedulatan negara lain namun kedaulatan NKRI tidak hanya “harga mati” dalam retorika verbal melainkan ekspresi nyata dalam kehidupan bangsa dan negara. Peristiwa lepasnya Timor Timur harus menjadi refleksi sejarah yang fundamental sekaligus dapat menjadi preseden penting bagi keberlangsungan NKRI di pentas global dengan dinamika dan varian kompleksitas kepentingan.

[1] Eksponen Integrasionis tinggal di Jakarta


Sumber

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama