Dari majalah TEMPO Edisi 39/22 Halaman 30 Rubrik Nasional 28 Nov 1992
DUA teman lama itu kembali bertemu pekan lalu: Abilio Jose Osorio Soares dan Jose Xanana Gusmao. Keduanya, yang sama-sama kelahiran Manatuto 45 tahun lalu, adalah teman SMP (Primeiro Ciclo do Ensino Secindario) di Dili. Di situ, Xanana dikenal sebagai penjaga gawang dalam tim sepak bola Academica.
Dua-duanya pernah pula ikut wajib militer Portugal, Tropaz. Di masa pergolakan, Abilio masuk Apodeti yang pro Indonesia dan Xanana memilih Fretilin yang mau merdeka. Nasib mereka berbeda. Kini, Abilio Soares adalah gubernur Timor Timur, dan Xanana sebagai tahanan aparat keamanan. Ia dianggap memimpin gerakan melawan Indonesia. Wartawan TEMPO di Dili melaporkan, keduanya sempat berbincang-bincang di rumah Pangkolakops Brigjen. Theo Syafei di Pantai Varol, Dili — dengan suguhan makanan ringan dan minuman kaleng.
Toh itu bukan saat menyenangkan buat Xanana. Ia ditangkap Jumat pagi pekan lalu, setelah diburu 16 tahun. Penangkapan Xanana diduga erat kaitannya dengan pembubaran Fitun — organisasi pelajar sayap Fretilin yang sering terlibat demonstrasi, termasuk yang mengakibatkan insiden Santa Cruz, 15 November lalu. Menurut sumber TEMPO, dari Fitunlah didapat info tempat Xanana bersembunyi (meski menurut aparat keamanan itu berkat informasi masyarakat), yaitu di rumah seorang polisi, Kopral Satu Agusto Pierera, di Desa Labane Barat, Dili Barat. Rumah berukuran 80 meter persegi ini hanya 30 meter dari pos penjagaan pasukan pemukul Batalyon 623. Di dalam rumah itu dibuat lubang persembunyian bawah tanah berbentuk L, sekitar semeter dalamnya. Syahdan, Xanana sudah dua bulan ngumpet di sana. Untuk penyamaran, ia mencukur klimis cambang dan kumisnya yang lebat.
Jumat itu rupanya hari nahasnya. Pemimpin gerilyawan yang konon bisa menghilang dan berubah rupa itu bangun tidur pukul 6 pagi. Xanana baru saja selesai mandi, tatkala pasukan baret merah menggertak: “Buka pintu”. Xanana menguak pintu seraya mengacungkan pistol. Namun, belum sempat pistolnya menyalak, beberapa laras M-16 disorongkan ke wajahnya. Xanana menyerah. Dari persembunyiannya, ditemukan handy talky dan tiga peti barang lainnya. Juga sekarung dokumen. Ia langsung dibawa ke rumah Theo Syafei.
Nama Xanana mulai mencuat dalam daftar musuh aparat keamanan sejak 1978, setelah menggantikan posisi orang pertama Fretilin, Nikolaus Lobato, yang tertembak mati kala itu. Menurut Alexo Cotreal, tokoh masyarakat yang mengenal dan pernah menjadi pengikutnya, Xanana sebenarnya biasa saja. “Kalau sekarang dia jadi pemimpin karismatik, karena tak ada lagi tokoh seangkatannya di Fretilin,” ujar Alexo.
Dulu, Xanana adalah seorang wartawan koran Avez de Timor (Suara Timor) pada masa Portugal. Ia memegang rubrik drama dan puisi. Semasa SMP Xanana memang sering menjuarai lomba baca puisi. Tulisannya kerap menyerang penjajah. “Puisinya sangat tajam menentang pemerintah Portugal,” cerita Alexo. Pernah, gara-gara kritik Xanana pada Portugal, Avez de Timor dituntut ke pengadilan. Pemerintah Portugal menang. Koran itu didenda 30.000 escudo, tapi tak dibredel. Kemudian, Xanana membuat koran sendiri, Nakroma (Terang).
Sebelum masuk hutan, Xanana sempat menjadi juru ketik di salah satu instansi swasta di Dili. Tahun 1973, ia pergi ke Australia. Tak banyak berita tentang kegiatannya di hutan. September 1990, Robert Domm, pengacara Australia, mengaku menemui Xanana dan merekam perbincangannya dalam enam kaset. Wawancaranya diterbitkan oleh Australian Council for Overseas Aid pada Februari 1991.
Tempat persembunyian Xanana, menurut Domm, dijangkaunya setelah berkendaraan setengah hari dari Dili dan jalan kaki sekitar 20 kilometer. Agar tak terlihat tentara Indonesia, ada “upacara menghilangkan jejak” sebelum naik gunung. Xanana digambarkan sebagai seorang yang cerdik, cerdas, dan tahu banyak berita sekitar Tim-Tim. Diakui Xanana, pihaknya sangat terjepit oleh ABRI.
Penangkapan Xanana tentu membuat geger. Dari Portugal, Presiden Mario Soares mendesak PBB agar minta Indonesia membebaskan Xanana. Sabtu lalu, di depan konsulat Indonesia di Melbourne, sekitar 150 simpatisan Fretilin berseru serupa. Dalam demo di tengah hujan dan angin deras itu, ikut pula dua anak Xanana, Nito (21 tahun) dan Zenilda Gusmao (18 tahun).
Emilia, 41 tahun, istri Xanana, sejak dua tahun lalu memang berada di Melbourne bersama kedua anaknya. Ketika wartawan TEMPO Dewi Anggraeni mengunjungi rumahnya, Emilia tampak sembab matanya dan hanya duduk termenung bersandar di kursi panjang. Dia, yang hanya bisa berbahasa Portugis, pada reporter televisi ABC berkata, “Saya mohon agar Australia membantu pembebasan suami saya, dan agar dia tak diperlakukan sebagai penjahat politik.” Emilia juga tengah menghadapi soal rebutan dana perjuangan US$ 75.000 di sebuah bank Portugal dengan pimpinan pucuk Fretilin Ramos Horta.
Xanana, kabarnya, sudah diterbangkan ke Jakarta. Namun, Kapuspen ABRI Brigjen. Nurhadi Purwosaputro membantahnya. Xanana, katanya, masih di Dili. Pangab Jenderal Try Sutrisno telah pula terbang ke Dili dan sempat melihat lokasi penangkapan Xanana, Jumat siang lalu. Dari Dakar, Senegal, masuk kawat ucapan selamat Presiden Soeharto atas penangkapan ini.
Suasana Dili tampak tenang. Namun, rupanya ada mitos bahwa Xanana adalah orang sakti. Hingga awal pekan ini, sebagian orang Tim-Tim masih belum percaya Xanana bisa tertangkap. Apa Brigjen. Theo mesti menayangkannya di televisi?
Toriq Hadad (Jakarta), Ruba’i Kadir (Dili)