FRANSISCO Xavier Lopez da Cruz senyum-senyum saja ketika ia ditanya tentang rencana aksi militer dari Gerakan Revolusioner Anti Komunis (MRAC) untuk merebut kembali wilayah Timor Timur. “Anda semua sebaiknya menunggu beberapa hari lagi”, katanya kepada sekelompok wartawan Jakarta di markasnya di daerah Batugade. Ia pun kembali menghadapi mesin tik Hermesnya melanjutkan sisa-sisa pekerjaan. Tidak berapa jauh dari meja tulisnya, sebuah pesawat radio dipajang di antara timbunan-timbunan karung-karung pasir yang dipakai buat berlindung. Hanya pesawat itulah yang menghubungkan Lopez dengan dunia luar, termasuk berita-berita dari lawan utamanya Fretilin. Janji Lopez ternyata tidak meleset. Selagi para wartawan menikmati ketupat Idul Fitri setelah bulan Ramadhan usai, kabar dari perbatasan menyebutlan telah terjadinya pertempuran sengit.
Pasukan-pasukan Apodeti bersama MRAC — yang belasan maupun sudan setengah baya, yang bule dan asli maupun campuran, yang dekil bercambang ataupun yang kelimis seperti Jose Martin dari partai Kota–dengan kekuatan lebih dari 70 orang mengambil bagian dalam operasi hari pertama itu dipimpin oleh seorang yang sehari-hari dikenal dengan Mascarinhas. Sebagian dari anggota pasukan gabungan telah kehilangan orang tua, isteri dan anak-anak mereka. Namun daya penggerak kini bukan lagi soal membalas dendam, tapi merebut kembali daerah Timor Timur dari tangan Fretilin. Nampaknya pasukan gabungan ini telah memanfaatkan teori militer yang mereka peroleh selama masa surut mereka ke daerah Batugade. Orang-orang Apodeti yang selama ini bungkam, ternyata telah mengisi waktunya dengn memperdalam taktik peperangan.
Ketakutan akan bahaya tembakan mortir fihak Fretilin membuat doktrin baha mereka bisa menang dengan mortir ternyata telah digunakan pula sebagai salah satu taktik dalam penyerangan di hari Senin awal pekan lalu. Sambil melepaskan tembakan mortir ke arah bukit-bukit di sekitar benteng Batugade mereka mulai bergerak pada siang hari. Tanpa mendapat serangan balasan, pasukan gabungan ini mengatur posisi di hutan-hutan dalam beberapa kelompok. Perlawanan dijumpai ketika mereka pada sore harinya berusaha merebut bukit-bukit itu. Fihak Fretilin yang menduduki bukit-bukit tadi ternyata tidak mampu lagi menggunakan mortir karena fihak lawannya hanya beberapa ratus meter di depan. Tembakan-tembakan senapan mauser dan G3 tidak berhasil mencegah gerak maju pasukan Apodeti dan MRAC. Bukit-bukit yang strategis itu diduduki pasukan gabungan tanpa seorang korbanpun di fihaknya. Mortir Cina Merasa posisinya sudah terkurung pasukan Fretilin tidak dapat lagi memusatkan perhatiannya menghadapi pasukan gabungan Apodeti dan MRAC tersebut.
Dihujani mortir bertubi-tubi, akhirnya mereka menyadari tak bisa bertahan lebih lama dalam benteng yang kokoh itu. Satu-persatu mereka mengambil langkah seribu tanpa berhasil membawa serta perlengkapan militernya. Ayam-ayam masih terikat, bir-bir yang masih segar dalam botol, kendaraan Toyota pick-up, peluru-peluru basoka dan mortir, mortir buatan Cina berkaliber 60 mm, sejumlah traktor pertanian, formulir keanggotaan Fretilin, serta dua sosok mayat Fretilin telah ditemukan oleh pasukan gabungan tadi ketika mereka memasuki benteng itu keesokan harinya. Kemenangan itu membuat mereka melonjak kegirangan sementara fihak Fretilin merasakannya sebagai pukulan berat, terutama bagi ke-200 anggotanya yang mengawal benteng ini. Benteng yang beberapa jam sebelumnya berkibar megah bendera Fretilin, kini berganti dengan dua bendera masing-masing Apodeti dan UDT –yang merupakan bagian terbesar dari front MRAC. Sorak-sorai itu berlangsung hanya sebentar saja, sebab pemimpin mereka mengingatkan akan masih lamanya upaya pembebasan Timor Timur.
Sementara itu Lopez yang ditemui TEMPO Syahrir Wahab di dekat Sungai Batugade, 300 meter dari benteng, mengatakan dalam nada suaranya yang tetap lembut — nyaris suara pendeta bahwa dalam beberapa hari ini pasukan gabungan akan terus mengejar sasaran-sasaran baru. “Sesudah Batugade, akan menyusul Balibo, Maliana, Atabai, Ermera, Maubara, dan kemudian Dili”, katanya. Ini berarti kemelut Timor Timur masih akan panjang lagi penyelesaiannya. Sebab ketiga fihak yang sekarang bertengkar itu nampaknya tidak menyebut-nyebut lagi penyelesaian “model Al meida Santos” tapi dengan “perang pembebasan”, kata Lopez.
Lantas apa reaksi Fretilin? Dari Dili sekretaris politik mereka menuduh lasykar penyerbu itu sebagai “tentara reguler Indonesia” dari pakaian seragam dan senjatanya. Jose Ramos Horta juga menyebutkan, bahwa serangan infanteri itu ditunjang oleh tembakan-tembakan dari kapal fregat dan pesawat jet Indonesia, serta sebuah helikopter yang ikut menyerbu pertahanan Fretilin di Batugade. Sedang di Darwin, pimpinan Fretilin lainnya, Mar’i Alkatiri memperkuat keterangan Horta dengan menyebutkan bahwa 300 tentara Fretilin kini terkepung oleh 200 pasukan Indonesia yang menguasai daerah sekeliling Batugade. Sisanya mundur ke gunung-gunung. Seminggu sebelumnya, DPP Fretilin telah mengirimkan kawat ke alamat PM Australia Gough Whitlam, Dewan Keamanan PBB dan Dewan Gereja Dunia, menceritakan agresi militer Indonesia di Timor Timur serta tekad Fretilin untuk “bertahan sampai orang terakhir”. “Ah, itu hanya perang urat syaraf Fretilin saja”, bantah jurubicara 1 Hankam Brigjen Sumrahadi menanggapi berita-berita Fretilin di Jakarta. Dia menyangkal adanya invasi darat-laut-udara Indonesia, “karena Indonesia belum pernah mengeluarkan perintah untuk menyerbu”. Dan untuk lebih memperkuat sanggahannya – seperti yang disiarkan oleh Radio Australia – jubir Hankam itu balik bertanya: “bagaimana bisa pesawat Indonesia ikut menyerbu Batugade, kalau AURI justru sedang mengerahkan pesawat-pesawatnya dalam latihan Elang Malindo bersama AU Malaysia di Medan, 2000 mil dari Timor?”.