Gugus tempur ini terlihat di lepas pantai kota Dili dalam rangka penyerbuan Kota Dili yang diawali dengan tembakan-tembakan ke arah pantai untuk memberikan tembakan perlindungan dan juga tembakan bantuan dari meriam 76 mm milik KRI Martadinata. Pada saat yang sama Batalion Tim Pendarat Marinir 5 mulai melakukan aksi pendaratannya dan berhasil sampai mendarat dan mengendap-endap di Kampung Alor dan mulai melakukan pergerakan menuju Kota Dili untuk menguasainya.
Pendaratan ini bukan tidak diliputi ketegangan, sebab gerakan gugus tugas ini sejak awal dibayang-bayangi oleh 2 kapal perang Portugal. Dan celakanya , 7 Desember pagi, kedua kapal tersebut justru merapat di lepas pantai Dili. “Mereka buang jangkar lebih dekat ke pulau Atauro, karena di sana bercokol pemerintahan pelarian Portugal dari Timor,” kata Hendro Subroto, wartawan TVRI yang meliput saat itu. Kedua kapal perang tersebut adalah 1 fregat dari kelas Commandante Joao Belo dan 1 kapal survei bernama Alfonso D. Alburqueque. Kapal-kapal itu sudah berada di perairan Timor Timur sejak bulan Oktober 1975. Seperti disengaja dan sudah mengetahui, mereka mendekati perairan Dili bersamaan dengan akan dilakukannya operasi ampibi.
KRI Martadinata dan KRI Ratulangi saling membayangi dengan fregat Portugal, namun yang utama mengawasi adalah KRI ratulangi yang dilengkapi meriam utama 100 mm. Sedangkan KRI Martadinata tetap fokus pada memberikan bantuan tembakan pada pendaratan marinir dibibir pantai. Ketika diawasi oleh kedua KRI kita, kedua kapal Portugal tersebut tidak melakukan manuver yang mengganggu ataupun membahayakan operasi pendaratan, mereka hanya mengawasi saja. Jarak antara kapal perang RI dengan kapal perang Portugal hanya 4 mil laut atau 7 kilometer saja. Dan bila baku tembak pecah antara kedua kubu tersebut, maka jarak ini sangatlah dekat dan masuk jarak tembak meriam kedua belah pihak.