P R A K A T A
Selama empat abad rakyat Timor Timur menderita dari tindasan dan teror kolonial. Namun demikian, ini tidak sekejam penderitaan-penderitaan mereka dari kekejaman-kekejaman dan pembunuhan-pembunuhan membabi-buta yang dilakukan oleh sebagian kecil orang-orang mereka sendiri yang menyebut diri mereka FRETILIN.
Pada saat otoritas-otoritas Portugis mengosongkan daerah jajahan mereka dan meninggalkan kevakuman otoritas di awal tahun 1975, FRETILIN secara sepihak mengambilalih kekuasaan di Timor Timur dan mulai menteror bukan hanya orang-orang yang tidak setuju dengan pengambilalihan kekuasaan tersebut namun juga ribuan rakyat yang tak berdosa.
Banyak orang dibunuh secara membabi-buta atau disapu bersih yang akhirnya menimbulkan perlawanan sengit terhadap rezim FRETILIN oleh orang-orang yang menolak, yang akan ditindas oleh kekuasaan komunistik FRETILIN dan yang kemudian mencapai puncaknya dalam suatu perang saudara skala-penuh di Timor Timur yang menyebabkan penderitaan manusia, kesengsaraan dan kelaparan.
Cerita ini mendeskribsikan pengalaman empat orang saksi: MONIZ MAIA, JANUARIO CARVALHO, BENYAMIN OLIVEIRA dan JOSE DOS SANTOS, yang lolos secara ajaib diantara begitu banyak tawanan karena keagungan Tuhan Yang Maha Kuasa, berhasil keluar dari kurungan tak berperikemanusiaan FRETILIN.
Semua fakta tersebut hanya mengungkapkan sebagian kecil dari kekejaman-kekejaman yang dilakukan oleh FRETI-LIN. Pengungkapan fakta-fakta dalam booklet ini dimaksud-kan sekali lagi mengingatkan orang untuk tidak menginjak-injak, namun menghormati Martabat Manusia.
KESAKSIAN BAPAK MONIZ MAIA
Saya ditahan di Same, sebuah desa sekitar 80 mil sebelah selatan Dili, pada tanggal 27 Agustus 1975. Saya berada di rumah bersama sanak keluarga saya, ketika banyakorang Fretilin bersenjata, tentara dan orang-orang milisia, dari kelompok-kelompok brutal menjarah dan menyerang ke rumah-rumah di desa saya dan sekitarnya untuk merampas senjata-senjata dan menangkap para simpatisan UDT, Apo deti, Kota dan Trabalhista. Mereka mendobrak rumah saya, sambil berteriak memaki dan memberi saya perintah penahanan.
Sanak keluarga saya memohonkan belas kasihan sambil menangis histeris, namun para penangkap saya memerintahkan saya untuk mengangkat tangan saya dan mulai mengobrak-abrik isi rumah dalam mencari senjata-senjata. Tindakan brutal ini diikuti dengan teriakan-teriakan histeris, dan perampasan barang-barang berharga. Mereka tidak memberikan toleransi terhadap kaum lanjut usia dan anak-anak yang begitu ngeri melihatnya.
Setelah mereka merampas semua yang mereka inginkan saya diseret ke luar rumah dan mulai dipukuli di depan sanak keluarga saya, yang tak berdaya untuk menolong saya. Sepanjang jalan ke penjara mereka tidak berhenti memukul saya, dan saya dijebloskan kedalam sebuah sel. Saya menemukan para kolega saya semuanya mengalami luka-luka emar dan mayoritas menangis karena perlakuan buruk tersebut. Selama hari itu dan hari-hari berikutnya, elemen-elemen lain populasi lokal menyusul kami masuk penjara dan dipukuli. Serangan tersebut tidak berhenti. Tidak jarang bahwa dari pagi hingga malam orang-orang Fretilin, datang dengan cambuk-cambuk kulit, memperlihatkan pemandangan-pemandangan serangan barbar yang mereka lakukan dengan tertawa terbahak-bahak hingga kami jatuh pingsan. Untuk memperburuk penderitaan kami para penangkap kami memberi kami hukuman tidak makan dan minum selama dua hari. Meskipun dua kali sehari kami diperbolehkan buang air besar, namun kami tidak diberi air. Setelah dua hari mengerikan tersebut, sanak keluarga saya membawakan makanan untuk saya, namun mereka harus memberikan barang-barang berharga untuk mereka, khususnya kepada para tokoh yang mengatakan bahwa hanya dengan cara ini mereka dapat melakukan sesuatu untuk mengurangi hukuman kami sejauh mereka memiliki tuduhan-tuduhan berat terhadap kami. Apakah itu benar atau tidak, saya hanya bisa menikmati makan pertama saya setelah empat puluh delapan jam, dengan demikian saya bisa mengisi perut saya yang kosong. Kami tidak mendapatkan makanan dari Fretilin, sejak hari itu, 30 Desember '75 hingga hari ketika saya dipindahkan ke penjara Aileu. Meskipun kami diberi makan, namun penderitaan kami tidak berhenti di situ. Sering sekali sepanjang hari hingga malam, sebagian besar orang-orang Fretilin mabuk, melakukan interogasi-interogasi bodoh.
Mereka mendapatkan semua kebebasan untuk memukuli tubuh kami dengan cambuk, dan menghina orang-orang yang kami cintai. Dalam masa-masa brutal tersebut, orang-orang Fretilin memuaskan diri mereka dengan memukul kami dengan handel cambuk, memukul kemaluan kami dan mereka tertawa terbahak-bahak menyaksikan tubuh kami menggeliat kesakitan. Lain-lainnya, memaksa kami berdiri membelakangi mereka untuk memungkinkan ujung cambuk mendera kepala dan wajah kami dalam suatu gerakan membelit.
Kebrutalan-kebrutalan tersebut dilakukan dalam sel-sel sempit, sehingga tidak ada gunanya berusaha untuk menutup diri kami. Terkadang kami lari sembarangan untuk menghindar dari cambuk mengerikan yang nampak seperti seekor ular kobra ganas, namun kami hanya menabrak teman-teman satu sel lainnya yang tergeletak tak sadarkan diri di lantai dan lain-lainnya gemetar menunggu giliran mereka, meskipun sudah tergeletak di lantai. Mereka tidak akan berhenti. Sebaliknya itu membuat mereka semakin benci dan geram, setiap cambukan bersama dengan makian, antara lain: "Bangunkamu, anjing .... bangun ... atau lainnya, kutembak kepalamu". Biasanya, setelah dicambuk, kami hampir tidak bisa berdiri lagi. Energi manusia terbatas, dan kami mencapai tahap dimana kami tidak lagi merasakan kulit kami terkelupas, tidak lagi bisa melihat dan mendengar apa-apa. Saya sendiri di masa-masa mengerikan ini biasa merasakan gelombang panas menjalar hingga seluruh tubuh saya, yang membuat saya tidak bisa melihat, kehilangan semua rasa bahwa saya masih hidup. Saya mengalami ketidaksadaran dan jatuh ke lantai.
Tanpa suatu perubahan nyata, situasi sedih ini berlangsung selama sepuluh hari pertama penahanan. Secara berangsur-angsur masa-masa barbar ini berkurang dan bahkan saya berani mengatakan bahwa selama beberapa minggu cambuk berdarah tidak lagi menyentuh kami. Setelah hampir dua bulan dalam penjara, berita-berita mulai beredar bahwa beberapa diantara kami akan dipindahkan ke Aileu. Itu memang terjadi.
Pada tanggal 9 Oktober 1975, sekitar pukul 8 pagi, kami dipisahkan menjadi suatu kelompok 31 (tiga puluh satu) orang dan dinaikkan ke sebuah truk. Banyak orang Fretilin bersenjata naik truk bersama kami. Truk menempuh jalan Dili yang sama. Ketika kami tiba di Maubisse kami berhenti di jalan utama kota tersebut. Truk diparkir di tempat terbuka. Para penjaga bersenjata tadi bergabung dengan lainnya yang lebih banyak dan membentuk dua barisan di belakang truk, dan kami dipaksa untuk turun satu persatu. Segera setelah kami mencapai tanah "panitia penyambut" menyambut kami dengan tendangan, pukulan dan hantaman popor senapan. Segera setelah tergeletak di tanah seorang Fretilin lainnya mencambuki tubuh kami. Semua kebiadaban tersebut berlangsung seperti suatu sabung-ayam ketika semua orang itu berteriak dan mencaci serta banyak orang lokal berkumpul di tempat itu dan menyemangati teman-temannya yang biadab untuk menghabisi kami, dengan berteriak: "Bunuh, bunuh...." Melihat rintihan kami kesakitan, orang-orang aneh melompat dengan riang dan bergabung bersama para penyiksa kami untuk ambil bagian.
Semua kami, tiga puluh satu orang, satu demi satu melewati cambukan-cambukan, tendangan dan pentungan orang-orang Fretilin yang berusaha bertindak sebagai artis jalanan. Mereka memanggungkan suatu pemandangan buas dan primitive untuk kepuasan publik yang mengelukan dan mendukung mereka. Saya tidak dapat membayangkan berapa lama itu berlangsung. Semua kami, separoh diantaranya mati, setelah perlakuan brutal itu, dimasukkan kembali ke dalam truk, dan kami menunggu di bawah sengatan matahari yang ketika itu mencapai puncaknya. Disamping memar-memar di sekujur tubuh saya, kulit kepala saya terkelupas, yang hingga kini saya tidak tahu bagaimana kejadiannya. Teman-teman saya, dua diantaranya patah tulang rusuk, satu terkelupas kulit mukanya, beberapa tergeletak tak sadar di atas truk dan lain-lainnya hanya menangis.
Kami tidak dibantu secara medis, kami berusaha sendiri menghentikan pendarahan luka-luka kami dengan menggunakan sobekan-sobekan baju kami sebagai perban. Kami berada di atas truk hampir dua jam dibawah sengatan sinar matahari tanpa makan dan minum.
Panasnya sengatan matahari menambah penderitaan kami. Luka-luka menyebabkan rasa sakit seperti tikaman pisau panas dan rasa haus yang bukan kepalang. Rintihan-rintihan rasa sakit melalui tenggorokan ke mulut seperti sebuah bola api yang menyebabkan kami muntah. Mendengar kami meminta air, orang-orang Fretilin yang duduk di bawah pohon-pohon dalam posisi-posisi mengawasi menjawab dengan perkataan-perkataan: "Tutup mulutmu anjing. Jika kamu terus menggonggong kamu akan mendapatkan hadiah lainnya, dan kamu akan mati".
Dengan mengharapkan penghentian serangan kami diam dengan pasrah. Ketika para penjaga yang bersama kami dari Same muncul, kami dipaksa berdiri. Mereka nampaknya habis makan-makan dan banyak minum. Segera setelah mereka memasuki kabin kami melanjutkan perjalanan ke Aileu. Meskipun kami menderita karena gonjangan akibat jalan-jalan berlubang, namun tidak ada yang patut diketengahkan.
Kami tiba di Aieleu pada pukul 2.30 dini hari. Truk diparkir 15 meter dari gudang ubi yang digunakan Fretilin sebagai penjara. Banyak orang Fretilin berseragam dan bersenjata serta orang-orang sipil, para pengikut mereka, mendatangi kami dengan wajah sinis. Dari orang-orang utama Fretilin yang mendekati kami, Afonso Redentor, yang kemudian kami kenal sebagai sipir No. 1 kami. Dengan membentuk barisan-barisan seperti di Maubisse, mereka memaksa kami untuk melompat turun dan segera disambut dengan pukulan-pukulan hingga kami tidak sadarkan diri. Alat-alat yang mereka gunakan seperti alat-alat yang mereka gunakan di Same dan Maubisse. Hukuman-hukuman brutal baru ini disertai dengan teriakan-teriakan keras para penonton Fretilin lainnya yang begitu riang bergabung dengan teman-teman biadab mereka dan orang-orang baru yang dibawa sebelumnya oleh Afonso Redentor untuk melakukan tugas biadab, penyiksaan-penyiksaan tak berperikemanusiaan kepada kami.
Dalam keadaan tak sadar dan frustrasi kami diseret ke penjara dan ditumpuk di sana seolah-olah kami hewan yang sudah mati. Luka-luka oleh cambuk, popor senapan, dan sepatu pun bertambah di sekujur tubuh kami. Setelah sampai Aileu, tubuh kami penuh dengan darah. Tanpa suatu pengobatan, makanan atau air, kami tergeletak di atas lantai, merintih kesakitan. Para tawanan lama berusaha menghibur kami dengan kata-kata untuk memberikan semangat dan dorongan. Betapa baiknya teman-teman senasib ini.
Mereka menggunakan baju mereka untuk membersihkan luka-luka kami dan memijat kepala kami yang membengkak, dengan mengatakan: "Kemari, teman, itu sudah berlalu, besok anda akan lebih baik.... mereka tidak akan memukul anda lagi". Melalui renungan malam dan nyayian gereja dalam keagungan Tuhan, nyanyian-nyanyian yang ditujukan kepada Bunda Maria merupakan obat terbaik yang kami dapatkan malam itu.
Pada pagi berikutnya, 10 Oktober 1975, jam 7 pagi, pintu gerbang penjara dibuka untuk memberikan jalan kepada sekelompok kecil Fretilin bersenjata, yang memukul kami pada saat kedatangan kami, yang menyuruh kami berdiri dan mengikuti mereka ke luar. Kami berjalan ke sebuah pos pengobatan, dimana kami dengan cepat diobati. Dalam perjalanan, banayak orang sipil berusaha memukul kami. Kami didampingi oleh para penjaga, namun kami tidak dapat mendengar semua sumpah serapah mereka. Di pos pengobatan, luka-luka yang berat diperban, luka-luka kecil karena cambuk hanya dibersihkan dengan kain yang dibasahi alkohol. Setelah itu para penjaga membawa kami ke sebuah ladang di Aisirimou dimana teman-teman kami sedang sibuk bekerja. Sekop dan beliung diberikan kepada kami untuk menandai sebidang lahan dimana kami dipaksa untuk berkeliling pada hari itu. Setiap gerakan menyebabkan rasa sakit luar biasa karena kebrutalan-kebrutalan hari sebelumnya. Di bawah sengatan matahari tropis yang membakar, kami terus bekerja melaksanakan tugas hari itu.
Sekitar tengah hari, kami digiring kembali ke penjara, yang pintu-pintu dan jendelanya sudah dicat Fretilin dengan warna hijau. Kami diberi sepotong jagung rebus kotor dan masam, tanpa lainnya. Namun karena kami lapar sekali, kami lahap potongan kecil itu dalam beberapa detik. Makanan itu menyebabkan perut saya sakit luar biasa, karena saya tidak makan selama 36 jam sebelumnya. Untuk menambah penderitaan kami, Fretilin memaksa kami makan dekat drum-drum yang berfungsi sebagai toilet.
Pada permulaannya, setelah kerja keras di lading Aisirimou dari pagi hingga petang, kami diberi dua kali makan sehari, namun, ketika berita terdengar bahwa asukan-pasukan gabungan bergerak dari Batugade, jatuh diturunkan menjadi satu kali makan sehari, dan porsi semakin hari semakin sedikit. Sering sekali, kami hanya diberi segelas kecil kopi selama berhari-hari. Beberapa teman kami, berkat kemampuannya atau karena beberaoa orang Fretilin yang lebih manusiawi, menyembunyikan beberapa potong ubi jalar, tapioka atau umbi-umbi yang bias dimakan. Mereka tidak akan makan sebelum menawarkan kepada teman-teman mereka untuk berbagi sekedar pengganjal perut ini. Terhadap tawaran ini sedikit atau tak seorang pun yang menerimanya, dengan mengatakan kami sudah makan, sehingga dengan kebohongan yang baik ini, teman-teman kami dapat menikmati potongan-potongan kecil umbi-umbian tersebut. Saya tidak pernah berpikir bahwa rasa lapar begitu kejam.
Di Aileu inilah kami kembali melakukan serangkaian do'a tiga kali sehari sebagaimana kami lakukan di Same. Do'a-do'a tersebut memberi kami stamina dan dorongan lebih besar untuk menahan kesengsaraan-kesengsaraan yang diciptakan oleh Fetilin.
Ketika pasukan-pasukan kami merangsek ke arah Dili, siksaan kami meningkat setiap hari. Kami menjadi subyek untuk berbaris di tempat terbuka pada malam hari dan selama siang hari yang sangat menyengat. Dalam peristiwa-peristiwa tersebut orang-orang Fretilin biasa memisahkan kami menjadi kelompok-kelompok lima dan sepuluh orang dan kemudian secara brutal memukuli kami. Untuk memperburuk penderitaan kami mereka membentuk pengadilan-pengadilan boneka untuk memungkinkan mereka membuat pertanyaan-pertanyaan bodoh dan terhadap jawaban-jawaban negatif kami mereka mendapatkan kebebasan untuk memukul kami dengan kegilaan mereka biasanya.
Kami hidup dalam teror hingga 7 Desember '75, tanggal ketika kami berhenti pergi ke ladang. Namun siksaan-siksaan kami tidak berhenti di sini. Untuk memberikan sekuensi (rangkaian urut) kesaksian Bapak Moniz Maia dan Bapak Januario de Carvloho, kami menghentikan kesaksian yang terdahulu, dan di sini kami menulis kesaksian Bapak Januario De Carvalho.
TTD
Moniz Maia