DITULIS OLEH JERRY INDRAWAN
KAMIS, 12 DESEMBER 2013 15:54
Sejak tahun 1945, perang sipil atau konflik internal lebih banyak terjadi di dunia daripada konflik antar negara atau internasional. Akan tetapi, pentingnya mempelajari konflik internal dari perspektif global baru mulai dilakukan pasca berakhirnya Perang Dingin. Sejak tahun 1990, mulai banyak perkembangan mengenai riset konflik internal atau perang sipil yang fokus pada faktor etnis, lingkungan, politik, dan ekonomi (Dan Smith, 2004:15) seperti yang terjadi pada kasus Timor Leste. Oleh karena itu, artikel ini akan membahas tentang konflik yang terjadi di Timor Leste yang meliputi aktor-aktor yang berkonflik dan faktor penyebabnya.
Aktor Konflik
Aktor yang terlibat dalam konflik di Timor Leste adalah antara pemerintah Indonesia dengan masyarakat Timor Leste yang menginginkan kemerdekaan. Dua aktor tersebut dikelompokkan sebagai aktor utama yang terlibat dalam konflik. Sedangkan aktor sekunder adalah Australia yang pada awalnya berperan sebagai mediator, namun dalam perjalanannya, justru terlibat dalam konflik secara tidak langsung dengan membantu pihak Timor Leste untuk mendapat kemerdekaan (Ichsan Malik, 2009).Konflik sendiri tidak bersifat statis namun dinamis. Oleh karena itu, penting untuk memahami dinamika dan tahapan dari sebuah konflik. Selain itu, memahami siklus konflik sangat penting untuk memahami pola, durasi waktu, dan lokasi yang tepat untuk penerapan strategi penyelesaian konflik. Konflik sering digambarkan sebagai tahapan yang semakin meningkat intensitasnya, seperti eskalasi dari tataran stabil dan damai menuju krisis dan perang, setelah itu de-eskalasi menuju perdamaian yang relatif.
Siklus konflik ini sifatnya berulang dan kecenderungan pengulangannya didukung oleh riset empirik mengenai pola-pola konflik. Dalam kenyataannya, siklus konflik terjadi secara berulang-ulang dan melewati beberapa tahapan yang berbeda secara yang berulang-ulang juga. Dalam sebuah model kurva konflik yang ideal, sebuah konflik bergerak melalui semua tahapan dalam siklus sampai akhirnya konflik itu terselesaikan (NLP Swanstrom & MS Weissmann, 2005:15; Johan Galtung, 1996:81-88). Oleh karena itu, artikel ini berusaha menjelaskan bahwa konflik yang terjadi di Timor Leste bersifatsuspended karena pasca kemerdekaan Timor Leste masih mengalami beberapa konflik yang timbul dan tenggelam.
Untuk memahami konflik perlu memahami juga aktor yang terlibat dalam konflik tersebut. Aktor yang pertama adalah Timor Leste. Secara value, masyarakat Timor Leste memang memiliki ikatan yang tidak kuat dengan Indonesia, apabila dibandingkan dengan masyarakat wilayah lain di Indonesia seperti Aceh, Riau, dan Maluku. Timor Leste secara legal dan historis bahkan bisa diklaim sangat bukan Indonesia. Wilayahnya menjadi propinsi ke-27 Indonesia pasca pendudukan militer Indonesia tahun 1975. Alasan-alasan demikian menjadi basis yang kuat bagi masyarakat Timor Leste untuk mengajukan kemerdekaan dari Indonesia.
Aktor yang kedua adalah pemerintah Indonesia. Kepentingan Indonesia untuk mempertahankan Timor Leste sebagai bagian dari wilayahnya semakin mempertegas upaya pendudukan Timor Leste melalui kekuatan militer. Bisa dikatakan bahwa pemerintah Indonesia merupakan aktor utama yang terlibat secara langsung dalm konflik di Timor Leste ini.
Aktor ketiga adalah Australia yang merupakan aktor sekunder. Australia bukan merupakan aktor utama namun merupakan securitizing actor yang memposisikan dirinya dalam garis double, yang menandakan hubungan yang sangat baik dengan salah satu aktor utama yaitu Timor Leste. Australia sendiri mulai melibatkan dalam konflik di Timor Leste sejak proses referendum pada pertengahan tahun 1999 hingga kini. Australia memberikan pengaruh ke Timor Leste secara non material berupa dukungan politik di PBB dan keterlibatan tentara Australia dalam pasukan penjaga perdamaian PBB melalui UNAMET hingga UNMIT.
Ketiga aktor tersebut berkontribusi dalam peningkatan eskalasi konflik di Timor Leste sejak invasi Indonesia ke wilayah tersebut tahun 1975. Disamping ketiga aktor tersebut, masih terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya konflik di Timor Leste pasca kemerdekaan yaitu kondisi ekonomi yang memburuk, degardasi sumberdaya alam, dan sistem politik yang represif.
Kondisi Ekonomi Memburuk: Kemiskinan
Pasca invasi militer Indonesia tahun 1975, banyak kelompok masyarakat Timor Leste yang mengungsi ke gunung dan hutan. Kelompok-kelompok ini tidak memiliki tempat tinggal dan sebagian ditampung oleh tentara FRETELIN. Hal ini membuat kelompok-kelompok tersebut bersimpati terhadap FRETELIN dan memberikan dukungan untuk melawan pemerintah Indonesia. Selama hidup dalam pengungsian, kelompok-kelompok tersebut hidup dalam kemiskinan sehingga pilihan menjadi pejuang kemerdekaan sebagai cara untuk bertahan hidup (Ben Kiernan, 2009:140).
Dan Smith (2004:7) menyatakan bahwa dalam negara atau masyarakat yang miskin, maka para pemimpinnya biasanya akan bersaing satu sama lain untuk mendapatkan keuntungan ekonomi walaupun sangat kecil. Keuntungan yang kecil tersebut juga diperebutkan di internal masyarakat yang miskin sehingga kompetisi untuk memperebutkannya semakin ketat dan berujung pada meningkatnya eskalasi konflik. Ketika para pemimpinnya gagal menciptakan pertumbuhan ekonomi yang stabil bagi masyarakatnya, maka akan mengarah pada negara yang gagal, sehingga jika hal tersebut terjadi, maka siklus konflik yang terjadi dalam masyarakat akan terulang kembali, bahkan kecenderungannya dalam skala yang lebih besar (Anke Hoeffler, 2010:23).
Hal tersebut juga terjadi di Timor Leste. Pasca kemerdekaan, Timor Leste belum bisa mandiri secara ekonomi karena masih tergantung dengan bantuan pihak asing termasuk Indonesia. Pembangunan berjalan lambat di negara baru yang miskin tersebut. Oleh karena itu, konflik yang terjadi di Timor Leste dikategorikan sebagai suspended conflict karena frekuensinya yang timbul tenggelam. Kondisi ekonomi sebagai negara miskin dengan tingkat kemiskinan masyarakat yang tinggi juga berkontribusi pada berulangnya konflik internal di Timor Leste.
Degradasi Sumber Daya
Kerusuhan yang melanda kota Dili pada tahun 1998 menyebabkan kerusakan infrastruktur fisik, ekonomi, dan sosial masyarakat Timor Leste. Kerusakan di berbagai aspek tersebut menyebabkan peningkatan harga-harga kebutuhan pokok, perdagangan dan investasi nihil, pendapatan per kapita merosot hingga $ 330 di akhir tahun 1999, dan inflasi yang ditandai dengan Indeks Harga Konsumen bagi orang miskin di Dili meningkat hingga 200% (Kristio Wahyono, 2009:23). Kerusakan tersebut juga menyebabkan kelangkaan berbagai sumber daya pendukung kehidupan seperti listrik, air, dan bahan makanan di Timor Leste.
Dengan kelangkaan berbagai sumber daya pendukung kehidupan tersebut, potensi konflik menjadi semakin tinggi, karena masyarakat Timor Leste saling berebut mendapatkan akses terhadap sumber daya yang tersisa dengan tidak memperhatikan lagi aturan negara yang berlaku. Situasi tersebut jika tidak ditangani secara serius oleh negara maka berpotensi menjadi negara tanpa aturan (lawless state)yang bisa mengarah menjadi negara gagal (failed state). Kondisi tersebut sangat rawan terakumulasi menjadi konflik yang semakin meningkat eskalasinya karena karakter konflik di Timor Leste yang bersifat suspended conflict yang bisa timbul dan tenggelam setiap saat.
Sistem Politik Represif
Selama 24 tahun Timor Leste dibawah kekuasaan militer Indonesia, semua tindakan masyarakat yang dianggap membahayakan rezim Suharto langsung ditindak tegas melalui hukum dan dicap sebagai tindakan makar dan subversib yang haram berkembang di wilayah NKRI. Segala sesuatu dikontrol secara berlebihan oleh militer sehingga kebebasan berpendapat menjadi hal yang sangat langka dan berharga di Timor Leste. Kebijakan militer yang disusun di Jakarta terkait Timor Leste menyebabkan munculnya sistem politik represif khususnya menghadapi kelompok-kelompok yang ingin merdeka.
Pasca kemerdekaan, Timor Leste tidak bisa lepas dari rezim politik represif yang mengesampingkan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Para pemimpin yang berkuasa di Timor Leste mulai dari Xanana Gusmao, Jose Ramos Horta, hingga Taur Matan Ruak, pola pemerintahannya tidak lepas dari otoritarianisme dan implementasi sistem politik yang represif. Masih hangat dalam ingatan masyarakat Timor Leste ketika krisis politik tahun 2006, Alfredo Reinado, seorang tentara dari Angkatan Bersenjata Timor Leste (FDTL) berpangkat mayor, memberontak terhadap pemerintahan Xanana Gusmao yang dinilai diskriminatif terhadap etnis Timor (Loro Sa’e), maka hal tersebut ditanggapi dengan kekuatan militer sehingga menyebabkan banyak warga sipil yang menjadi korban penembakan tentara pemerintah Xanana Gusmao.
Penutup
Dalam memahami konflik yang terjadi di Timor Leste, terlihat bahwa Indonesia dan Timor Leste merupakan aktor utama yang sudah berpotensi konflik sejak invasi militer Indonesia tahun 1975. Australia baru terlibat dalam konflik di Timor Leste ketika memasuki masa referendum tahun 1999. Konflik yang terjadi di Timor Leste ini semakin meningkat eskalasinya yang dipengaruhi oleh faktor kondisi ekonomi yang buruk, degradasi sumber daya, dan sistem politik represif yang kecenderungannya bisa timbul dan tenggelam setiap saat. Oleh karena itu, upaya penyelesaian konflik di Timor Leste juga harus mempertimbangkan faktor-faktor tersebut. Pembangunan ekonomi harus ditonjolkan sehingga mengurangi angka kemiskinan di internal masyarakat. Sistem pendukung sarana hidup yang vital harus bisa memenuhi kebutuhan masyarakat. Peralihan dari sistem politik represif menjadi sistem politik yang demokratis harus dikawal secara tegas oleh negara sehingga perdamaian dapat terwujud baik di tingkat masyarakat maupun negara.
Sistem politik demokratis yang baru dijalankan di Timor Leste harus berjalan beriringan dengan pematangan sumber daya manusia dalam memahami aturan dan implementasinya. Pengalaman masa lalu terkait rezim politik represif harus menjadi pembelajaran agar hal tersebut tidak berulang kembali. Oleh karena itu rekonsiliasi antar pihak-pihak yang terlibat konflik menjadi penting untuk mewujudkan perdamaian yang berjangka panjang di Timor Leste.