Jalan Berkelok Setelah Revolusi Bunga

 


TEMPO NO.18/XXVII/1 – 8 Feb 1999

Udara terasa panas di bekas gedung olahraga di ibu kota Timor Timur, 31 Mei itu. Sejumlah wartawan asing dan dalam negeri dipersilakan menempati balkon gedung yang digunakan sebagai ruang sidang. Sebanyak 28 meja kecil dibungkus kain hijau disediakan bagi para wakil majelis rakyat yang duduk dengan rapi di situ. Di panggung, berdiri Sang Merah Putih diapit anyaman janur kuning terukir. Sebuah layar besar bertuliskan ”Reuniad Oficial da Assembleia Popular da Timor Timur” menandakan bahwa secara resmi Timor Timur siap masuk wilayah Indonesia….” 

Laporan yang dimuat di TEMPO edisi 12 Juni 1976 itu menggambarkan suasana hari pertama dan terpenting bagi rakyat Timor Timur: bergabung ke wilayah Republik Indonesia. Selain menceritakan peristiwa perayaan di tanah yang oleh masyarakat setempat disebut Loro Sae-timur, bahasa setempat-itu, laporan tadi juga menangkap fenomena yang aneh. Meski ada sekelompok masyarakat yang melambai-lambaikan bendera merah putih sebagai pertanda suka cita, tapi tak ada keriaan dari wajah-wajah mereka. Bahkan wartawan, yang sengaja datang jauh-jauh untuk meliput, tak boleh melakukan kontak langsung dengan hadirin maupun masyarakat di jalan. Aneh. Memang, sejarah hubungan antara Timor Timur dan Indonesia merupakan sebuah perjalanan yang aneh. Wilayah yang selalu diusahakan agar terkesan aman dan damai itu selalu saja meledakkan peristiwa kekerasan yang buntutnya menjadi agenda pembicaraan dunia. Perhatian dunia ke wilayah seluas 14 ribu kilometer persegi yang berbatasan dengan Provinsi Nusa Tenggara Timur ini bermula pada 1974. Saat itu, Jenderal Antonio de Spinola -pemimpin kudeta militer di Portugal dalam Revolusi Bunga-membebaskan rakyatnya, termasuk di wilayah pendudukan, untuk mendirikan partai politik. 

”Reformasi” tersebut melahirkan tiga partai besar: Uniao Democratic Timorense (UDT), dipimpin oleh Mario Carrascalao dan F.X. Lopes da Cruz, yang menginginkan otonomi dalam naungan Portugal; Associacao Social Democrata Timorense (ASDT), kemudian berubah menjadi Frente Revolutionaria de Timor Leste Independente (Fretilin), antara lain  dipimpin Ramos Horta dan M. Alkatiri; dan Associacao Populer Democratica Timor (Apodeti), yang sejak awal berdiri menyatakan ingin berintegrasi dengan RI. Tokoh Apodeti antara lain Jose Osario Soares dan Arnaldo dos Reis Araujo. 

Pemerintah junta militer di Lisabon juga memberikan kesempatan kepada masyarakat setempat untuk menentukan nasib mereka sendiri. Ada yang ingin merdeka, ada pula yang ngotot mengintegrasikan Tim-Tim ke Indonesia. Perbedaan sikap politik di partai-partai ini membawa suasana panas, bahkan mengarah ke perang saudara. Sebagai Negara tetangga terdekat, Indonesia-yang belum lepas dari trauma gerakan komunis tahun 1965-merasakan arah perkembangan politik di Tim-Tim cenderung ke ”kiri”. Ini terutama dituduhkan pada Fretilin. Amerika Serikat, yang waktu itu pobi terhadap komunis, ”merestui” Timor Timur bergabung dengan Indonesia daripada dibiarkan ”kiri” bersama Fretilin. 

Sementara upaya diplomasi sedang dirintis antara Indonesia-Portugal dan PBB, pergolakan bersenjata antara pendukung aliran politik juga belangsung. Partai UDT, yang tadinya berkoalisi dengan Fretilin, akhirnya berhadap-hadapan. Pertempuran di antara mereka tak terhindarkan. 

Sekitar Januari 1975, Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) membentuk satuan tugas intelijen guna mengintai perkembangan politik di Tim-Tim. Nama sandinya Operasi Komodo. Yang memimpin kepala BAKIN waktu itu, Letjen Yoga Sugama, dengan Wakil Kabakin Letjen Ali Moertopo. ”Tim ini juga berusaha menjalin kontak dengan pihak-pihak yang ingin berintegrasi,” kata Harry Tjan Silalahi, yang dekat dengan almarhum Ali Moertopo itu. Ali Moertopo dengan ”Tim Opsus”-nya (operasi khusus)-antara lain Benny Moerdani (mantan Menhankam/Pangab) dan Letkol (Purn.) Aloysius Sugiyanto-sibuk ”menggarap” kelompok prointegrasi. 

Akibat pertikaian politik itu, sekitar 60 ribu mengungsi ke Atambua (NTT) dan sekitarnya. Bahkan Fretilin memproklamirkan kemerdekaan Tim-Tim pada 28 November 1975, dan mengangkat Xavier do Amaral sebagai presiden. Aksi Fretilin itu ditanggapi oleh lawan-lawan politiknya (UDT, Apodeti) dengan proklamasi tandingan di Balibo. Lawan-lawan Fretilin juga kemudian meminta bantuan Indonesia untuk melawan Fretilin. 

Belakangan, Operasi Komodo yang penekanannya lebih ke operasi politik diganti dengan operasi militer yang diberi nama Operasi Seroja. Semua soal mulai dipegang Departemen Pertahanan dan Keamanan, Desember 1975. Dili yang dikuasai Fretilin kemudian diserang ABRI bersama-sama kelompok prointegrasi. Namun, menurut cerita Aloysius Sugiyanto yang banyak terlibat dalam Operasi Komodo, pendekatan operasi militer merupakan tindakan yang tak efektif. ”Antara lain, akibat kesewenang-wenangan aparat militer, masyarakat setempat sakit hati,” katanya. 

Tim-Tim akhirnya berhasil dikuasai kelompok prointegrasi pada bulan Desember itu pula. Dibentuklah Pemerintahan Sementara Timor Timur (PSTT) yang dipimpin oleh Arnaldo dos Reis (dari Apodeti) dan Lopez da Cruz sebagai wakilnya. Sementara itu, pejuang Fretilin tercerai berai dan sebagian melarikan diri masuk ke hutan. Lalu Dewan Perwakilan Rakyat PSTT di Dili mengeluarkan petisi. Isinya, meminta pemerintah Indonesia menerima Tim-Tim tanpa perlu ada referendum. Petisi bahkan diteruskan ke presiden RI waktu itu, Soeharto. 

Pemerintah Indonesia menanggapi keinginan kelompok prointegrasi itu. Dan, akhirnya, seperti kita tahu, masuklah wilayah tersebut sebagai provinsi RI ke-27. Agar mantap menggaet Tim-Tim, pada 1978 disahkanlah Ketetapan MPR VI yang mengukuhkan Tim-Tim sebagai bagian wilayah RI. Sebuah upaya besar-menurut buku Timor Timur Dulu dan Sekarang terbitan Solidamor (September, 1998)-yang merenggut korban 200 ribu jiwa rakyat Timor Timur dan 10 ribu personil militer Indonesia. Bukan main.


Sumber

 


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama