Oleh: Iwan Satyanegara Kamah – Jakarta
BENARKAH tiap keputusan yang diambil Presiden Soeharto selalu mempertimbangkan segi mistik?Bulan September 1974 dia mengajak tamu negaranya ke tengah-tengah kumpulan candi ke sebuah dataran tinggi untuk memutuskan sebuah kebijakan penting, mengambil koloni asing menjadi wilayah baru Indonesia.
SAYA agak penasaran membaca sebuah buku panduan wisata yang ditulis oleh John Dalton. Bukunya agak mirip seperti Lonely Planet, namun menurut pendapat saya, buku ini lebih rinci dan sangat personal dalam menulis pengalaman pribadinya, yang berkaitan dengan sebuah tempat yang dikunjungi.
Kebetulan saya punya rencana untuk mengelilingi tempat-tempat aneh di pulau Jawa akhir 1995, termasuk ke dataran tinggi (plateau) Dieng, di kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. “Ada sebuah bangunan kecil di tengah dataran tinggi itu, tempat nasib Timor Portugis (nama Timor Timur sebelum bergabung dengan Indonesia) ditentukan”, tulis buku Dalton tentang Dieng.
Hanya itu yang membuat saya penasaran ingin tahu, daripada mengamati kumpulan candi serta beberapa tempat wisata alam di sana.
Ketika saya mengunjungi daerah itu, memang ada sebuah pendopo kecil berdiri seluas 80 meter persegi, yang sangat dekat dengan kumpulan candi-candi tertua di Jawa. Banyak pertanyaan yang muncul di benak saya ketika melihat dan masuk ke perkarangan pendopo itu. Masak sih, nasib Timor Timur ditentukan di tempat sekecil ini? Aneh memang kalau dilihat secara rasional.
Di situ memang ada sebuah prasasti yang menerangkan tentang pendopo tersebut. Dituliskan bahwa pada 6 September 1974 di pendopo kecil, tempat di tengah-tengah dataran tinggi Dieng, Perdana Menteri Australia Gough Whitlam mengadakan pembicaraan lanjutan dengan tuan rumah Presiden Soeharto, sambil beristirahat sejenak setelah berkelilingi mengunjungi obyek wisata di tempat itu. Satu topik yang diperbincangkan oleh kedua sahabat itu adalah nasib koloni Portugal di dalam wilayah Indonesia, yaitu Timor Timur.
Kenapa sih jauh-jauh dari Australia, PM Gough Whitlam tidak datang ke Jakarta saja untuk kunjungan pertamanya sebagai perdana menteri Australia ke Indonesia? Mengapa Soeharto harus mengajak tamu negaranya sekelas seorang perdana menteri Australia ke tempat terpencil seperti itu? Tokh, fasilitas dan prasarana di ibukota sangat menunjang untuk sebuah pertemuan tingkat tinggi. Tapi, Whitlam malah datang ke Jogjakarta dan berbincang sebentar secara tidak resmi dengan Soeharto. Lalu mereka berdiskusi kembali di pendopo kabupaten Wonosobo dan kemudian di pendopo tepat di tengah-tengah dataran tinggi Dieng yang mistik itu.
Saya membayangkan, pada masa sekarang saja untuk mencapai tempat itu sangat sulit dengan bukit terjal plus kabut pada waktu tertentu. Bagaimana kalau ada seorang delegasi yang mendadak sakit, seperti serangan jantung? Dibawa kemana dengan rumah sakit modern yang memadai? Secepat apa dengan kondisi jalan terjal dan penuh kelok, apalagi bila bukan pengemudi yang sudah terbiasa dengan medan, pasti akan mengalami kesulitan dengan kecepatan dan keselamatan.
Ngapain ya, Soeharto mengajak Perdana Menteri Australia Gough Whitlam jauh-jauh ke Dieng dan berunding untuk sebuah keputusan sangat penting dan bersejarah bagi Indonesia? Dataran tinggi Dieng memang banyak dikenal sebagai tempat kumpulan candi yang tertua di tanah Jawa, yang dibangun sekitar tahun 600an. Jadi kira-kira, ketika Nabi Muhammad sedang menyebarkan ajaran barunya, di tanah Jawa pada waktu yang bersamaan ada sekumpulan orang sedang sibuk mengukir-ukir candi, ya di Dieng itu.
Tidak jauh dari kumpulan candi itu atau dari Pendopo Soeharto-Whitlam, memang banyak bangunan mistik dan obyek wisata alam yang menakjubkan. Ada Gua Semar yang dikenal tempat orang melakukan meditasi atau bertapa alias. “HARAP TENANG”, begitu tulisan yang terpasang di pintu masuk gua yang sangat sempit untuk ukuran tubuh orang dewasa normal. Kebayang ‘kan PM Whitlam bisa masuk ke dalamnya, dengan ukuran tubuh persis anak gajah?
Banyak legenda atau cerita yang sulit dipastikan kebenarannya, bahwa Soeharto dan juga Soekarno pernah mengunjungi gua ini sebelum mereka menjadi pemimpin.
Kenapa di Dieng ya, Soeharto mengajak Whitlam berunding untuk sebuah masalah penting? Di Jogjakarta saja sudah sangat mewakili untuk sebuah KTT antara kepala negara. Pada masa pemerintahan Orde Baru, Presiden Soeharto gemar melakukan pertemuan penting dengan tamu negaranya tidak di Jakarta, tetapi di luar kota yang nun jauh dari ibukota. Misalnya di Jogjakarta dengan PM Lee Kuan Yew, di Palembang dan di Tretes, Jawa Timur dengan PM Malaysia Tun Abdul Razak (ayah PM Najib Razak), di Medan dengan PM Thailand Kriangsak Chamanand, di Manado dengan Presiden Marcos atau di Tampaksiring, Bali dengan Pemimpin Burma Ne Win.
Dipilihnya Dieng mungkin saja ada pertimbangan khusus yang dinilai banyak orang sebagai keputusan mistik dari Soeharto untuk mengajak tamunya, serta merundingan sebuah keputusan penting yaitu memasukkan wilayah Timor Portugis ke dalam wilayah Indonesia. Whitlam adalah tamu negara barat pertama yang datang ke Indonesia untuk membicarakan tentang masalah Timor Timur, lalu menyusul kedatangan Presiden AS Gerald Ford setahun kemudian pada Desember 1975 sebagai ‘approval’ atas tindakan Indonesia memasukkan wilayah koloni Portugal menjadi propinsi terbaru Indonesia.
Dataran tinggi Dieng adalah wilayah yang menjadi titik tengah pulau Jawa. Bila pulau Jawa berbentuk sebuah bidang datar, maka titik tengahnya adalah dataran tinggi Dieng, dan yang paling tengah lagi adalah kumpulan candi, yang menjadi lokasi pembicaraan Soeharto-Whitlam, ketika beristirahat setelah jalan-jalan di Dieng. Entah dengan perhitungan apa, para leluhur kita bisa membangun candi pertama di tanah Jawa, yang tepat menjadi titik tengah pulau Jawa.
Whitlam memang sahabat baik Soeharto. Jauh sebelum menjadi perdana menteri, dia pernah datang ke Indonesia sebelumnya bertemu Soeharto yang ketika itu masih sebagai Pejabat Presiden di bulan Januari 1968. Bahkan setelah tidak menjadi perdana menteri, Whitlam sering datang mengunjungi Soeharto berkali-kali. Mungkin dia perdana menteri Australia paling akrab dan memiliki hubungan personal yang menawan dengan Soeharto. Sikap ini diikuti oleh perdana menteri Australia yang lain, Paul Keating, yang sering datang menemui Soeharto berkali-kali, bahkan dia memanggil Soeharto dengan “Bapak”.
Berbeda sekali dengan penggantinya, John Howard yang tidak punya nama baik dalam hubungan Indonesia – Australia. Meski Howard pernah bertemu dengan lima presiden Indonesia, dia tetap dibenci oleh banyak tokoh Indonesia dalam soal Timor Timur. Howard terlalu jauh mencampuri urusan Timor Timur, karena ingin mengambil sumber alamnya saja, tanpa menjaga perasaan Indonesia. Habibie bahkan pernah menolak menerima telepon darinya.
Berbeda dengan Gough Whitlam, seorang politisi kawakan Australia yang sangat tidak menyukai perilaku Portugal di Timor Timur. Pada tahun 1963, ketika sebagai wakil ketua Partai Buruh, dia sudah lantang bersuara, “Kita tak punya pendukung di dunia bila mendukung Portugal”. Sikap ini dia pegang teguh ketika ada kesempatan mewujudkannya, saat terjadi huru hara kudeta di Portugal tahun 1974, sehingga otot militer Portugal ditarik dari koloninya di pulau Timor itu. Nah, Whitlam langsung mengutus sekretaris pribadinya Peter Wilenski untuk mendesak Soeharto melancarkan operasi militer agar wilayah itu masuk ke dalam Indonesia. “Timor Portugis terlalu kecil untuk merdeka”, begitu kesimpulan hasil pertemuan Whitlam dan Soeharto di Dieng itu.
Nah, setelah pertemuan di Dieng itu, Soeharto kembali bertemu Whitlam di Brandoon, 80 km sebelah tenggara kota Townsville, Queensland. Mereka berdiskusi di rumah seorang direktur pabrik gula, yang hasilnya bahwa “Indonesia tidak punya ambisi teritorial”, sebuah bentuk ungkapan halus untuk melegal serbuan Indonesia ke Timor Portugis. Inilah kunjungan terakhir Soeharto ke Australia dan setelah itu selama seperempat abad tidak ada seorang presiden Indonesia menginjakkan kaki di benua kangguru, sampai Presiden Abdurrahman Wahid datang ke sana tahun 2000.
Kepongahan PM Howard membuat presiden Indonesia malas ke Australia. Habibie memang tidak suka ke luar negeri selama 17 bulan menjadi presiden. Apalagi Presiden Megawati yang partainya menentang pelepasan Timor Timur dari Indonesia. Dia lebih memilih pergi jauh-jauh bertemu dengan Moammar Khaddafi di tendanya di Tripoli atau mendatangi teman lamanya Presiden Kim Jong-il di Pyongyang, yang secara ekonomis kedua negara itu tidak begitu penting dan jauh lebih penting bila dia mengunjungi Australia, tetangga bule terdekat Indonesia.
Kesan mistik yang diambil Soeharto memilih Dieng dalam memutuskan keputusan penting memasukkan Timor Portugis ke dalam Indonesia, pernah dibahas serius oleh PM Gough Whitlam sendiri, ketika Whitlam berunding di Gedung Putih, pada 5 Oktober 1974 dengan Presiden AS Gerald Ford, tepat sebulan setelah dia datang ke Dieng. “He took me to a plateau, a mystic place, in Java”.(*)