Majalah Berita Mingguan GATRA
Edisi : 16 Desember 1995 ( No.5/II )
Sejumlah pemuda antiintegrasi loncat pagar lagi. Duta Besar Belanda cedera. Beberapa kedutaan asing pun memasang pengamanan ekstra.
PERISTIWA unik terjadi di dalam pagar pekarangan Kedutaan Besar Belanda, Jalan H.R. Rasuna Said, Jakarta Selatan, Kamis sore pekan lalu. Dua kelompok pemuda bertengkar, saling kejar, dan berkesudahan dengan atraksi adu jotos. Satu pihak mengatasnamakan pemuda Timor Timur prointegrasi, yang lain mengaku kelompok antiintegrasi. Adegan itu terjadi di depan hidung wartawan, polisi, dan penjaga kedutaan.
Duta Besar Belanda untuk Indonesia, Paul Brouwer, tampak senewen melihat kelakuan tamu tak diundang itu. Ia mencoba melerai. Tapi Meneer Brouwer ketiban apes. Tak jelas dari mana datangnya, beberapa sodokan mampir di tubuh sang Duta Besar. Baku hantam itu reda setelah para pemuda prointegrasi mundur, keluar dari halaman kedutaan dengan memanjat pagar setinggi dua meter.
Sejumlah pemuda Timor Timur memang menggelar atraksi politik lagi di Jakarta. Kamis subuh pekan lalu, 58 pemuda memanjat pagar Kedutaan Besar Belanda. Mereka masuk tanpa permisi. Pada saat hampir bersamaan, 47 pemuda menerobos pagar dua meter di Kedutaan Besar Rusia di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat. Kedua rombongan itu kemudian menyerahkan pernyataan politik. Isinya, tentu menghujat integrasi Timor Timur ke pangkuan RI. Tapi mereka tak mengajukan permohonan suaka politik, sebagaimana biasanya. Kedua ”delegasi” itu tak semua pemuda Timor Timur. Di situ bergabung pula sejumlah aktivis kelompok SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi) serta kelompok pemuda yang mengaku mewakili Persatuan Rakyat Demokrasi (PRD). Anak-anak muda SMID dan PRD itu secara terang-terangan menyatakan dukungannya terhadap aksi pemuda Timor Timur antiintegrasi.
Atraksi lompat pagar kedutaan asing itu rupanya mereka lakukan untuk ”memperingati” peristiwa 7 Desember 1975. Pada hari itu, 20 tahun silam, satuan gerilyawan Indonesia masuk ke Timor Timur untuk membantu kekuatan prointegrasi yang ketika itu terdesak oleh sayap militer partai Kiri Timor Timur, Fretilin, yang dikenal bengis. Anak-anak muda antiintegrasi tersebut menyebut tanggal itu sebagai hari ”Agresi Indonesia” dan dijadikan momentum untuk menggelar aksi politik.
Bahwa peringatan 7 Desember tahun ini ”dirayakan” bersemangat, tampaknya ada alasan khusus: sepanjang pekan lalu, Komisaris Tinggi PBB Urusan Hak-hak Asasi Manusia, Jose Alaya Lasso, ada di Indonesia, menjadi tamu Menteri Luar Negeri Ali Alatas.
Bukan hanya kali ini pemuda antiintegrasi itu memanfaatkan momentum serupa. Ketika Indonesia sedang menjadi tuan rumah sidang Kepala Negara Asia Pasifik, APEC, November tahun lalu, 29 Pemuda Timor Timur menerobos pagar Kedutaan Amerika. Mereka minta suaka. Walhasil, mereka diterbangkan ke Lisabon, Portugal, satu-satunya negara yang bersedia menerima mereka.
Tanggal 12 November, hari terjadinya tragedi Santa Cruz di Dili, 1991, yang menelan puluhan korban jiwa, termasuk peristiwa yang ”dikeramatkan” dan sering dijadikan momentum aksi. Maka, 7 November lalu, delapan pemuda melompati pagar Kedutaan Besar Belanda. Mereka meminta suaka. Sepekan kemudian, 21 pemuda lainnya ke Kedutaan Besar Jepang untuk maksud yang sama. Dua hari kemudian, lima pemuda memasuki Kedutaan Prancis. Semuanya diboyong Palang Merah Internasional ke Lisabon.
Menteri Luar Negeri Ali Alatas tak kaget lagi melihat ulah anak-anak muda tersebut. ”Itu lelucon yang tak lucu. Mereka mencari publisitas murahan,” katanya. Bahkan Ali Alatas curiga bahwa aksi itu tak murni. Direktur Penerangan Departemen Luar Negeri, Gaffar Fadyl, bahkan menyebut bahwa Ramos Horta, tokoh antiintegrasi yang kini bermukim di Australia, sebagai pemrakarsa. ”Ramos Horta pernah mengancam akan melakukan sesuatu pada 7 Desember,” ujar Gaffar kepada Nur Hidayat dari Gatra. Komisaris Tinggi PBB Urusan HAM, Jose Alaya Lasso, tak terpancing memberikan komentar keras. Ketika ditanya wartawan tentang aksi di dua kedutaan itu, ia cuma menanggapi sepintas, ”Saya hanya berharap agar urusan Timor Timur bisa cepat diselesaikan dan secara damai.”
Namun aksi-aksi para pemuda itu belakangan mengundang reaksi dari kelompok prointegrasi. Begitu rombongan antiintegrasi menerobos, tak lama kemudian kelompok kontra datang menggelar unjuk rasa yang mengutuk manuver itu. Maka ketika ada dua kelompok yang menerobos Kedutaan Belanda dan Rusia, kubu kontra itu pun melabrak. Bahkan sekitar 25 pemuda sempat masuk ke Kedutaan Belanda dan menimbulkan baku hantam tadi. Walhasil, esoknya, Duta Besar RI di Den Haag, Sudarmanto Kadarisman, dipanggil Departemen Luar Negeri Belanda dan diminta memberikan penjelasan tentang kasus itu.
Kedutaan Amerika, Inggris, Prancis, dan Jepang, yang pernah kebobolan, belakangan membuat pengamanan ekstra. Di atas pagar besi dua meter yang melindungi kedutaan itu, dipasang kawat gulung berduri untuk menyulitkan orang yang ingin lompat pagar. ”Memang kami pasang kawat setelah melihat kecenderungan cara anak Timor Timur mencari suaka,” ujar John Virgoe, Atase Pers Kedutaan Besar Inggris di Jakarta, kepada Eko Setyo Utomo dari Gatra. Tapi Virgoe mengakui, kawat tak bisa menghalangi bila mereka menyaru sebagai warga yang hendak mengurus visa atau mencari informasi di kedutaan.
Boleh jadi, karena Kedutaan Besar Amerika, Inggris, Prancis, dan Jepang sulit diterobos, kelompok itu mengalihkan perhatiannya ke Kedutaan Besar Belanda dan Rusia. Di situ mereka ”bertamu” lebih dari 36 jam, sampai akhirnya diusir dan dibawa ke Markas Polda Metro Jaya, Jumat pekan lalu, untuk diperiksa. Sampai akhir pekan, satuan keamanan tampak mengawasi beberapa kedutaan penting di Jakarta.
Tags:
Timor Timur