Beatriz’s War beredar tahun lalu (2015). Sedikit sekali kita mendengar tentang film ini, sesedikit kabar tentang Timor Leste terdengar di Indonesia. Namun selama kampanye kepresidenan, Beatriz sempat dibicarakan di lingkaran netizen terbatas. Pasalnya, sebuah artikel blog membahas keberadaan suatu desa yang mayoritas penduduknya adalah janda dan dikenal dengan nama Kampung Janda. Ada aroma realisme magis dalam sebutan itu, namun tak ada yang magis dari tragedi di kampung Janda.
Kampung Janda terletak di Krakas, 300 kilometer dari Dili. Nama itu baru muncul ke permukaan pada 1983, setelah nyaris semua penduduk laki-laki kampung itu dibantai oleh tentara Indonesia. Fakta bahwa nama Kapten Prabowo—bekas calon kandidat presiden pada pemilu lalu—disebut-sebut terlibat dalam pembantaian tersebut, menjelaskan mengapa tempo hari Beatriz’s War sempat menyelinap ke dalam kesadaran kita.
Pada 2003, harian The Jakarta Post menurunkan kisah tentang seorang perempuan bernama Beatriz Guterrez, yang menuturkan kesaksiannya tentang horor Krakas dalam sebuah sesi dengar-publik yang diorganisir oleh CAVR (Commission for Reception, Truth-seeking, and Reconciliation). Disponsori PBB, CAVR bekerja untuk menyelidiki dan memberi laporan pelanggaran Hak Asasi Manusia antara 1974 dan 1999, serta memfasilitasi rekonsiliasi.
“Saya menyerah, tapi suami saya berhasil lolos dan lari ke Gunung Bibileo. Setiap hari saya diinterogasi oleh ABRI di Buikaren. Anak saya lahir pada Februari 1984. Ketika usianya baru lima hari, suami saya menyerah. Ia tinggal di rumah kami selama sebulan sebelum ia direkrut ABRI masuk ke dalam TBO (Tenaga Bantuan Operasi). Setelah ia melaporkan tugasnya, ia tak pernah kembali. Mungkin ia dibunuh pada hari ketika ia dipanggil untuk melapor. Anak saya juga meninggal pada usia 14 bulan karena sakit dan tidak ada obat,” demikian kesaksian Beatriz.
Kesaksian Beatriz di hadapan CAVR itu sekaligus merangkum kisah hidup Beatriz yang lain, tokoh utama Beatriz’s War. Film ini berlatar pada periode panjang pendudukan Indonesia sampai awal-awal era pasca-referendum di Timor Leste, ketika tentara Indonesia dan milisi-milisi bentukannya membumihanguskan seluruh negeri.
Saya tidak tahu bagaimana kedua Beatriz bisa memiliki kisah yang identik. Tim produksi Beatriz menerjemahkan kisah dua karakter tersebut—riil maupun fiksi—sebagai contoh dari nasib buruk yang lazim menimpa perempuan Timor saat pendudukan. Beatriz dan dan rekan-rekannya digambarkan sebagai saksi pembantaian, penyintas perkosaan massal, serta ibu dari bayi-bayi yang lahir sembilan bulan kemudian tanpa tahu siapa bapaknya. Tragedi tidak berhenti sampai situ. Para perempuan Kraras dilarang merawat jenazah suami dan anak laki-laki tercinta mereka. Hingga setahun kemudian ketika mereka bisa melakukannya, mereka mengenakan pakaian hitam-hitam, untuk menandakan kesedihan—mungkin juga perlawanan diam-diam.
Di sinilah narasi Martin Guerre masuk dalam semesta Beatriz. Martin Guerre sendiri adalah kasus yang terjadi di Prancis abad 16. Alkisah, seorang pengembara bernama Arnaud du Tilh datang ke sebuah desa dan menyamar sebagai Martin Guerre, seorang laki-laki yang menghilang dari keluarganya. Selama beberapa tahun, Arnaud tinggal bersama istri dan anak Martin, hingga penduduk desa pun sadar bahwa ia bukanlah Martin Guerre yang sesungguhnya. Di akhir cerita, Arnold sang penipu diadili dan dihukum gantung.
Kisah klasik Prancis ini diadaptasi dalam Timor Lester pasca-referendum, dengan ending yang berkebalikan dari cerita aslinya. Kampung janda kedatangan seorang laki-laki yang mengaku sebagai Tomas. Warga kampung benar-benar percaya bahwa si laki-laki adalah Tomas, namun tidak demikian bagi Beatriz. Lambat laun, keraguan Beatriz terbukti: dia bukan Tomas. Bahkan lebih buruk lagi, si Tomas palsu adalah bekas anggota milisi yang sebelumnya bekerja untuk TNI dan akhirnya desersi. Warga kampung yang marah nyaris mengeksekusinya, namun berhasil dicegah oleh Beatriz. Pesannya moral pentutup film ini pun terjelaskan secara gamblang: setelah referendum, masyarakat Timor Leste membutuhkan rekonsiliasi alih-alih ingin memperbaharui siklus kekerasan.
Kehadiran lelaki penipu itu juga tidak serta-merta. Di tahun 1996, perhatian dunia tertuju ke Timor Timur setelah Ramos Horta dan Uskup Bello menerima hadiah Nobel Perdamaian. Militer Indonesia mulai merekkrut milisi-milisi sipil untuk mengalihkan perhatian publik dari operasi-operasi TNI. Kelompok-kelompok milisi ini terlibat dalam kampanye pembumihangusan pasca-jajak pendapat yang memaksa dua ratus ribu populasi Timur Timur—termasuk di antaranya anggota milisi pro-integrasi—mengungsi ke perbatasan Indonesia selama bertahun-tahun. Dengan menggunakan plot Martin Guerre, Beatriz berusaha mengungkap salah satu persoalan mendesak Timor Leste setelah referendum: rekonsiliasi dan reintegrasi.
Film Pertama Timor Leste
Ditulis, disutradari, dan didanai oleh masyarakat Timor Leste, Beatriz’s War dipromosikan sebagai film cerita pertama buatan negeri tersebut. Seluruh pemainnya adalah orang Timor. Bahasanya pun bahasa Tetun. Film ini dibuat oleh Dili Film Works, sebuah rumah produksi lokal. Cinema Lorosae, sebuah kelompok yang rutin mengorganisir pemutaran outdoor, membawa Beatriz ke kampung-kampung, ke komunitas-komunitas. Menurut tim produksi, di Timor Leste sendiri Beatriz telah disaksikan oleh lebih dari 100 ribu penonton dan bertahan hingga 5 minggu di Platinum Cineplex, Dili. Sementara itu, di kota-kota Australia yang dikunjungi Beatriz, Melbourne memutar film ini selama sepuluh sesi/minggu dan Victoria 10 pemutaran terpisah.
Dalam sebuah wawancara singkat November silam, Nick Calpakdjian, editor film ini, menceritakan bahwa film ini sangat disambut di Timor Timur karena pada akhirnya mereka menyaksikan kisahnya dituturkan oleh bangsa sendiri. Ongkos penggarapan Beatriz sekitar AUS$ 2,2 juta. Ada banyak inisiatif yang turut menyumbang. “Dananya tersedia dalam bentuk cash dan sponsor, juga investasi. Mustahil untuk memastikan berapa persisnya,” ucap Luigi Acquisto, yang menyutradarai Beatriz bersama Bety Reis, dalam wawancara terpisah.
Bantuan dari pemerintah Timor jelas tak bisa diabaikan. Menurut sang ko-sutradara, sebagian anggaran berasal dari Pemerintah Timor Timur, Kantor Kepresidenan, Kantor Perdana Menteri, Kementrian Pariwisata dan Budaya, Kementrian Pendidikan, Kementrian Pemuda dan Olahraga. Semuanya menyumbang pendanaan pada tahapan produksi yang berbeda-beda.
Forcas Defesa Timor Lorosae, angkatan bersenjata Timor Leste, turut berkontribusi meminjamkan persenjataan, seragam, dan truk. Belasan prajurit berpartisipasi sebagai pemain dan ekstra, termasuk Commandante Funu Lakan, seorang perwira militer tinggi yang memainkan Celestino dos Anjos, salah seorang pemimpin perlawanan yang paling populer di era pendudukan.
Kontribusi penyintas tragedi Kraras pun tak boleh dilupakan. Kru produksi mengatakan, pengambilan gambar di Kraras melibatkan puluhan penyintas yang masih bertahan di Kampung Janda. “Suasananya mengharukan. Berkali-kali syuting terhenti karena kru, pemain dan ekstra mengalami emotional breakdown,” aku Nick.
Beberapa pemain utama lainnya memiliki latar belakang aktivisme dan gerilya—sebagian telah menjadi aktor profesional. Gaspar Sarmento, yang memerankan Kol. Sumitro, adalah bekas aktivis klandestin yang berbasis di Bali pada tahun 1990-an. Setelah referendum, Gaspar terpaksa angkat kaki dari Bali. Namanya tercantum dalam daftar orang yang dicari aparat. Jose da Costa yang memerankan Martin Guerre, pernah bekerjasama dengan gerakan klandestin. Ia lolos dan sempat mengalami penyiksaan setelah pembantaian Santa Cruz (1992). Adapun Osme Gonçalves, yang memainkan karakter pendeta dan menggubah musik latar untuk film ini, pernah mengangkat senjata bersama Falintil, sayap militer Fretilin.
Mengenai pilihan metode pembuatan film ini, saya tidak akan mengatakannya benar-benar istimewa. Sebuah film berbujet terbatas wajar memakai pemain non-profesional. Hal yang sama berlangsung pula di negara-negara yang (industri) filmnya masih balita, atau baru pulih dari perang, semisal Italia setelah Perang Dunia II atau Indonesia pasca-kemerdekaan. Sebaliknya, dalam kasus Beatriz, penggunaan aktor profesional pun tidak mengandaikan jarak yang besar dengan masyarakat sekitarnya, semenjak konflik tersebut dirasakan dampaknya secara kolektif. Orang yang di kemudian hari meniti karir sebagai aktor pun pernah mengalami kekerasan bersenjata.
Selain perkara metode, dukungan dari pemerintah Timor Timur entah mengapa mengingatkan saya pada sejumlah judul film anti-kolonial lain yang dibuat di tengah proses dekolonisasi. Yang masih tebal dalam ingatan saya adalah Battle of Algiers (1965), sebuah film kerjasama antara Aljazair dan Italia tentang perang kemerdekaan melawan Prancis (1952-1957). Algiers diadaptasi dari dari memoar penjara Saadi Yacef, seorang bekas gerilyawan, disutradarai seorang komunis Italia, disokong penuh oleh pemerintahan Aljazair, dan dilarang beredar di Prancis selama tiga tahun semenjak rilis. Sejumlah karakter dalam Algiers diambil langsung dari periode perang gerilya—beberapa di antaranya memerintah ketika film itu dibuat. Ali La Pointe, misalnya, yang diceritakan di dalam Algiers sebagai seorang bekas copet, memang memimpin gerilya kota sebagaimana adanya. Ia dieksekusi di usianya yang ke-27, pada 1957.
Pengaruh kultural Algiers di luar Aljazair sangat besar. Dalam situasi Perang Dingin, revolusi dan perang proxy di negeri-negeri (bekas) jajahan, Algiers terasa universal di jamannya. Di Amerika, di mana mahasiswa, buruh, dan hippies berbaris menolak perang Vietnam, almarhum Andrew Sarris, kritikus film legendaris, melukiskan kesannya tentang premier Algiers di New York. “Tepuk tangan bergemuruh menyambut adegan-adegan teroris melawan penjajah Prancis dan aksi-aksi pembunuhan lainnya. Adakalanya penonton riuh bersorak. ‘Habis ini, Saigon!’ seorang pria heboh ketika orang Aljazair meledakkan sebuah kafe di wilayah pemukiman warga Prancis,” tulis Sarris dalam Village Voice.
Franco Solinas, sang penulis skenario, menuturkan bahwa Algiers ditulis dengan pendekatan Marxis dan diilhami Third Worldism—dua arus gagasan yang dominan di garis Non-Blok saat itu. Dalam booklet DVD Algiers yang dirilis Criterion, Solinas mengatakan, pihak antagonis Prancis sengaja tidak digambarkan sebagai sosok yang jahat. Karakter fiksional Kolonel Mathieu yang dimainkan oleh aktor tearer Jean Martin, misalnya, adalah sosok yang dingin, reserved, dan tidak nampak bengis. Ia, tulis Solinas, hanya melaksanakan tugas. Perang di Algiers adalah perang antara dua kekuatan historis: Aljazair dan Prancis. Kedua belah pihak sama-sama punya kepentingan, sama-sama membantai dan menyiksa. Hanya saja, lanjut Solinas, secara objektif kolonialisme Prancis sudah selesai masanya dan tidak bisa dipertahankan lagi.
Di Prancis sendiri, Battle of Algiers adalah tamparan bagi pemerintahan de Gaulle. Tak lama setelah Aljazair merdeka, Jenderal de Gaulle lolos dari percobaan pembunuhan oleh OAS, organisasi paramiliter yang aktif selama tahun-tahun terakhir kekuasaan Prancis di Aljazair. Aksi OAS dilatarbelakangi kekecewaan lantaran Paris membuka pintu referendum untuk Aljazair.
Jika dibandingkan dengan Algiers atau beberapa film dekolonisasi yang dibuat oleh negara-negara yang baru merdeka, Beatriz mengambil pendekatan yang berbeda. Ia tidak mengglorifikasi aktivitas-aktivitas bersenjata. Secara kontras, film ini mengutamakan sudut pandang orang-orang sipil, khususnya perempuan, alih-alih kombatan. Para penyintas perempuan digambarkan sebagai korban terparah pendudukan, lengkap dengan traumanya yang panjang. Oleh Beatriz, ketahanan diri mereka diangkat sebagai metafor dari sejarah suatu bangsa yang tengah berjuang.
“Kami ingin menunjukkan pentingnya peran perempuan. [Timor Leste] bukanlah negeri yang dimerdekakan oleh Xanana. Prosesnya melibatkan banyak orang yang tidak dikenal. Dan ratusan ribu orang yang tak dikenal yang hidup di masa [pendudukan] itu bisa lebih akrab dengan Beatriz, ketimbang dengan Xanana atau orang-orang lain yang mungkin kini berkuasa dan bisa diketahui dari buku atau catatan-catatan sejarah,” tutur Nick.
Pilihan mengangkat karakter Beatriz, alih-alih pihak yang secara langsung terlibat dalam perjuangan bersenjata, nampaknya juga dilatarbelakangi semangat zaman yang berbeda: film ini dibuat dengan kesadaran bahwa suara penyintas menjadi isu dan sarana yang penting dalam kampanye-kampanye HAM yang beriringan dengan seruan pembebasan Timor di era 1990-an, sesuatu yang tidak dijumpai di jaman ketika Algiers dibuat.
Beatriz dan Indonesia
Desember 2014, ruangrupa, Jurnal IndoPROGRESS, dan FairTrade Films memutar Beatriz. Empat puluh lima orang penonton hadir dan mengikuti sesi diskusi bersama Hafiz Rancajale (Forum Lenteng) serta Maleve Guerra (aktivis Fretilin, Timor Leste). Ada sejumlah keberatan seputar representasi sejarah Timor Leste dalam Beatriz selama forum tersebut berlangsung. “Beatriz mengeksotisasi keindahan alam Timor Timur dan budayanya. Parahnya lagi, film ini semakin mirip sinetron. Cerita cintanya mengorbankan konteks politik yang lebih besar,” ujar Hafiz dalam diskusi pasca-pemutaran.
Durasi 101 menit terlalu panjang untuk drama penguras air mata, sekaligus terlalu singkat untuk mengeksplorasi rentang waktu yang cukup panjang antara tahun 1983 hingga 1999. Beberapa peristiwa penting terjadi selama tiga belas tahun itu—mulai dari insiden Santa Cruz di Dili hingga pemberian hadiah Nobel kepada Ramos Horta dan Uskup Bello, yang semuanya berdampak pada maju-mundurnya gerakan pembebasan Timor—tidak kelihatan jejaknya dalam Beatriz. Alih-alih, film ini malah berasyik-masyuk dengan kegalauan menanti suami Beatriz—yang bahkan tidak tampak menua selama tiga belas tahun itu.
Maleve Guerra, bekas aktivis klandestin dan gerilyawan Falintil, menambahkan satu catatan penting: Beatriz mengabaikan kenyataan historis bahwa pembantaian Kraras sedikit banyak berhasil meradikalisasi perempuan Timor, menggerakkan mereka untuk bergabung dalam perjuangan bersenjata. Selain itu, meskipun terjadi perkosaan massal, “Tidak ada perempuan Timor yang tinggal bersama prajurit Indonesia sebagaimana yang diceritakan Beatriz,” tegas Maleve.
Pembantaian di Kraras memang tak sesederhana yang ditampilkan dalam Beatriz. Insiden ini bermula dari penyerangan Falintil dan beberapa orang hansip terhadap sepasukan tentara Indonesia yang tengah berjaga. Serangan ini menuai aksi pembalasan yang brutal oleh TNI. Hingga kini masih ada perdebatan seputar kronologi peristiwa, demi tujuan apa aksi bersenjata tersebut dikerahkan, apakah Falintil merencakannya matang-matang, apakah aksi itu bertujuan memobilisir perlawanan rakyat, ataukah Falintil sekadar terpancing oleh perlakuan militer Indonesia atas perempuan Kraras sebagaimana yang dicontohkan Beatriz.
Penting untuk mengetahui bahwa peristiwa Kraras terjadi di saat pemerintah Orde Baru sedang gencar-gencarnya mengkampanyekan “normalisasi” di Timor. Istilah normalisasi ini digunakan oleh elit militer dan sipil Indonesia untuk menyatakan bahwa resistensi telah dilupmpuhkan, sehingga proses integrasi dan pembangunan bisa dimulai. Seperti yang dicatat oleh laporan Chega!, kampanye ini dimulai khususnya semenjak operasi “pagar betis” di tahun 1981 berhasil memaksa gerilyawan turun gunung. Dalam konteks itulah Kraras sebetulnya punya peran besar sebagai bagian dari aksi levantamento (pemberontakan), sebuah kampanye Falintil untuk mematahkan mitos “normalisasi” tersebut.
Setelah Kraras, tercatat banyak hansip dan anggota Ratih (Rakyat Terlatih) yang membelot ke Falintil, salah satunya berkat peran Virgilio dos Anjos, anak dari Celestino dos Anjos. Setelah turun gunung di tahun 1978, Virgilio bergabung dengan Ratih (Rakyat Terlatih) dan ditugaskan melatih kelompok paramiliter tersebut. Pada saat bersamaan, Virgilio memanfaatkan kerjasama itu untuk membangun jaringan perlawanan klandestin, hingga akhirnya, berkat kerja-kerja tersebut, Kraras menjadi momentum pengerahaan perlawanan rakyat Timor pada 1983. Lagi-lagi, sejarah pemberontakan rakyat—alih-alih sekadar pembantaian—di Kraras inilah yang luput dari Beatriz.
Kekeliruan representasi sejarah lazim terjadi dalam film-film yang bahkan diriset dengan kehati-harian luar biasa. Namun dalam kaitannya dengan sejarah Timor, menurut Maleve, kekeliruan semacam itu bisa berdampak besar di kemudian hari. “Selama pendudukan, kampanye media, termasuk film dokumenter, berjasa besar mengabarkan apa yang terjadi di Timor. Selama era pendudukan pula, kami terisolir dari dunia luar sehingga kami rela mengorbankan nyawa demi informasi. Sampai taraf tertentu, kebiasaan ini masih berlanjut. Saya khawatir jika kekeliruan sejarah Beatriz diterima sebagai kebenaran,” ujar Maleve.
Beatriz dan Kita
Saya pribadi, seorang Indonesia yang menonton Beatriz, tidak ingin terlalu larut dalam perbedaan pendapat di antara orang Timor mengenai representasi peristiwa Kraras. Bagi saya, pertanyaan yang lebih penting adalah: apakah Beatriz akan menjadi Battle of Algiers untuk Indonesia? Bagaimana respon bangsa penjajah ketika menonton film tentang proses dekolonisasi yang diproduksi oleh negeri bekas jajahannya?
Saya sempat bertanya pada seorang kawan tentang Algiers. Pertanyaan saya yang singkat itu menuai jawaban panjang. Jean-Pascal Elbaz, nama kawan saya itu, lahir di Paris pada 1961—hanya beberapa bulan sebelum referendum Aljazair. Kedua orangtuanya adalah pied-noirs, penduduk Aljazair yang berasal dari golongan Eropa. Mereka pindah ke Paris di tengah-tengah situasi perang kemerdekaan, ketika Jean-Pascal masih dalam kandungan. “Ketika gerakan kemerdekaan menjalar ke Aljazair, ia adalah bagian dari [suasana] pasca-Perang Dunia II dan Perang Dingin. Gelombang ini melintasi dunia, bermula dari Asia, Indonesia, India. Pada saat itu tak ada yang membayangkan bahwa apa yang terjadi di belahan dunia lain, bisa terjadi juga di sini,” ujar Jean-Pascal.
Pengalaman dua negara penjajah ini jelas berbeda. Prancis, negeri dengan reputasi sebagai penjajah kawakan, masuk ke Aljazair sekitar 1830 dan resmi memasukkannya sebagai koloni 18 tahun kemudian. Gerakan kemerdekaan sudah mulai membesar di tahun 1920an, berkat pengorganisiran yang masif di kalangan pemuda, buruh, dan tani, tapi kerap pasang-surut mengikuti dinamika internal politik Prancis. Proses dekolonisasi sungguh-sungguh tak bisa dihentikan setelah pembantaian Sétif. Saat itu, 8 Mei 1945, warga Aljazair di provinsi Sétif turun ke jalan merayakan hengkangnya Jerman dari Prancis. Pawai itu disambut teror oleh tentara Prancis yang melihat bendera Aljazair di tengah-tengah kerumunan. Sisanya tragedi beruntun: terbunuhnya 103 nyawa pied noirs di tangan warga Aljazair berbuah aksi pembalasan yang jauh lebih keji oleh militer Prancis. Estimasi korban warga pribumi sekitar 700 hingga 6000 jiwa.
Satu faktor yang turut menambah pentingnya Battle of Algiers: ia memotret “mekanika dekolonisasi” yang tidak bisa direm semenjak Sétif serta kontra-insurgensi setelahnya. Dengan kata lain, semenjak kontradiksi antara Prancis dan Aljazair, sebagai dua entitas nasional, makin tak terdamaikan; ketika keduanya mulai memobilisir penuh sumberdayanya masing-masing, terutama anak-anak muda, untuk berperang.
“Film-film seperti Battle of Algiers, Avoir 20 ans dans les Aurès, dan banyak film bertema sejenis selalu ditonton—atau dilarang—di Prancis dengan perasaan campur-aduk, karena anak-anak muda Prancis menjadi bagian dari perang di Aljazair. Anak-anak muda yang lahir di era Perang Dunia II namun tanpa ingatan tentangnya, dikirim berperang ke Aljazair. Setiap orang agaknya mengingat betul apa yang terjadi di sana. Ini yang tidak berlaku di Indonesia,” lanjut Jean-Pascal.
Pengalaman Indonesia sebagai (bekas) penjajah berbeda, juga ironis. Indonesia lahir dari perjuangan anti-kolonial yang berdarah-darah. Di bawah Soekarno, ia turut menginisiasi konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955, sebuah panggung anti-kolonialisme yang dikhianatinya dua puluh tahun kemudian, di bawah Soeharto, dengan menganeksasi Timor Lorosae, bekas koloni Portugis yang memprolamirkan kemerdekan pada 1975 setelah bergulirnya Revolusi Anggrek di Portugal.
Sebagaimana Aljazair, Timor Timur adalah kepingan memori yang tidak mengenakan bagi banyak orang indonesia. Hingga kini, pengalaman traumatik Aljazair adalah semacam lensa keruh yang digunakan banyak orang Prancis untuk meneropong masalah-masalah di Timur Tengah secara umum. Sampai sekarang pula, Timor Timur selalu diingat ketika isu separatisme muncul ke permukaan. Kepahitan ini bisa terlihat dalam pembicaraan sehari-hari tentang Timor Timur. Masih banyak yang enggan mengatakan Timor Timur merdeka dari Indonesia. Kita cenderung memilih kata “lepas”, karena “merdeka” akan secara langsung menempatkan kita dalam kursi pesakitan yang sama dengan Jepang, Belanda, atau—sosok durjana yang paling dibenci bangsa ini—Israel di Palestina sejak 1948.
Pada tahun 1998, ketika Rakyat Timor memilih merdeka, Indonesia sedang berada di titik nol, dihajar krisis ekonomi sehingga dipaksa berhutang ke IMF, direpotkan oleh konflik-konflik sektarian serta tuntutan memisahkan diri di sejumlah provinsi. Di tahun-tahun awal periode reformasi tersebut, ilusi kenyaman yang disokong kebijakan pembangunan Orde Baru yang penuh kekerasan tiba-tiba saja menguap. Pada saat yang sama, tuntutan agar Indonesia angkat kaki dari Timor Timur menguat di forum-forum internasional, terutama semenjak dunia menyaksikan pembantaian Santa Cruz di Dili pada 1991, yang kira-kira bisa disamakan efeknya dengan pembantaian Sétif.
Bagi banyak orang Indonesia, terutama kelas menengah yang tinggal di kota-kota besar dan memiliki kapasitas untuk bersuara, rentetan kejadian pada akhir 1990an itu seringkali dipahami dalam bingkai teori konspirasi sebagai “intervensi asing,” “proyek neokolonialisme Barat,” dan tak jarang digembar-gemborkan untuk menyuburkan narasi “NKRI Harga Mati”, sebuah slogan militeristik yang tak jarang diekspresikan ketika Papua bergolak, lagi-dan lagi.
Persis di sinilah Beatriz tidak sendirian. Lima tahun terakhir, setidaknya dua film asing mengekspos keterlibatan militer Indonesia dalam kasus-kasus kekerasan di Timor Leste. Beatriz didahului oleh Balibo (2009) yang menyoroti pembunuhan lima jurnalis Australia (dikenal sebagai “Balibo Five”) selama fase awal invasi Indonesia ke Timor (1975). Film ini dibuat dengan perspektif Australia, negara yang hubungan diplomatiknya dengan Indonesia kerap naik-turun.
Pada tahun 2009, Balibo tidak diperbolehkan diputar di Jakarta International Film Festival. Dipandang oleh beberapa pihak sebagai film yang sensitif secara politik, tentunya Balibo bukanlah film yang bakal digemari oleh para pejabat Indonesia. LSF menyatakan bahwa Balibo “dapat merusak hubungan diplomatik Australia-Indonesia.” Bagaimanapun, sejak pengadilan Forensik negara bagian New South Wales memutuskan bahwa TNI terlibat dalam pembunuhan tersebut (2007), dapat diduga jika pemutaran Balibo akan memancing diskusi lebih luas tentang kematian para jurnalis beserta keterlibatan para jenderal Indonesia.
Awalnya saya ragu apakah Beatriz akan diputar di Indonesia. Kalaupun diputar, apakah ia akan bernasib seperti Balibo, mengingat pesan Beatriz jelas lebih keras ketimbang Balibo. Balibo mengangkat kematian lima jurnalis Australia dari kacamata Australia; sementara Beatriz memotret kehidupan penduduk asli Timor yang tahu bagaimana rasanya dijajah selama 24 tahun. Terlebih lagi, militer Indonesia direpresentasikan dalam rupanya yang terburuk, sebagai pelaku pembantaian massal yang disokong pemerintah AS dan Australia.
Kekhawatiran itu toh tidak terbukti, setidaknya sampai tulisan ini dibuat. Dua kali pemutaran, di JAFF dan di ruangrupa, berlangsung tanpa gangguan. Ada seorang kawan yang mengatakan bahwa meskipun mengekspos kekerasan militer, Beatriz justru terlalu lunak menyikapi terkait isu rekonsiliasi dan tuntutan keadilan—dua ihwal sensitif yang masih menunggu penyelesaian. Konteks dari ucapan ini adalah keberhasilan rekonsiliasi di level grassroot yang gagal di tingkat politik. Sejak 2010, bekas anggota milisi yang mengungsi ke daerah perbatasan Indonesia telah pulang, sebagian mengalami proses peradilan, dan kembali hidup bermasyarakat. Sementara di level politik, sedikit sekali kemajuan yang dicapai oleh dua negara, sehingga TNI, sebagai pelaku kekerasan politik, tak pernah berhasil diseret ke pengadilan. Saya sendiri merasa klaim kawan saya terlalu menyederhanakan. Perlu dicatat bahwa di bagian akhir, film ini justru menyiratkan bahwa persoalan pribadi Beatriz—yakni dibohongi laki-laki bekas milisi yang mengaku sebagai suaminya—tidak selesai begitu saja dengan diadilinya si laki-laki, bahwa kegalauannya itu pada dasarnya bersumber dari ketidakjelasan nasib sang suami pasca pembalasan dendam militer Indonesia di Kraras.
Belajar dari kegagalan mengadili para jagal di Timor, menonton Beatriz adalah cara mengingat bahwa bagian terburuk dari persoalan Timor-Leste tetap tinggal bersama kita di Indonesia. Orang-orang kuat militer Orde Baru—yang hingga kini tidak tersentuh—digembleng di Timor. Di Timor mereka mengasah dan menyempurnakan teknik-teknik represi yang digunakan untuk membungkam rakyat sipil di luar Timor. Kemahiran merekrut milisi sipil untuk memukul gerakan rakyat pun didapat dari pengalaman bertugas di Timor—selain dari School of the Americas di Fort Benning, sebuah akademi yang melatih para perwira pelayan kediktatoran militer sayap kanan di Amerika Latin sepanjang dasawarsa 1970 hingga 1980-an. Dan akhirnya, orang pun tak boleh lupa bahwa insiden Talangsari, 27 Juli, kerusuhan Mei 1998, usulan pendirian Ratih di luar Timor Timur pada tahun 1999, pembentukan milisi sipil seperti PAM Swakarsa dan berbagai peritiswa kekerasan yang melibatkan militer, telah menemukan presedennya di Timor.
Preseden Timor juga nampak dari bagaimana pemerintah dan militer Indonesia menangani aspirasi merdeka di beberapa daerah dengan metode yang berdarah-darah. Saya sempat berpikir, film berjudul The Boys from Timor (memplesetkan judul film The Boys from Brazil) benar-benar bisa digarap untuk mengekspos reputasi para jagal berseragam hijau beserta kloning-kloningnya yang melakukan pembunuhan di berbagai tempat di Indonesia. Namun terkait film pertama dari Timor Leste yang sedang kita bicarakan ini, saya membayangkan seandainya film seperti Beatriz diproduksi di Aceh dan mengisahkan Rumoh Geudong, sebuah pos Kopassus di Pidie, tempat para perempuan diperkosa, disiksa, dibunuh atau hilang selama era Daerah Operasi Militer (1989-1998). Sebuah film lain yang mirip Beatriz mungkin akan lahir di Papua, mengingat pembunuhan politik terhitung sering terjadi di sana. Otoritas Indonesia bisa saja berdalih bahwa pencaplokan Timor didorong oleh iklim anti-komunisme Perang Dingin, namun tidak untuk kasus Papua. Militerisasi konflik di Papua, genosida penduduk asli, serta tidak berubahnya kebijakan keamanan di sana selama 15 tahun terakhir, terkait erat dengan eksploitasi sumber daya alam yang melibatkan korporasi-korporasi internasional. Maka, dianeksasi atau tidak, tuntutan merdeka dari rakyat Papua adalah suatu kewajaran—sewajar tuntutan merdeka dari Hindia-Belanda yang dieksploitasi selama bertahun-tahun oleh Hollanda. Sebuah pertanyaan tetap tinggal di benak saya: apa artinya menjadi seorang Prancis setelah menonton Battle of Algiers, seorang Amerika setelah menonton film anti-kolonial Season of the Whirlwind (1978), seorang Belanda setelah menyaksikan Darah dan Doa?
Sebelum pendudukan di Timor Timur, kita sebagai warga bekas jajahan mungkin akan enteng mengajukan pertanyaan ini ke orang Eropa Barat atau Amerika Utara sembari merayakan semboyan bangkrut ‘NKRI Harga Mati’. Sebagai eks-penjajah, kini kita beruntung mendapat pertanyaan serupa: apa artinya menjadi Indonesia setelah menonton A Guerra da Beatriz?
Versi pendek artikel ini dimuat di The Jakarta Post, Minggu, 21 Desember 2014.