Bom waktu pengangguran di Timor Leste

Ketika Cristovao Freitas Almeida lulus dari SMA tahun 2007, bekerja adalah harapan tipis di negaranya. Keluarganya terlalu miskin, yang membuat dia tidak bisa melanjutkan pendidikan ke universitas.Pemuda berusia 26 tahun ini menemukan dirinya terjebak di desanya di Distrik Aileu yang terletak di barat laut Timor  Leste, dekat dengan ibukota Dili. Masih berusia muda dan pengangguran, masa depan Cristovao tampak suram.

Selama enam tahun Cristovao termasuk di kalangan warga Timor Leste yang memiliki kekhawatiran besar tanpa pekerjaan. Negaranya, yang selama 24 dari 40 tahun terakhir dilanda perang, memiliki tingkat pengangguran tertinggi di Asia Tenggara, yakni sebesar 11 persen, demikian Departemen Tenaga Kerja negara itu.

Kaum muda telah mengalami beban, dan bahkan gelar universitas yang diraih mereka tidak lagi memberikan harapan dengan jaminan pekerjaan.

Namun, dengan berkat letak geografis,  Cristovao menjadi salah satu yang beruntung. Staf dari NGO Plan Internasional tiba di desanya tahun 2013, menawarkan pelatihan keterampilan gratis bagi warga desa yang menganggur.

Ia menghabiskan enam bulan belajar komputer dan keterampilan berkomunikasi, dan tahun ini mendapat pekerjaan di Departemen Pendidikan di Dili. Dia sekarang mendapatkan gaji per bulan sebesar  160 dolar AS, di atas  upah minimum 115 dolar AS yang ditetapkan pemerintah. Namun, dia juga mengenang tatkala melewati tahun-tahun yang sulit.

“Sebagian besar waktu saya dihabiskan bermain, minum, dan kadang-kadang mabuk. Itulah yang sering dilakukan para penganggur – minum dan mabuk, dan dapat dengan mudah diprovokasi (berkelahi),” katanya kepada ucanews.com.

Pengangguran meningkat mulai terjadi tahun 2006 ketika  dipicu oleh pergolakan dalam militer Timor Leste. Negara itu mengalami krisis besar, tentara dan polisi mengambil alih jalan-jalan di Dili, memaksa 150.000 orang mengungsi. Akibat krisis tersebut, PBB memperingatkan bahwa masalah mendasar yang telah memberikan kontribusi terhadap penyebaran kekerasan di kalangan warga sipil, salah satunya adalah pengangguran massal.

Di atas kertas, pengangguran itu tidak berdampak buruk bagi perekonomian Timor Leste. PDB negara itu bertumbuh sebesar delapan persen tahun lalu, menurut Bank Pembangunan Asia, dan ini akan terus berlanjut hingga tahun 2015.

Tapi, Paulo Alves, direktur tenaga kerja di Sekretaris Negara untuk Pelatihan Keterampilan dan Ketenagakerjaan, mengingatkan tidak adanya lapangan kerja di Timor Leste, membuat negara itu termiskin di kawasan Asia Tenggara.

Buktinya, Timor Leste telah mengumpulkan lebih dari  10 miliar dolar sejak kemerdekaan tahun 2002 dari cadangan minyak dan gas di lepas pantai, namun tetap menjadi negara berpenghasilan rendah, dengan tingkat kemiskinan ekstrim dan masalah sosial yang kompleks.

“Masalahnya di sini adalah bahwa angkatan kerja tumbuh dengan cepat, sementara kesempatan kerja tumbuh pada fase lambat,” kata Paulo ucanews.com.

Setiap tahun, katanya, sekitar 15.000 hingga 20.000 orang lulus dari sekolah menengah. Hanya sekitar 2.000 hingga 3.000 dari mereka mampu untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi, sementara mereka yang berasal dari keluarga miskin langsung mencari pekerjaan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga mereka.

Menurut laporan Bank Dunia tahun lalu, tahun 2030 sebanyak 470.000 orang akan berusaha untuk masuk kerja, konsekuensi dari fakta bahwa Timor  Leste memiliki salah satu tingkat kelahiran tertinggi di dunia, dengan lebih dari 40 persen penduduk Timor Leste di bawah usia 15 tahun.

Saat ini, negara itu tidak memiliki sektor padat karya seperti industri garmen, yang di banyak negara-negara lain – seperti Bangladesh atau Indonesia – menarik sejumlah besar bahkan tenaga kerja tidak terampil. Pertanian, yang mempekerjakan lebih dari 60 persen dari penduduk Timor Leste, hanya musiman, dan sektor ini dianggap tidak bisa memperbaiki.

“Ketika musim panen (padi, jagung, dan kopi) berakhir, orang akan kembali menjadi penganggur,” kata Paulo.

Salah satu tanggapan pemerintah untuk masalah ini, pihaknya  telah mencanangkan sebuah “program tiga dolar” dimana pihaknya membayar 3 dolar sehari per orang untuk bekerja di proyek-proyek yang disponsori pemerintah seperti pembangunan infrastruktur.

“Salah satu hal yang paling penting adalah mendorong lebih banyak perusahaan swasta untuk berinvestasi di sektor-sektor yang dapat merekrut banyak penduduk lokal, seperti di sektor pariwisata dan bisnis,” kata Alves.

Ia mencontohkan pusat perbelanjaan pertama dan satu-satunya di Dili, Timor Plaza. Pusat bisnis ini diresmikan tahun lalu telah mempekerjakan ratusan warga Timor Leste.

Sementara sektor energi saat ini bukan solusi untuk masalah ini, 1,3 miliar dolar dari proyek minyak dan gas Tasi Mane pemerintah akan fokus pada perekrutan penduduk setempat, dan menjadi tulang punggung industri minyak negara itu.

“Kami memperkirakan bahwa proyek ini akan mengurangi angka pengangguran sebesar 95 persen, karena akan membutuhkan lebih dari 100.000 penduduk lokal,” kata Paulo, seraya menambahkan bahwa Kementerian Tenaga Kerja telah membentuk subdivisi yang akan bertanggung jawab atas pelatihan pekerja minyak dan gas.

Strategi lain untuk mengekang pengangguran dalam negeri telah menjadi kesepakatan tahun 2008 dengan Korea dan Australia, dimana orang muda Timor telah dikirim untuk bekerja di kedua negara, dengan fokus terutama pada sektor perikanan, pertanian, dan industri. Lebih dari 1.400 orang telah dikirim ke kedua Negara itu, dengan total remitansi sebesar  2,9 juta dolar.

Etha Mota, kepala Pemberdayaan Pemuda Plan International untuk program pembangunan berkelanjutan, mengatakan dalam dua tahun terakhir kelompok ini telah terlibat dalam melatih lebih dari seratus orang muda termasuk Cristovao, yang berusia 15 hingga 24 tahun dengan keterampilan yang berbeda tergantung pada kebutuhan mereka.

Namun, pelatihan ini hanya akan lebih efektif bila kesempatan kerja yang dibuat tersedia secara nasional.

“Di satu sisi angkatan kerja yang besar adalah kesempatan bagi negara,” kata Etha. “Di sisi lain negara menjadi ancaman karena tidak semua orang memiliki kesempatan untuk bekerja, meskipun mereka menginginkan.”


Siktus Harson, Dili


Sumber

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama