Dengan kelompok besar kami sel menjadi penuh sesak, dalam keadaan seperti ini kami tidak bisa bergerak dan kami tidur berdiri karena ruangnya tidak cukup untuk bahkan untuk mendapatkan posisi duduk. Biasanya di pagi hari para penangkap kami membuka gerbang besi untuk memungkinkan kami memasuki emperan kecil berpagar kawat kasa dan bagian atasnya ditutup kawat berduri. Para penjaga Fretilin yang diperlengkapi dengan senjata mesin (submachine) berada di luar mengawasi gerakan-gerakan kami.
Pembagian makanan juga berlangsung di emperan tersebut, dan sebagaimana biasanya itu dengan suatu porsi yang sedikit sekali. Minggu-minggu sebelumnya, para tokoh Fretilin sudah menghentikan semua kunjungan ke penjara- penjara dan rumahsakit-rumahsakit, dimana banyak teman kami diopname karena luka-luka berat akibat siksaan- siksaan yang kami terima. Dengan penghentian kunjungan- kunjungan, sanak keluarga dan teman-teman kami tidak dapat membawakan makanan, sebagaimana sebelumnya, untuk kami.
Meskipun kami mendengar banyak spekulasi dari pengawal yang selalu mengancam kami namun kami tidak yakin dengan keselamatan kami. Dalam inkognito (samaran) ini kami dipertahankan hingga tanggal 7 Desember 1975. Satu pagi dini hari kami mendengar letusan-letusan keras senjata-senjata berat dan rentetan-rentetan senapan mesin yang tiada henti. Meskipun kami tidak tahu apa yang sedang berlangsung di Dili, namun hati kami mengatakan, pasukan- pasukan kami sudah tiba di Dili dan konsekuensinya kebebasan kami sudah pasti.
Sekitar pukul 8 pagi orang-orang Fretilin yang meninggalkan lembah-lembah kota, berkonsentrasi dalam kelompok-kelompok sekitar Taibessi hingga Rumahsakit untuk menahan laju pasukan-pasukan kami. Di Markas Umum Taibessi Milisia Fretilin berjumlah ratusan. Orang-orang Fretilin melipatgandakan pengawasan terhadap para tawanan. Sepan- jang pagi, gelombang-gelombang berkesinambungan orang- orang Fretilin keluar masuk dari kam Militer Taibessi.
Sekitar pukul 2 sore, kami mulai melihat kesalahpahaman dan kekacauan diantara orang-orang Fretilin. Diantara teriakan-teriakan histeris perintah dan larangan, orang-orang Fretilin mondar-mandir kebingungan seperti orang gila, di tengah-tengah teriakan dan tembakan di semua arah, kemudian lari dari markas; lain-lainnya berada dalam posisi siap tempur sekitar markas. Semua ini bisa kami lihat melalui jendela-jendela berkisi sel-sel kami. Beberapa penjaga yang ingin menyerah mengatakan kepada kami bahwa beberapa pemimpin mereka sudah lari ke perbukitan. Para pemimpin lainnya, khususnya orang-orang eks-militer, masih berada di Dili, berusaha untuk mengor- ganisir pertahanan. Namun sebelum mereka bisa melakukannya orang-orang mereka sudah lari seperti anjing melolong dan berteriak ketakutan. Diantara para pemimpin mereka hanya satu yang dapat menenangkan orang-orang yang ketakutan. Dialah Nicolau Lobato, yang menenangkan orang-orangnya yang sok, mengajak mereka ke penjara, dan memerintahkan pintu-pintu dibuka dan memerintahkan kami berbaris. Setelah berbaris dia berkata kepada kami "Apakah anda ingin mati sekarang dengan "berondongan" atau bekerja sama dengan kami?"
Banyak diantara kami, dengan harapan bahwa suatu kesempatan mungkin muncul untuk lari, menjawab kepada Nicolau bahwa kami menerima kerjasama. Salah satu saudara si pemimpin, Antonio Lobato nampak di tempat itu, matanya penuh dengan kebencian. Dia bertugas sebagai Polisi Militer. Diperlengkapi dengan sebuah senjata automatic G-3, dia mengisi senjata tersebut dan berkata dengan suara lantang bahwa dia akan membunuh kami; namun saudaranya Nicolau melompat menghalanginya dan merebut senjata tersebut serta membawanya pergi, dan memperingatkannya.
Setelah insiden yang bisa mengancam jiwa kami ini, kami dibawa ke beberapa tempat di Markas tersebut, dimana mereka mendistribusikan kotak-kotak amunisi dan kontainer "persenjataan" lainnya. Dua orang dipaksa untuk membawa sebuah kotak amunisi yang beratnya mencapai 60 pound.
Setelah distribusi kami dibariskan dua-dua dengan seorang Fretilin di tengah dan banyak yang berada di sekeliling mengawasi kami. Kami melalui jalan setapak berbaris menuju jalan Dili-Aileu, terus berjalan dengan bentakan-bentakan agar berjalan lebih cepat sementara keadaan kami semakin melemah karena membawa beban yang demikian berat. Dalam kondisi yang sangat lelah kami sampai di perkebunan kopi Costa Alves di Balibar, 10 mil jauhnya dari Dili sekitar 400 meter di atas permukaan laut.
Catatan: Sebagai informasi untuk para pembaca yang tidak mengenal kawasan tersebut, jalan penghubung antara Dili-Aileu terus mendaki hanya sedikit turunan dan sekali- sekali mendatar, yang berdebu selama musim kemarau, berlumpur dan licin selama musim penghujan, yang bisa melintasi jalan tersebut hanya mobil dobel kardan atau kendaraan militer. Kami beristirahat di tempat terbuka malam itu. Karena hari sebelumnya kami tidak makan dan lelah sekali, kami berbaring di tanah basah berlumpur. Kami hanya memakai baju dan celana pendek dan sepanjang malam kami kedinginan, berbaring di tanah seperti anjing.
Kami hampir tidak bisa mengatupkan mulut untuk tidak merintih. Berapa lama lagi kepedihan kami akan berlangsung? Saya terbayang orang-orang yang saya cintai. Dimana mereka berada? Mereka pasti menganggap saya sudah mati. Dengan memandang sekeliling saya melihat seorang penjaga bersenjata, saya bertanya-tanya: "Oh, saudaraku mengapa kau begitu membenciku? Mengapa begitu membenciku?" Dan saya berusaha untuk memastikan, saya menjawabnya sendiri: "Bukankah saya menginginkan kesejahteraan negeri ini? Oh, malangnya kami.... anda, yang mungkin menganggap saya sebagai teman dan saudara dalam Tuhan, kini anda akan membunuh saya jika saya melakukan gerakan yang mencurigakan". Dan dengan berlinang air mata saya mengalihkan pikiran saya ke Tuhan, berdo'a dalam hati memohon pertolongannya untuk diri saya, untuk semua teman saya dan untuk orang-orang yang diperlakukan seperti kami. Saya begitu lelah dan jatuh kedalam dunia impian. Pagi-pagi sekali hari berikutnya, kami diperintahkan berjalan dalam barisan menuju Aileu.
Beberapa menit setelah kami memulai kembali perjalanan hari mulai hujan, pada mulanya sedikit. Namun setelah sekitar lima menit hujan mulai bertambah lebat dan tiba-tiba hujan lebat turun, kami kedinginan hingga tulang sumsum. Di alam terbuka tanpa payung dengan bentakan- bentakan untuk terus berjalan, sementara kami sudah hampir tidak bisa berjalan. Sebaliknya para penjaga kami memakai jas hujan dan hanya membawa senjata mereka. Berjalan mendaki bermil-mil, diperlemah karena lapar, perlakuan brutal dan memikul kotak-kotak amunisi, saya sendiri dan beberapa teman senasib lainnya berjalan terseok-seok, terpeleset kesana kemari. Segera setelah kami terjauh banyak yang berlari ke arah kami, memukul kami dengan popoer senjata dan menendang untuk memaksa kami berdiri dan terus berjalan. Dalam setiap pukulan popor senapan para penjaga membentak kami dengan mengatakan: "Bangun anjing. Apa ingin ditembak kepalamu?". Dengan segala upaya, kami masih bisa berdiri untuk menghindari pukulan lebih lanjut. Terhadap kebrutalan ini, mantan kepala pemetintahan sipil, Pak Mario Santa, yang sudah tua dan sakit-sakitan, tidak kuat melakukan itu, dan jatuh setiap meter dan dipukul setiap kali dia jatuh. Dia meminta binatang-binatang itu menghabisinya. Di suatu tempat tertentu dalam perjalanan kami tidak melihat lagi Pak Santa. Kami tidak pernah menjumpainya lagi. Belakangan, kami tahu bahwa teman kami yang malang tersebut ditembak mati oleh para penjaga Fretilin di suatu tempat sepanjang jalan Dili-Aileu.
Tanpa berhenti untuk istirahat dan terus berada di bawah guyuran hujan lebat, pukulan-pukulan popor senapan, pukulan-pukulan dan siksaan-siksaan bila kami memohon untuk beristirahat, membuat kami baru mencapai Aileu sekitar pukul 3 sore. Di sana, dalam formasi militer kami dimana kami melepaskan beban berat kontainer-kontainer "persenjataan". Dari sana kami kembali ke gudang-gudang ubi, yang berlokasi dekat bangunan pemerintah. Basah kuyub, kelelahan dan terhuyung-huyung kami menyeret kaki kami. Di kedua sisi jalan banyak orang sipil dan Fretilin bersenjata menonton iring-iring kami yang menyedihkan. Orang-orang berjiwa rendah ini berteriak kepada para penangkap kami ketika kami lewat, bunuh, bunuh anjing- anjing itu. Namun untunglah para penangkap kami tidak memenuhi permintaan publik tersebut, mungkin juga karena mereka lelah setelah perjalanan yang melelahkan. Dalam bangunan yang penuh sesak, kurang makan dan hanya diperbolehkan sekali sehari buang air besar. Kami mengambil kesempatan untuk menghilangkan rasa haus dengan minum air ledeng dekat toilet-toilet drum. Ini semua berlangsung hingga tanggal 9 Desember. Pada hari itu, pagi-pagi sekali penjaga penjara yang bertugas, Pedro Aquino, yang juga disebut Komandan, masuk ke penjara gudang dan dengan sombong dia berkata: "Semua tawanan dari Dili keluar untuk mencatatkan namanya di luar....", sambil tersenyum dia menambahkan "Kami akan mempermudah perjalanan anda dalam kapal hitam atau dalam sebuah pesawat tanpa sayap".
Istilah-istilah tersebut kami ketahui sebagai peringatan-peringatan tersembunyi bahwa kami akan dibunuh pada suatu saat oleh orang-orang Fretilin. Banyak diantara kami yang berasal dari Dili menjadi ketakutan, namun saya sendiri dan puluhan lainnya punya perasaan yang sama, kami siap menerima nasib apapun yang dilakukan oleh orang-orang primitif tersebut. Saya sendiri menganggap bahwa jika saya harus mati hari itu, itu akan menjadi akhir dari penderitaan-penderitaan saya.
Sebelum kami berangkat, kami titip pesan kepada teman-teman kami yang ada di belakang bahwa jika mereka selamat, tolong katakan kepada sanak keluarga kami tentang penderitaan kami dan juga katakan kepada mereka bahwa kami akan mati dengan mengingat Tuhan dan orang-orang yang kami cintai. Tanpa sikap gentar dan percaya bahwa segera kami akan bersama Tuhan, kami bisa menahan air mata kepedihan.
Di luar penjara kami berbaris hingga berjumlah total seratus sepuluh orang. Empat orang Fretilin mencatat nama kami dan elemen-elemen identitas lainnya dengan kelambatan yang disengaja, karena kami berada di bawah terik sinar matahari yang membakar. Orang-orang Fretilin menyelesaikan tugas mereka setelah dua jam lamanya. Tidak lama setelah diabsen, kami naik ke atas dua buah truk, yang dikawal oleh orang-orang Fretilin bersenjata. Kendaraan-kendaraan tersebut menempuh jalan menuju Maubisse. Sepanjang perjalanan kami kumat-kamit berdo'a, berharap dibunuh di suatu tempat dalam perjalanan tersebut, namun semakin dekat ke Maubisse kami percaya, itulah sebenarnya tujuan kami. Kami mencapai desa itu setelah tengah hari, dan sebagaimana di Aileu orang-orang Fretilin menggunakan gudang ubi sebagai penjara, dan di sini pintu gerbang dan jendela-jendela juga dicat hijau. Melihat kecerahan warnanya, nampak bahwa itu baru saja dicat.
Di Maubisse inilah kami bertemu saudara-saudara kami para tawanan dari beberapa bagian pulau ini. Dengan kedatangan kami isi penjara tersebut melebihi jumlah tiga ratus orang.
Kembali ke pernyataan-pernyataan Bapak Moniz Maia, yang tinggal di Aileu setelah keberangkatan Bapak Januario De Carvalho, kami mencatat berikut ini: "Pada hari yang sama, tanggal 9 Desember, ketika teman-teman kami dipisahkan untuk dibawa ke tempat yang tidak diketahui, apa yang kami temukan kemudian di Maubisse, orang-orang Fretilin semakin kesulitan. Kami melihat gerakan-gerakan luar biasa, karena ada spekulasi bahwa pasukan-pasukan kami berada dalam perjalanan ke Aileu. Orang-orang Fretilin beberapa kali sehari berkumpul dalam pertemuan- pertemuan dengan para pemimpin mereka, mulai tanggal di atas. Kami berharap pasukan-pasukan kami tiba secepat mungkin.
Kami masih mengharapkan kebebasan kami. Hari-hari berlalu dalam penjara. Disamping kebrutalan-kebrutalan biasanya, makananpun menjadi semakin sedikit dan terkadang mereka lupa memberi kami makan.
Pagi-pagi sekali pada tanggal 24 Desember, Pedro Aquino, saat itu, sebagai kepala penjaga penjara dan Komandan Milisia di Aileu, masuk ke penjara bersama dengan binatang-binatang bersenjata lainnya. Aquino dengan keangkuhan biasanya dan menyeringai seperti serigala, memerintahkan untuk memisahkan para pemimpin Apodeti, UDT, dan banyak simpatisan kedua partai tersebut lainnya. Dari kelompok yang dipisahkan tersebut, saya masih ingat nama-nama mereka: saudara Luiz dan Jose Oliveira, Luiz Queiroz Joao Assuncao, Joao Gusmao, Wakil Presiden Apodeti Bapak Hermenegildo Martins yang berumur sekitar tujuh puluh tahun, saudara Feliciano C. Tilman dan Delfin Tilman.
Kelompok yang dipisahkan berjumlah lebih dari seratus orang. Lepas tengah hari, beberapa orang Fretilin yang lebih moderat mengatakan kepada kami, bahwa teman-teman kami dipindahkan ke penjara-penjara militer di Aileu. Kami tidak percaya. Terhadap pertanyaan-pertanyaan kami tentang dimana beberapa pemimpin UDT seperti Bapak Cesar Mausinho, Senanes, Fernando Lue, dan Let.Kol. Masjiolo. para penjaga Fretilin tersebut mengangkat bahu mereka, mengatakan: "Mereka mungkin di suatu tempat di penjara-penjara militer".
Kenyataannya, kami tidak pernah bertemu mereka kembali, mudah untuk meyakini bahwa teman-teman kami yang malang tersebut sudah pergi untuk selamanya.
Potongan-potongan makanan sudah berlangsung selama berhari-hari sejak tanggal 27 Desember ketika kami mendapatkan perintah untuk keluar dari penjara dan berbaris. Untuk kelompok kami bersama Bapak Jose Fernando Osorio, yang ditahan di sebuah sel militer dan juga seorang tokoh Fretilin Antonio Mota, yang menyerah secara suka rela di Dili kepada pasukan gabungan kami pada tanggal 18 Desember. Dia menerima untuk membawa pesan yang menyerukan penyerahan Fretilin tanpa syarat, untuk menghindari pertumpahan darah. Pesan tersebut ditujukan kepada kepala faksi bersenjata Francisco Xavier Do Amaral.
Menurut beberapa penjaga Fretilin, Mota ditahan segera setelah tiba di Aileu, beberapa lainnya ingin membunuhnya, namun dia diselamatkan oleh Nicolau Lobato. Kendati demikian dia ditahan.
Kembali ke tanggal 27 Desember. Setelah dibariskan kami lebih dari tiga ratus orang, berbaris dua-dua membentuk suatu barisan besar menempuh jalan Aileu- Maubisse dengan belasan penjaga bersenjata berat. Di depan dan di belakang kendaraan-kendaraan ringan membawa para tokoh yang lebih penting.
Banyak diantara kami dipukul dan akhirnya setelah satu jam baru kami sampai di jalan raya. Cuaca begitu buruk. Awan-awan hitam menutup langit dan tidak lama setelah itu hujan lebat mengguyur kami. Siksaan baru harus kami terima dan dengan hanya menggunakan sobekan-sobekan kain dan kaki belanjang, kami harus berjalan. Hanya Tuhan yang tahu penderitaan kami. Beberapa orang mengatakan kami akan ke Maubisse, lainnya dengan gemetar ketakutan, mengatakan kami akan ditembak dalam perjalanan tersebut. Dalam kenyataannya berapa orang lanjut usia dan tawanan yang lemah yang tidak bisa menahan itu, ditembak. Untuk menghapuskan keraguan saya bertanya kepada seorang penjaga kita akan pergi ke mana: "Ke Maubisse" katanya.
Tersiksa oleh kebrutalan-kebrutalan, dengan tidak mengetahui kapan ini semua akan berakhir, tersiksa oleh ketidakpastian bagaimana dan dimana orang-orang yang kami kasihi berada, dengan hanya ditutupi sobekan-sobekan kain dalam guyuran hujan lebat, dalam hati saya hanya bertanya kapan ini semua berakhir. Hujan lebat terus berlangsung. Payung, jas hujan? Oh, tidak ada. Jalan, jalan, jalan. Bangsat-bangsat Fretilin, ya, mereka memakai jas hujan, atau tetap kering dan hangat dalam kabin-kabin mobil. Mereka bahkan tidak melihat pada kami.
Setelah lima mil pertama, kami biasanya mulai jatuh karena setidaknya kami sudah dua hari tidak makan. Salah seorang penjaga yang berjalan dekat saya berkata kepada saya ketika saya jatuh: "Apa kamu ingin menyusul Hermenegildo dan Magiollo?". Saya bertanya kepadanya dimana mereka berada, dan si penjaga menjawab: "Mereka semua sudah dihabisi".
Andai sebuah batu menghantam mulut saya, itu tidak akan lebih sakit dari kata-kata di atas. Semua mati. Semua mati, hanya karena mereka mencintai pulau kecil ini dan menentang Fretilin. Dan Letnan Kolonel Masjiolo dengan karier militer brilian, tidak tinggal diam membiarkan pulau ini begitu saja. Sebagai seorang anti-komunis, dia tampil untuk menghindari pulau ini dinodai kekuasaan komunis. Semua mati, mendahului kami. Hati saya mengatakan bahwa kami akan segera menyusul. Saya menangis.
Dengan pikiran menerawang pada teman-teman yang hilang, hujan, angin, lapar, semuanya akhirnya menjadi tak terasa, jalan, saya harus berjalan.
Kami sampai di kawasan Dai-Soli, hari masih hujan. Kami diperintahkan untuk berhenti. Kami dipisahkan dalam kelompok-kelompok kecil dan menyebar di suatu area kecil, yang dikelilingi oleh senjata-senjata otomatis G-3 biasa, yang dibawa oleh para penjaga Fretilin sebagai alat pembunuh bila ada gerakan kami yang mencurigakan. Siapa yang mengurus kehidupan? Dan Tuhan? Ya, keyakinan saya. Bila ada kehidupan, maka ada harapan. Kami menghabiskan malam di Dai-Soli.
Untuk mengingat, saya mulai dengan berceritera bahwa ketika Maia berada dalam perjalanan ke Maubisse, saya sudah ada di sana sejak tanggal 9 Desember, bersama dengan seratus sepuluh teman tawanan yang diangkut dua truk dari Aileu.
Ketika kami bergabung dengan teman-teman tersebut, kami jadi tahu bahwa kami hanya akan mendapatkan makan satu kali sehari dan sering terjadi satu kali setiap dua hari. Sialnya, ketika kami tidak, kami tidak diberi makan sehingga hari berikutnya kami kelaparan.
Hari berikutnya, selepas tengah hari, kami mendengar keriuhan -- orang-orang Fretilin tidak akan melakukan sesuai tanpa keriuhan seperti pasar -- para penjaga penjara kami membuka pintu-pintu gerbang untuk memungkinkan kami mendapatkan makanan kotor, bau hari itu.
Dengan menyerupai serangan lebah, teman-teman kami yang ada di sana sebelum kami, melepas baju-baju mereka melompat ke arah pintu gerbang. Mendorong, menendang dll. Orang-orang baru seperti saya, pertama kali tidak tahu apa yang mereka lakukan. Kemudian kami tahu bahwa baju-baju itu mereka gunakan untuk membawa ubi-ubi rebus yang dibagikan. Kata "cepat-cepat" adalah tanda bahwa yang berada di belakang tidak akan kebagian jatah makan hari itu. Kami melakukan hal yang sama. Berlari. Melepas baju. Mendorong, memukul. Orang-orang Fretilin menikmati pemandangan tersebut. Kelaparan. Akankah itu cukup untuk semua orang? Haruskah saya mengambilnya? Ya, lapar membuat kami egois. Orang-orang Fretilin tertawa-tawa sinis. Ubi- ubi rebus panas yang baru diangkat. Sadis. Mereka menanyai kami: "Apakah anda mau membawanya dengan tangan? Kami akan memberimu lebih banyak". Ubi masih panas sekali, tak seorang pun tahan memegangnya. Dua atau tiga potong ubi rebus untuk jatah satu orang setiap hari. Besok kami makan atau tidak, bukan masalah. Sekarang kami sudah mendapatkannya. Besok tidak usah dipikirkan, lihat saja besok. Dengan cepat tiga potong ubi hilang dari tenggorokan. Masih ada lainnya? Tidak, tidak ada lagi yang lain.
Setelah makan, pintu ditutup. Dengan duduk bersandar dinding, kami melihat sekeliling. Seorang teman atau lainnya akan menceriterakan suatu kisah lucu. Kemudian hening, saya melihat sekeliling. Apa yang saya lihat dalam mereka, mereka tentu saja juga akan melihat dalam diri saya. Apa yang nampak, hanyalah tulang berbungkus kulit. Kerangka-kerangka. Luka-luka karena cambuk dan popor senapan itulah yang terlihat paling jelas pada tubuh kami.
Terkadang kesunyian dipecahkan oleh suara sayup- sayup, kemudian menghilang. Kemudian seseorang mulai berdo'a dan lainnya ikut memohon pertolongan kepada Tuhan atas kemalangan kami.
Hampir selalu setelah kami berdo'a, kami diserbu para penjaga, dengan cambuk-cambuk di tangan mereka berkata, kamu dan kamu, dan kamu ke sini. Memukul mereka sampai puas. Kemudian sekali lagi, kamu, kamu, dan kamu. Kebrutalan tersebut akan berlangsung berjam-jam hingga malam hari, sampai orang-orang Fretilin lelah menghajar kami. Banyak teman saya mati selama masa-masa brutal ini. Mereka dibawa pergi dalam keadaan pingsan, dan mereka tidak pernah kembali lagi. Bahkan sekarang pun saya masih sering terngiang di telinga saya suara: "Kamu, kamu, dan kamu, ke sini".
Segera setelah mereka pergi kami akan mendengar nyanyian-nyanyian, dan tepuk tangan ketika orang-orang minum-minum hingga mabuk. Kami tidak tidur malam itu. Kami yakin mereka akan kembali, dan kami yakin salah satu dari kami akan mati bila mereka kembali. Kali ini mereka akan membawa obor dan biasanya mereka akan memilih orang yang lebih tegap, dan kebrutalan akan berlangsung lama, hingga orang tersebut akhirnya jatuh bergelimang darah dan dibawa ke luar. Jika mereka hanya setengah mabuk, mereka akan membawa seorang lagi. "Kamu, anjing keparat ... kamu ingin merasakan ini, bukan? Ayo, jawab, kamu merasa orang suci seperti malaikat? Kamu akan segera menyusul mereka. Kamu ingin dipukul?" Dicambuk? Jeritan-jeritan. Tawa gemuruh dari para eksekutor. Lihat anjing ini tersungkur. Cambuk lagi. Kini hanya bisikan. "Anda ingin menghabisi dia...?" Lain-lainnya memberi semangat. "Pukul dia, habisi dia". "Ya, begitu"..., dan korban pun jatuh tersungkur, merintih kesakitan, membuka dan menutup mulutnya, minta air, namun air tidak pernah muncul, dan dia dibawa pergi. Dalam keheningan kami berdo'a untuk arwahnya. Orang-orang pertama yang dipukul biasanya akan menambah jumlah kematian. Orang-orang terakhir, biasanya lolos dari kematian brutal.
Diantara semua masa brutal ini, yang paling mengerikan tepatnya pada hari Natal. Pada tanggal 25 Desember, setelah nyanyian biasanya, sekelompok orang Fretilin yang dipimpin oleh komandan penjaga -- Domingos Pareira -- Salah seorang yang paling keji.... memasuki penjara. Dia mabuk, matanya merah. Para tawanan Apodeti diperintahkan Pereira berkumpul di sudut. Satu demi satu dipukuli secara brutal. Bila mereka jatuh, mereka ditendang. Salah seorang yang disiksa, adalah Luiz dos Reis Araujo, kemenakan Bapak Arnaldo dos Reis Araujo. Terhadap teman yang malang ini, Domingos Pereira dan kelompoknya memperlakukan dia dengan begitu kejam, hanya nampak makhluk merah, bermandikan darah. Darah mengucur dari kepala, telinga, mulut dan punggung, saya tidak dapat mengenali bekas-bekas cambuk lagi. Segera setelah dia kehilangan kesadaran, kelompok itu mengguyurnya dengan air untuk menyadarkannya kembali. Itu terjadi beberapa kali, hingga air menjadi tak berguna lagi untuk menyadarkannya. Sebagai akibat kebrutalan ini, Luiz mati beberapa hari kemudian di Ainaro. Jasadnya dikebumikan di daerah Mano- Tali.
Saat-saat terakhirnya, terjadi karena orang-orang Fretilin sial itu ingin menyaksikan kematiannya secar sadis. Namun bagian ini akan saya ceriterakan kemudian.
Saya tidak akan pernah melupakan tanggal 25 Desember, hari Natal. Dengan Luiz dalam keadaan koma, dan banyak diantara kami diperlakukan secara brutal di hari kelahiran Juru Selamat kami, suatu hari bahagia digantikan oleh perlakuan brutal orang-orang Fretilin untuk mengirim kami ke alam sana.
Hari berikutnya, 26 Desember 1976, sekitar tengah malam, Domingos Pereira dan kelompoknya muncul kembali dalam penjara. Dengan berdebar ketakutan kami menunggu apa yang akan terjadi. Apakah kami akan dijadikan subyek terhadap kebrutalan-kebrutalan baru? Tidak, Domingos Pereira kali ini meskipun dia membawa cambuk biasanya, memanggil beberapa tawanan. Mereka adalah berikut ini: seorang Cina, saya tidak ingat namanya, Amadeu Coelho Eropa, Mayor Lourenso da Silva dari Same, Cosme, Januario Cabral, Joaquim E. Santo dan Domingos Sequetra, semuanya dari Dili.
Setelah dikumpulkan mereka dibawa pergi. Kami tidak pernah menjumpai mereka kembali sesudah itu. Melalui pertanyaan-pertanyaan berhati-hati kepada para penjaga Fretilin yang lebih moderat tentang tempat-tujuan kelompok tadi mereka hanya akan menjawab: "Jangan khawatir, anda tidak akan menjumpai mereka lagi".
Pada tanggal 27 Desember Domingos dan kelompoknya muncul kembali, suatu kunjungan yang sangat tidak diharapkan. Kekhawatiran baru muncul.
Setelah melihat sekeliling, Domingos Pereira memerintahkan pemisahan semua orang Eropa dan Mestizo. Jumlah teman-teman kami tersebut sekitar enam puluh orang. Diantara mereka yang masih saya ingat adalah Lino Pereira alias Lino Cowboy; Lucio Enlarnacao, Antonio dos Santos Faisca dan anaknya Jose Antonio, Joel Quim; mantan Kopral Mario, dan Jorge, Henrique Simoes dan saudara-saudara serta sepupunya, Luiz Queiroz, Fialho mantan-Manajer Baucau motel, Duarte, Sebasteao, Tavares, Henrique Faria, Almeida yang dikenal sebagai Bohemian (orang berkehidupan bebas seperti seniman), Jaime Pereira mantan Pemimpin Sipil, Rui dan Francisco Goncalvez anak-anak Ny. Carolina Goncalvez, Antonio Lemos dan dua saudaranya Alexandre, Hegas, dan masih menantunya, Antonio Aniceto, Jaime Aniceto, saudara-saudara Oliveira, Canelas, saudara ipar Afonso Redentor boneka Fretilin.
Beberapa minggu kemudian teman-teman ini bergabung kembali dengan kami. Sehingga kami tahu, bahwa Fretilin menaikkan mereka dalam dua truk ke Aileu, namun mereka tidak sampai Aileu, karena di tengah jalan mereka bertemu orang-orang Fretilin lainnya yang mundur karena desakan pasukan-pasukan gabungan yang mulai memasuki kota tersebut.
Pada tanggal 27 Desember 1975 dan setelah mendapatkan laporan Bapak Moniz Maia, ketika dia dan para koleganya menghabiskan malam di Dai-Soli, kita kembali ke penyiksaannya untuk memungkinkan suatu pemahaman yang lebih baik tentang laporan ini.
Kami menghabiskan malam tanggal 27 Desember di Dai- Soli. Kami disebar dalam kelompok-kelompok yang dikelilingi oleh para penjaga bersenjata. Kelelahan dan kelaparan yang menyiksa meningkatkan kelemahan fisik kami. Dalam keadaan seperti ini kami tidak bisa mengacuhkan dimana kami harus tidur. Kami berbaring seperti kerbau di kubangan, namun tertidur juga.
Segera setelah keadaan terang kami dibariskan kembali. Dengan berjalan beberapa ratus meter kami sampai ke sebuah ladang jagung, dan pohon-pohon mangga di sisi jalan. Nampak seperti mimpi. Banyak diantara kami berlari seperti orang gila mengambili jagung dan mangga. Lapar. Dengan segera para penjaga menembak ke udara, sementara lain-lainnya memaksa teman-teman kami yang sudah mengambil jagung dan mangga untuk meninggalkannya, dan dengan tendangan dan pukulan para penjaga membuat teman-teman kami kembali ke barisan. Ketika kami berdiri, para penjaga mulai mengambilinya, sementara lain-lainnya memukuli teman-teman kami, dengan memperlihatkan kebrutalan mereka. Ketika hari mulai hujan para penjaga berhenti mengambili jagung dan mangga, dan kembali memulai lagi perjalanan dengan semua penjaga makan mangga, sementara kami, tahanan, kelaparan, hanya menelan air ludah.
Tanpa kejadian berarti lainnya kami sampai di kota Maubisse sekitar pukul 2 sore, setelah perjalanan panjang 30 km, sebagian besar diguyur hujan.
Di Maubisse para penjaga menggiring kami ke gudang ubi, seperti di Aileu, yang juga berfungsi sebagai penjara di Maubisse. Kami dibariskan di depan pintu gerbang dan dihitung. Penghitungan dan pendaftaran nama-nama kami menghabiskan waktu hampir dua jam, kemudian kami bergabung dengan para tahanan yang sudah ada di sana. Dengan tambahan kami, jumlah penghuni penjara Maubisse menjadi lima ratus orang. Karena area gudang yang sempit, kami dijejalkan seperti ikan sarden dalam kaleng, tidak ada ruang untuk bergerak. Pada hari itu kami tidak makan apa- apa. Bau keringat sangat menyengat, karena kami tidak diperbolehkan mandi ataupun mencuci pakaian.
Pintu gerbang tetap tertutup hingga hari berikutnya. Hari itu kami isi dengan beberapa item pembicaraan. Kadang-kadang suatu kelompok berdo'a, dan kemudian semuanya ikut bergabung. Setelah itu terkadang ada yang berceritera lucu dan banyak yang tertawa. Ada kalanya hening sama sekali, saat-saat kami mengingat keindahan dan kegetiran hidup kami. Saya katakan demikian karena saya yakin semuanya akan berpikir seperti saya. Terisolir, dipaksa menyerah oleh situasi, tidak ada harapan untuk
selamat. Terhadap keadaan ini, kami hanya memikirkan jiwa kami, mengingat semua hal yang manis dan pahit dala kehidupan kami, mungkin kami tidak akan pernah berjumpa lagi. Terkadang, tanpa sadar kapan datangnya, tiba-tiba seorang teman sudah ada di samping saya. Dengan mata menerawang, bibir gemetaran. Berdo'a, mengutuk? Entahlah. Apa sebenarnya yang terjadi terhadap teman-teman saya yang sudah tidak di sini? Kata seorang yang berdo'a lainnya bertanya kepada Tuhan. Sementara lainnya lebih optimis, dengan mata bersinar, dan penuh keyakinan mereka mengatakan: "Jangan khawatir teman-teman, kita akan keluar dari ini semua, anda akan lihat". Ada juga yang kurang optimis, mereka siap mati untuk menyelamatkan orang lain dan orang-orang ini akan berciritera kepada sanak keluarga mereka mengenai penderitaan mereka. Bagaimanapun juga, kita akan mati dalam Tuhan dan menunggu orang-orang yang kita cintai di sorga.
Hari berikutnya, tanggal 29 Desember 1975, jam 8 pagi, pintu-pintu gerbang dibuka, kami dikeluarkan dan digiring ke barak militer, dimana kami menunggu hampir satu jam. Akhirnya, Nicolay Lobato muncul, diiringi oleh sekelompok besar orang-orang bersenjata, disamping para kolaborator dekatnya, Helio Pina, Cesar Mau-Laka, Carvarino, Guido Soares, Velente, semuanya menghabiskan malam itu di sini di Maubisse.
Nicolau sebagai pimpinan kelompok, dengan suara lantang berkata: "Saya mendapatkan berita, ada di sini, anjing-anjing yang tidak mau membawa kotak-kotak amunisi kami,.... Terhadap anjing-anjing ini dan lainnya yang tidak mau bekerjasama, akan segera saya berikan "hadiah- hadiah" untuk mereka. Setelah itu, beberapa senapan mereka mengarah ke kami. Nicolau berkata lebih lanjut: "Kepada semua anjing yang menolak terhadap apa yang kami perintahkan, saya siapkan mereka untuk eksekusi dengan segera.... bagaimana? Apakah kamu lebih suka mati hari ini di tempat yang sama atau membawa kotak-kotak kami?"
Dengan gemetar kami semua berkata ya. Meskipun kami tahu tujuan kami sudah dekat, namun kami berusaha untuk menyelamatkan diri saat itu.
Puas atas hasil ancaman-ancamannya, Nicolau memerintahkan untuk membawa kami ke kotak-kotak tersebut, dan masing-masing orang menerima satu kotak yang beratnya sekitar 62 lb, yang dalam keadaan-keadaan normal tidak akan begitu berat membawanya. Namun setelah beberapa minggu kekurangan makan dan diperlakukan secara brutal, seseorang mungkin merasa seperti memikul bumi di atas bahunya. Kotak-kotak neraka tersebut dibawa dari Dili dan Aileu oleh teman-teman kami yang ditawan di sana.
Setelah sesaat menunggu, tanpa diberi makan, kami diperintahkan untuk berbaris ke Same. Tak lama setelah kami berjalan hujan lebat pun turun sepanjang perjalanan ke Alto-Fiecha, suatu tempat 20 mil dari Maubisse. Kotak- kotak yang semakin berat karena basah, jalan licin dan berlumpur, perut kosong, bentakan-bentakan Fretilin agar terus berjalan... tidak boleh berhenti.... membuat penderitaan kami tak terkatakan, lengkap sudah. Kemudian kami diambil alih oleh kendaraan-kendaraan ringan yang membawa Lobato, Carvarino, Cesar Mau-laka dan lain-lainnya. Setelah beberapa mil mulailah suatu drama baru.
Banyak teman kami mulai jatuh dan mendapatkan pukulan hingga mereka bangun. "Jalan" bentak para penjaga kami. Lainnya lagi jatuh. "Jalan anjing"! 29 Desember yang hitam. Dihukum dengan beban berat, tersiksa oleh hujan dan perlakuan buruk, lemah karena perut kosong, oh Tuhan, kami hanya mendengar: "Jalan bangsat!, anjing yang berhenti akan ditembak kepalanya.... jalan terus....!".
Diantara kami, orang yang paling tersiksa tentu saja John Damas. Teman kami yang malang ini jatuh beberapa kali dan disiksa oleh Fretilin. Ketahanan John Damas tidak begitu lama.
Pada suatu saat dalam perjalanan itu hujan turun bagai dicurahkan dari langit, jalan seperti sungai, John Damas sekali lagi jatuh. Saat itu dia jatuh lurus ke depan seperti disambar petir. Kepalanya terhunjam dalam air dan tidak bergerak lagi. Beberapa penjaga mengelilingi dan memukulnya. Salah seorang dari mereka membalikkan kepalanya. Air hampir menutupi seluruh wajahnya. Pemukulan terus berlanjut, namun John tetap diam. Bangsat-bangsat Fretilin terus memukul dan menendangnya. Kemudian salah seorang mengarahkan senapan kepadanya. "Satu tembakan akan menghabisinya", saya kira. Pada moment yang tepat, meskipun, dia seperti dihidupkan oleh kekuatan misterius, dia mulai bangkit. Event tersebut terjadi tepat di samping saya. Perlahan John berdiri. Dengan melihat keadaannya, memberikan kesan seolah-olah dia baru saja tiba di sini. Tembakan tidak terjadi, John diselamatkan. Dia ikut melanjutkan perjalanan.
Meskipun kami ingin membantu John, namun kami tidak bisa, karena kami memikul beban. Kami sampai di Alto- Flecha pada pukul 4 sore. Kami berjalan 10 km menghabiskan waktu 6 jam. Dengan melihat waktu yang dihabiskan saja dalam jarak dekat anda dapat membayangkan beratnya perjalanan kami. Namun sebelum berlanjut saya ingin menceriterakan episode berikut. Sekitar satu mil sebelum Alto-Flecha, Canelas Eropa dan Francisco Oliveira, seorang Mestizo, mendapatkan kesempatan untuk lari di suatu tikungan dan tidak dilihat para penjaga. Mereka cepat menyelinap ke sisi jalan dan menghilang masuk hutan. Para penjaga pertama kali tidak mengetahuinya. Manuel Oliveira, saudara Francisco yang melihat mereka lari, mendekati sisi jalan dan melompat, namun dia terlalu lamban, sehingga seorang penjaga menanyainya dengan curiga apa yang dia lakukan. "Saya kencing" jawab Manuel.
Kami tidak tahu apakah mereka selamat setelah pelarian tersebut, namun hingga kini kami tidak mengetahui sesuatu tentang mereka.
Kami diperintahkan berhenti ketika sampai Alto-Flecha. Kami menurunkan semua kotak amunisi di satu tempat, yang ditunjukkan oleh para penjaga bersenjata. Bebas dari beban berat tersebut, lelah luar biasa, dengan menahan lapar, kami duduk berkelilingdalam kelompok- kelompok, yang dikelilingi oleh para penjaga. Meskipun para penjaga Fretilin mungkin sedang menunggu para bos mereka, namun kami tidak bisa berbaring di tanah basah, akhirnya kami hanya beristirahat sambil duduk jongkok.
Setelah hampir satu jam para penjaga kami memerintahkan untuk bangun dan berbaris, kemudian memulai perjalanan tanpa kotak-kotak berat yang sangat menyiksa. Beberapa penjaga mengatakan amunisi-amunisi akan tetap di sana untuk mensuplai Fretilin dalam bertahan melawan pasukan-pasukan kami yang terus mendesak. Sekitar pukul 8 pagi, kami sampai di sebuah desa kecil (suatu kelompok empat atau lima gubuk bambu dan beratap ilalang) yang disebut "Laqui-Bau-Ulo" dan ditampung di sebuah S.D. (sekolah dasar). Malam itu kami masing-masing mendapatkan dua potong ubi jalar untuk sekedar mengisi perut yang kosong. Dua potong ubi jalar yang sangat berarti tersebut dengan cepat menghilang dalam tenggorokan sebelum kami menyadarinya. Kemudian perut terasa melilit kesakitan meminta tambahan makanan, namun dimana akan memperoleh makanan lagi. Rasa sakit menjadi tak tertahankan ketika ter cium bau harum daging panggang. Oh, Tuhan, berikan pada kami tulang belulangnya saja....
Sekali-sekali kami mendengar suara terompet, karena Fretilin memberikan pesan purbakala untuk mengumpulkan penduduk di sana. Kehadiran penduduk tidak berlangsung lama. Meskipun kami terkunci dalam sekolah namun kami mendengar suara-suara di luar. Pertama kami mendengar suara riuh rendah dari suatu kelompok besar, kemudian teriakan-teriakan seseorang. Kemudian, suara yang sama memulai suatu pidato untuk menghasut penduduk, dengan mengatakan kepada mereka bahwa di dalam sekolah itu ada penghianat-penghianat, musuh-musuh rakyat, dimana penduduk harus mengawasi mereka dan jangan beri ampun bagi siapa saja yang berusaha keluar. Pagi berikutnya, tanggal 12 Desember 1975, pintu-pintu dibuka dan kami keluar. Karena di bawah guyuran hujan dan perintah-perintah untuk terus berjalan, kami mengira bahwa kami kembali ke Alto-Flecha untuk mengambil kotak-kotak, rupanya kami bahkan ke Same. Dengan demikian mengkonfirmasikan bahwa Fretilin ingin menahan pasukan-pasukan kami yang terus maju diAlto- Flecha. Disamping guyuran hujan berkesinambungan, tidak ada hal khusus yang terjadi hingga Same, dimana kami tiba senja hari. Perjalanan tersebut ringan. Sekalipun demikian, kami sudah kehabisan tenaga, saya tidak mengatakan kelaparan karena ini hal biasa sejak kami berada dalam cengkeraman Fretilin.
Di kota Same, hujan masih berlanjut, kami dibariskan di depan gedung pasar. Banyak orang sipil, beberapa diantaranya sanak keluarga kami, berusaha untuk mendekati kami, namun dihalau oleh para penjaga kejam dan harus darah, binatang bertubuh manusia. Kepedihan baru. Betapa
pedihnya banyak diantara kami mendengar panggilan orang- orang yang kami cintai tanpa bisa menjawab. Mereka menjerit dan meneriakkan nama-nama orang yang mereka cintai, yang mereka kenali hanya melalui sosoknya, karena tinggal tulang dibungkus kulit, lama kelaparan dan perlakuan brutal di penjara-penjara. Kami hanya bisa diam, namun hati kami menangis. Yang terisak segera dipukul. Setelah lama berhenti, mungkin disebabkan oleh suatu pertemuan Fretilin untuk mencari pemecahan mengenai kami, kami dibagi menjadi dua kelompok besar, yang satu ditempatkan di S.D. disamping Motel, dan kelompok lainnya ditempatkan di S.D. dalam area pasar. Dalam pada itu, sudah ada para tawanan dalam sekolah dekat Motel. Untuk selanjutnya, kami akan menyebut kedua penjara sekolah tersebut sebagai "Motel" dan "Pasar".
Berikut ini laporan Bapak Maia:
Saya ditampung di "Mercado - Pasar" pada tanggal 30 Desember '75 dengan teman-teman saya. Sekitar pukul 10 malam, sekelompok Fretilin bersenjata masuk kedalam penjara tersebut dan memanggil dua orang mestizo bersaudara, Aquedo dan Maucuro, yang juga merupakan saudara-saudara seorang tokoh Fretilin Juvenal Inalio, seorang mantan pemain sepak-bola. Dua bersaudara tersebut keluar dan tidak pernah kembali lagi.
Hari berikutnya, pagi-pagi sekali, kami keheranan, muncul banyak orang-orang sipil yang membawa keranjang- keranjang makanan dan botol kopi. Makanan yang dibawa oleh teman-teman kami tersebut merupakan kebahagiaan yang tak terkira. Tidak pernah saya bayangkan. Akhirnya kami bisa makan, yang memberi kami kekuatan dan membebaskan kami dari keadaan setengah mati. Kemudian kami tahu, bahwa setelah membayar uang sogok kepada para tokoh Fretilin lokal, dan kepada para penjaga, teman-teman kami boleh membawakan kami makanan. Pada saat kami makan, teman-teman kami dan beberapa sanak keluarga bercerita kepada kami bahwa banyak orang melihat beberapa mayat di pinggir sungai, yang dibunuh dengan pisau atau panah. Berdasar deskripsi mayat-mayat tersebut kami bisa yakin bahwa mayat Aguedo dan Mau-Curo berada diantara mayat-mayat tersebut, karena kedua teman kami tersebut berkulit-bersih. Teman- teman kami menambahkan bahwa mayat-mayat tersebut memperlihatkan luka-luka parah di leher, dada, perutnya sobek, dan usus terhampar di sampingnya. Inilah akhir kebrutalan terhadap teman-teman kami yang malang, hati kami menjerit dan berdo'a kepada Tuhan untuk arwah mereka. Melalui teman-teman kami juga tahu bahwa pastor (priest) lokal, Bapak Raphael sedang berupaya untuk memperoleh bahan makanan dan yang diperlukan lainnya dari komunitas Katholik untuk meringankan penderitaan kami. Dalam usaha- usaha untuk membantu kami, dia mendapatkan tantangan keras dari Fretilin, namun dia tidak menyerah. Dia menyerahkan dirinya kepada boneka-boneka Fretilin, dengan mengatakan bahwa dia adalah Utusan Tuhan dan hanya Dia, yang dipatuhinya. Bahkan dengan sikap negatif Fretilin dia melakukan segala sesuatu untuk memberi kami makanan dan dukungan moral. Dalam peristiwa-peristiwa tersebut Bapak Raphael menyatakan sebagai seorang pastor dia bisa memihak pada salah satu partai, karena semua manusia adalah anak Tuhan dan dengan demikian membutuhkan bantuan. Dengan kata-kata yang adil dan benar ini dia mendapatkan kompensasi tahanan rumah dan bila saja dia ingin melakukan sesuatu atau pergi ke suatu tempat, dia harus meminta ijin dari Komandan Militer, yang pada gilirannya akan memerintahkan seorang penjaga bersenjata untuk mengawasinya. Sekalipun demikian, Bapak Raphael tidak pernah tinggal diam, dia terus meminta penduduk untuk membantu kami, dialah yang pertama memberikan perbekalannya kepada kami. Saya sangat hormat kepada pastor yang baik ini, meskipun saya tidak pernah kehilangan keyakinan saya, contoh yang diberikannya merupakan suatu konfirmasi bahwa tidak ada yang perlu ditakuti oleh orang yang bersama Tuhan.
Karena kami diminta untuk mengkoordinasikan laporan kami dan sebagaimana teman saya Januario De Carvaiho yang ditahan di "motel", maka saya persilahkan dia untuk melanjutkan laporannya.
Di tengah malam tanggal 12 Desember 1975, sekelompok Fretilin bersenjata memasuki penjara dan setelah suatu pengecekan lama, seorang yang nampak sebagai pimpinan Henrique Faria (Eropa), dan seorang pemuda Timor, yang sekarang ini saya tidak ingat namanya. Dengan berjalan di tengah-tengah kelompok tersebut, tiga teman kami yang malang keluar dan tidak pernah kembali lagi. Hari berikutnya, ketika beberapa penduduk sipil membawakan kami makanan, kami mengetahui akhir menyedihkan dari teman-teman kami yang malang. Mayat-mayat mereka yang penuh bekas tikaman ditemukan di pinggir sungai dengan perut- perut tersobek. Jadi, sesuai dengan laporan Bapak Moniz Maia tentang akhir menyedihkan dari teman-teman kami, Aguedo dan Mau-Curo, malam itu Fretilin membunuh lima orang pemuda dengan cara primitif, tanpa belas kasihan.
Kini Bapak Moniz Maia akan melanjutkan pernyataan- pernyataannya.
Di sekolah - penjara (pasar), tidak ada sesuatu yang istimewa terjadi kecuali pembagian makanan untuk pertama kali sejak kami berada di sana, tanggal 3 Januari 1976. Hari itu para penjaga kami membawa sebuah drum dengan nasi lembek, tanpa sayur atau pun lauk pauk lainnya.
Karena kami tidak memiliki piring atau sendok -- orang-orang yang memilikinya, yang diberi sanak keluarga mereka ketika di Same, harus menghabiskan jatahnya dengan cepat dan segera memberikannya kepada orang lain, jangan sampai terlambat sedikit pun karena para penjaga akan marah dan menghentikan pembagian tersebut. Pemberian makanan berlangsung beberapa hari, walaupun hanya sekali sehari. Yang sedikit membantu adalah sanak keluarga dan teman-teman kami yang sering membawakan makanan. Kuantitasnya memang tidak cukup untuk mengenyangkan perut kami, namun kami sangat berterima kasih atas sumbangan mereka yang sangat berarti, karena kami juga tahu bahwa penduduk sipil juga sangat sulit untuk mendapatkan makanan, itu sudah merupakan bantuan yang besar.
Pada tanggal 5 Januari 1976 pukul 2 sore, kami kedatangan orang-orang Fretilin yang baru, dengan pandangan sinis. Kali ini disamping para penjaga bersenjata biasanya, muncul juga para tokoh, anggota- anggota Komite Sentral Fretilin: Cesar Mau-Laka, Juvenal Inacio, keduanya dari Dili; Antonio Sepeda, Adriano Corte- Real, Victor Da Costa, Pedro Corte-Real dan Domingos Pinheiro, semuanya dari Same.
Dengan mata-mata merah harus darah, mulut tertutup mencibir sinis penuh kebencian, boneka-boneka ini dengan membusungkan dada berjalan dari satu ujung ke ujung lainnya, mengindikasi para tawanan yang akan dipisahkan. Para tawanan dibawa seperti sapi oleh para penjagal, saya juga termasuk. Kami berjumlah sekitar enam puluh orang, yang meliputi para tokoh terkemuka dan militan Apodeti dan U.D.T.; saya tidak ingat nama mereka satu per satu, namun saya masih ingat nama-nama Jose F. Osorio Soares (Sekretaris Jenderal Apodeti); Arlindo Osorio, Domingos Osorio; mereka semua adalah saudara kandung dan sepupu, Mario Zuarez, Peter Mui, pemilik Bistro Pearl di Orien Bucau, Guilhermino Da Silva, Mateus Araujo, Said Musah, Tony Alon, Lino Cow-Boy, Alfredo Issac dan anaknya Manuel dan Antonio Simoes, Francisco Simoes, Luiz Simoes, Adelino Simoes dan Henrique Simoes, semuanya bersaudara.
Setelah berbaris di luar, para penjaga menggiring kami ke sel-sel sekuriti Marimusa di penjara kota. Dalam pada itu, para tawanan yang diklasifikasikan oleh Fretilin sebagai berbahaya ditransfer dari "pasar" ke "motel".
Kami dijejalkan dalam sel-sel rahasia yang daya tampungnya sebenarnya tidak layak bahkan untuk menampung sepertiga dari kelompok kami sebanyak 60 orang. Namun bagi Fretilin itu bukanlah masalah. Kami harus bertahan dalam keadaan penuh sesak dan berjejal. Tepatnya ukuran sel tersebut adalah 2 x 3 m, dan dua lainnya bahkan lebih kecil. Sel-sel ini memiliki koridor sempit dengan sebuah pintu kecil untuk keluar. Tanpa sistem ventilasi dan jendela, panasnya bukan main, disamping juga bau yang menyengat karena kami juga harus kencing di lantai sel.
Untuk meringankan keadaan kami berusaha melupakan penderitaan kami, kami bercerita lucu-lucu dan ngobrol kosong tanpa arti. Bila kami kehabisan kisah-kisah lucu, kami berdo'a kepada Tuhan dan menyanyikan nyanyian- nyanyian religius. Bersama dalam sel-sel sempit, bersama dalam berdo'a dan kelaparan serta perlakuan buruk, kami merasa dekat lebih dari saudara kandung.
Beberapa kali kami diganggu oleh para penjaga, yang akan menyerang masuk ke dalam sel-sel, memukul kami, mencari maki dan berkata: "Hentikan semua ini anjing....! Kamu kira dengan do'a-do'a Chico Lopez dan kelompoknya akan semakin kuat? Kamu sudah tahu bahwa Maubere tidak takut.... Biarkan anjing-anjing itu datang dan mereka akan lihat apa yang akan mereka dapatkan". Lain-lainnya tetap diam, hanya mengawasi dan tertawa terbahak-bahak bersama teman-teman mereka. Ketika itu terjadi kami akan berhenti, mulai lagi setelah para penjaga meninggalkan kami.
Memang aneh. Ketika selesai berdo'a saya merasa lebih tenang. Kalau sebelumnya hari saya merasa khawatir dan takur terhadap apa yang akan terjadi pada saya, itu akan hilang setelah berdo'a, bahkan saya menjadi senang, ya senang. Karena saya merasakan ada suatu kekuatan dalam diri saya yang sampai sekarang tidak bisa saya jelaskan.
Dalam sel-sel rahasia tersebut kami hanya diberi makan sedikit dalam sehari, nasi kotor. Untuk buang air besar, disediakan sebuah drum di koridor, yang isinya harus kami buang bila sudah penuh dengan menggali lubang untuk menguburkannya.
Dari permulaan hingga tanggal 27 Januari para penjaga Fretilin tidak memperlakukan kami dengan buruk, kecuali hanya mengganggu kami dalam berdo'a dan mengancam yang membuat kami gemetaran.
Hari itu Fretilin mendengar berita bahwa pasukan gabungan sudah sampai Betano, mereka sibuk untuk membawa kami pergi, untuk menghindari penyelamatan kami oleh pasukan gabungan. Kami sekali lagi dipindahkan ke Hola- Rua. Tawanan lain yang ditahan di "Pasar" juga dipindah ke Bitite dimana pembunuhan Bapak Mateus Ferreira yang terbunuh memiliki perkebunan kopinya, yang mati di Dili dalam bulan September '75, karena kebrutalan-kebrutalan yang dideritanya dari para penjaga Fretilin. Bapak Ferreira, sejak penahanannya di suatu tempat di bagian timur pulau tersebut, menjadi korban kebengisan dengan intensitas sedemikian rupa sehingga wajahnya tidak dapat dikenali lagi. Dia mati segera setelah sampai di Dili.
Baiklah, kita kembali ke Hola-Rua....
Di Hola-Rua kami ditahan di rumah Mayor Lourenso, dia sendiri seorang tawanan. Satu jam kemudian para tawanan yang diklasifikasikan berbahaya tiba dari "Motel", ditahan bersama kami. Karena mayoritas dari kami adalah anggota aktif Apodeti dan U.D.T. sejak saat itu kami yakin bahwa ini akan menjadi tempat terakhir bagi kami sebagai tawanan yang masih hidup. Kematian sedang menunggu kami. Sebagai suatu catatan, saya ingin menyebutkan kelompok yang menggiring kami ke Hola-Rua, dikomandani oleh Cesar-Mau- Laka yang terkenal bengis, Adriano corte-Real, Domingos Pinheiro, Joaquim Pinheiro dan Pedro Corte-Real. Setelah satu jam di dalam rumah tersebut, beberapa penjaga dengan tujuan menakut-takuti kami mengatakan, penduduk sipil sudah datang secara sukarela (saya ragukannya) untuk memperkuat pengawasan sekitar rumah dimana kami berada. Salah seorang penjaga sebelum pergi memperingatkan: "Jika kamu ingin menggali lubang, katakan pada kami sehingga kamu menggali lubangmu sendiri.... sebelum kamu mati".
Setelah dia menutup pintu, kami berpandangan satu sama lain dalam kesedihan. Kami mengulangi rekomendasi bahwa siapa pun yang selamat harus menceriterkan kepada keluarga dan teman-teman kami tentang penderitaan kami dan tempat di mana Fretilin menghabisi kami. Seraya setelah itu, karena kami sedang menuju kematian, kami berdo'a. Pada saat itu saya membayangkan kembali semua yang sudah saya lakukan. Saya meminta ampun atas dosa-dosa saya dan memaafkan musuh-musuh saya. Saya ingin siap untuk bertemu dengan Tuhan.
Sekitar pukul 10 malam kami mendengar suara sebuah mobil yang berhenti dekat rumah. Kemudian pintu dibuka dan orang yang cukup kami kenal, Gusmao, seorang mantan sersan fanatik, yang diiringi oleh suatu kelompok kecil bersenjata, mengeluarkan selembar kertas dari sakunya. Dia mulai memanggil nama-nama, termasuk nama saya. Nama-nama yang dipanggil adalah: Jose Fernando Osorio Soares, Moniz Maia (saya sendiri), Mario Zuarez, Peter Mu, Domingos Osorio, Arlindo Osorio, Manuel Jacinto (semuanya anggota keluarga Osorio), dan Said Musah. Ketika kami keluar orang-orang Fretilin di luar mengatakan kepada kami untuk melepas baju kami dan mengikatkannya di kepala untuk menutup mata. Sebelum mata saya ditutup saya tahu bahwa kendaraan yang diparkir adalah sebuah land-rover dengan bak terbuka. Kendaraan tersebut melaju dengan cepat. Para pembunuh kami khawatir kami bisa lari. Jalan-jalan berlubang di malam hitam pekat. Akhirnya kami berhenti. Inilah saat segalanya akan berakhir. Kami diturunkan dari land-rover dengan mata tertutup. Dengan segera saya berdo'a dan meminta kepada Tuhan untuk memberi saya kematian yang cepat. Tanpa diketahui saya menggeser ikatan dari mata saya, saya bisa melihat sesuatu. Mobil diparkir di tengah jalan di wilayah Hat-Nipa. Kami dikelilingi orang-orang Fretilin bersenjata untuk mencegah kami lari. Cahaya lampu mobil begitu benderang menyilaukan. Satu- satunya jalan adalah menuju air terjun yang di bawahnya mengalir sungai berjarak sekitar dua puluh meter dari tempat kami berada. Di seberangnya sebuah kaki gunung yang curam, hampir tidak mungkin didaki. Fretilin memilih sisi kanan sungai untuk tujuan mereka. Satu-satunya jalan untuk lari adalah melompat ke bawah air terjun...
Saya mendengar sebuah tembakan. Pekikan-pekikan. Kemudian satu tembakan lagi. Pekikan-pekikan: "Jangan!! Jangan!! Jangan!!" Sebuah tembakan lagi. Saya menarik sedikit lagi baju penutup mata saya. Di depan saya Bapak Osorio sedang berbicara dengan para pembunuh kami, dengan mengatakan "Jangan beri kami kematian yang memalukan seperti ini!!! Anda lebih baik mengirim kami ke garis depan!! Jangan membunuh kami seperti ini. Tolong hentikan!" Fretilin menjawab. "Berhenti merengek. Kamu akan bebas". Sebuah tembakan menyusul, dan Bapak Osorio pun pergi untuk selamanya. Saat itu sama mendengar lebih banyak rengekan dan permohonan belas kasihan. Siksaan ini masing sering terngiang dalam ingatan saya. Saya tergoda untuk berlari menuju para pembunuh saya dan mengatakan kepada mereka bunuhlah saya dengan segera, namun itu tidak saya lakukan. Kemudian saya mengenali suara Arlindo Osorio, yang menjerit meminta untuk berdo'a lebih dahulu. Pemandangan tersebut masih segar dalam ingatan saya. Namun Fretilin mencengkeram dan mendorongnya ke pinggir jalan, dia menjerit-jerit untuk berdo'a lebih dahulu. "Ijinkan saya berdo'a, ijinkan saya berdo'a". Di sini Arlindo Osorio ditembak dari jarak dekat dan menghilang jatuh ke dasar air terjun. Saya terus meminta dalam hati "Bunuhlah saya, bunuhlah saya, pembunuh". Saya tidak ingin melihat peristiwa itu lagi. Namun itu belum sampai pada giliran saya. Binatang-binatang Fretilin itu kemudian menuju ke Manuel Jacinto. Orang ini menjerit dan berpegangan kuat pada kendaraan. "Jangan! Jangan!", katanya. Para pembunuh mendorong Manuel, namun dia tidak beranjak dari kendaraan tersebut. Dia dipukul, tapi dia tidak melepaskan cengkeramannya. Kemudian sebuah tembakan, dan Manuel pun terdiam. Saya kehilangan kontrol, dan berlari ke air terjun sambil berteriak, saya ingin mati dengan cepat. Saya tidak tahan melihatnya lagi. Saya mempermudah tugas kejam mereka. Para pembunuh mengelilingi saya, dalam sekejap saya mengalihkan pikiran saya ke Tuhan. Saya mendengar sebuah ledakan dekat telinga saya. Pada saat itu kepala saya terasa panas terbakar, saya jatuh tersungkur setengah sadar, namun tidak kehilangan ingatan sama sekali, saya terguling-guling menggelundung beberapa meter. Tubuh saya menabrak pohon-pohon kecil, batu-batuan dan sebagainya.
Saya mendapatkan kekuatan. Tiba-tiba ketika saya baru sadar bahwa saya selamat dari mimpi buruk, tangan saya dengan susah payah mencengkeram segala sesuatu. Saya mencengkeram rumput-rumput, batu-batuan, akar dan pohon- pohon kecil agar saya tidak terus melorot dan akhirnya jatuh ke tempat yang lebih keras. Tidak lama kemudian kaki saya terasa sudah cukup kuat untuk merangkak mencari tempat beristirahat. Jari-jari saya mencengkeram dengan kuat sebuah pohon kecil. Dasar jurang di bawah tak kelihatan, ke atas juga tidak ada bedanya. Saya menutup mata saya. Rasa sakit karena luka tembakan di kepala saya sangat menyiksa. Saya merasakan ada cairan panas yang turun ke leher saya. Saya takut kehilangan banyak darah dan kekuatan untuk naik ke jalan. Untunglah peluru itu hanya memberikan luka yang tidak begitu lebar dan berbahaya. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi jika Fretilin melihat tubuh saya. Karena malam gelap dan tanpa bulan, mungkin mereka tidak melihat saya.
Apa pun yang sedang terjadi, saya tidak bergerak. Saya menutup rapat mulut saya untuk menahan rasa sakit. Saya mendengar suara-suara dan orang tertawa di atas.
Saya mendengar suara land-rover. Kemudian suara pintu-pintu ditutup. Lalu saya mendengar mobil meraung beberapa kali. Saya kira mereka memutar haluan mobil. Saya tunggu. Kemudian kendaraan tersebut mulai pergi karena suaranya terdengar semakin menjauh. Saya mulai bergerak naik dengan sangat perlahan dan sangat waspada. Saya sudah merasa kuat. Saya takut jatuh ke dasar jurang. Terus bergerak naik dengan kaki terjengkang-jengkang ke sana ke mari. Terkadang kaki saya terpeleset, namun jari-jari tangan saya selalu mencengkeram akar pohon atau sebatang pohon, tangan saya selalu di depan mencari tempat datar. Jari-jari tangan saya sudah lecet-lecet dan berdarah, namun saya tidak merasa sakit. "Naik, naik", saya menyemangati diri sendiri. Kepala saya yang terluka tidak menyusahkan saya lagi. Mungkin keinginan saya untuk berupaya selamat yang membuat saya tidak merasa sakit. Tubuh saya basah dengan keringat. Beberapa yard lagi, saya sudah dapat melihat ujung jalan. Saya beristirahat sebentar dan mempertajam telinga dan mata saya. Tidak ada suara sama sekali. Tidak ada yang mencurigakan. Sekitar tiga atau empat langkah lagi saya sudah berada di jalan.
Saya melihat sekeliling, Tidak ada orang. Namun saya tetap berada di jalan selama beberapa menit. Saya berdiri, dan berjalan cepat ke seberang dan menghilang dalam ilalang. Saya terus berjalan. Luka mulai terasa pedih, saya ikat dengan baju. Saya terus berjalan dengan mengamil lintasan yang saya kenal. Sementara berjalan saya memperkuat ikatan kepala saya dan luka berhenti mengeluarkan darah. Saya selalu waspada, takut bertemu Fretilin yang tak terduga atau seorang penjaga Fretilin terpisah dari kelompoknya. Dengan terus mengikuti jalan- jalan setapak biasanya dan jalan ternak saya menuju Rotuto, dimana mertua saya tinggal.
Setelah saya merasa cukup jauh, saya berhenti untuk beristirahat karena sekujur tubuh saya terasa sudah sakit. Saya berbaring terlindung oleh ilalang yang tinggi-tinggi. Dalam benak saya hanya ada keinginan untuk hidup. Segala sesuatu masih nampak seperti mimpi, tidak nyata. Setelah terasa lebih nyaman saya berdiri, dan terus berjalan.
Ketika saya akhirnya sampai ke rumah mertua saya di Rotuto, hari sudah larut malam. Dengan mengendap-endap agar tak bersuara, saya mendekati rumah itu. Anjing-anjing mulai menyalak, namun ketika mereka mengenali saya, mereka berhenti dan mencium tangan saya. Kemudian, saya perlahan mengetuk pintu. Pertama kali tidak ada jawaban, saya ketuk lagi. "Siapa itu", mereka bertanya dari dalam. Dengan penuh rasa takut saya jawab perlahan: "Ini saya, Moniz, tolong bukakan pintu". Kembali sepi, tidak ada suara langkah kaki. "Ini saya, buka pintunya", kata saya lagi. Kemudian terdengar suara-suara di dalam. Saya mendengar langkah-langkah kaki mendekati pintu, dan pintu dibuka. Saya masuk melayang seperti seekor kucing. Mertua dan isteri saya terngaga keheranan melihat saya seolah-olah saya ini hantu. Namun keheranan ini hanya berlangsung beberapa detik. Pintu ditutup. Semua ingin memeluk saya secara bersamaan. Saya memberikan tanda-tanda dengan jari saya, jangan ribut. Kemudian saya memeluk erat isteri saya tercinta dan kami berdua mulai terisak-isak. Dan semuanya kemudian ikut menangis. Kami menangis bahagia saat itu, kami menangis karena akhirnya kami dipertemukan kembali. Kami menangisi kecemasan dan penderitaan.
Oh Tuhan, ....! Tak seorang pun mengajukan pertanyaan. Keadaan tubuh saya yang penuh bekas luka dan memar sudah merupakan jawaban terhadap pertanyaan- pertanyaan yang ada dalam benak mereka. Kemudian saya mendengar suara-suara dari dapur. Isteri saya melepaskan perban-baju di kepala saya dan dia memeriksa lukanya. Kemudian dia menggandeng saya ke kamar mandi dan dengan handuk basah membersihkan tubuh saya. Dengan hanya memakai sarung saya duduk di ruang makan. Kemudian isteri saya pergi ke dapur dan kembali membawa air panas. Dibantu oleh ayahnya, isteri saya membersihkan luka dengan sangat hati- hati dan mengoleskan obat dan memakaikan perban.
Setelah mengobati luka saya, mereka menghidangkan makanan hangat, meskipun hanya sedikit namun cukup menambah kekuatan saya. Saya tidak makan sedikitpun selama beberapa hari. Kemudian saya tertidur. Namun saya tidak tidur nyenyak. Saya masih ingat eksekusi mengerikan di Hat-Nipa, dimana semua teman saya dibantai. Terkadang saya terbangun gemetar ketakutan. Hanya melalui keajaiban saya bisa lolos dari drama berdarah yang mengerikan itu. Ledakan keras di dekat telinga saya. Terguling-guling menuruni jurang, saya tidak bisa tidur. Saya membuka mata saya dan semua orang yang saya cintai menunggui saya, seolah-olah mereka menunggu orang yang sedang sekarat. Dari mata mereka, saya melihat mereka semua mencintai saya, dan mereka menyuruh saya untuk tidur. Tapi saya tidak bisa tidur. Eksekusi mengerikan di Hat-Nipa masih membayang di benak saya.
Sejalan waktu, saya semakin tenang dan pikiran saya mulai tertata. Saya masih ingat ketika orang-orang Fretilin menggunakan senapan-senapan "Mauser" untuk menembak teman-teman saya yang malang di Hat-Nipa. Senapan-senapan tersebut dibawa oleh mantan sersan Jose Alexandre Gusmao, Tome Sea-Coli dan seorang Fretilin lainnya, Antonio, yang di Same bertugas sebagai penjaga penjara. Saya juga ingat Tome yang menarik platuk yang membunuh saya. Pemandangan yang saya saksikan dengan mata saya sendiri terus melintas seperti dalam film. Sekali lagi saya menutup mata saya. Akhirnya saya tertidur juga.
Ayam berkokok, burung-burung bernyanyi, hari pun mulai merekah. Suatu hari baru, saya sadar dan masih hidup sepenuhnya. Mereka menyuguhi saya kopi dan makanan ringan. Kehadiran saya di rumah mertua saya bisa membahayakan jiwa mereka, termasuk isteri saya. Orang-orang Fretilin ada di mana-mana.
Pada jam 7 pagi, saya berbaring di tempat tidur, mengistirahatkan tubuh saya yang hancur tersiksa. Saya merasakan sesuatu terjadi di depan pintu. Apakah itu Fretilin dalam pencarian mereka dari rumah ke rumah? Saya menjadi takut. Saya mendengar orang-orang berbicara dengan suara rendah dan lebih berhati-hati, telinga saya menangkap suara ciuman. Siapakah yang datang? Tiba-tiba, seperti seorang aktor memasuki panggung, saudara ipar saya Bento Dos Reis Fernandes yang juga seorang tawanan muncul di depan saya. Kami berpelukan. Kemudian kami bergandengan ke ruang makan. Sanak keluarga saya sibuk menyiapkan segala sesuatu di meja makan. Saudara ipar saya makan seperti seekor babi. Saya biarkan dia makan tanpa mengganggu. Setelah itu saya bercerita kepada saudara ipar saya tentang semua event, seperti saya lolos dari cengkeraman Fretilin, semua penderitaan selama di penjara hingga malam saya merasakan kematian. Pada gilirannya saudara ipar saya menceritakan penderitaannya di penjara dan event-event lain yang saya anggap perlu disebutkan di sini.
Pada tanggal 27 Januari '76, menurut saudara ipar saya, para tawanan yang dibawa ke Hola-Rua, kembali pada hari yang sama dan ditawan di "Motel". Pada tanggal 29, orang-orang Fretilin memisahkan 25 tawanan dan menaikkan mereka ke atas truk. Mengenai tempat tujuan orang-orang ini, saya mendapatkan laporan dari seorang yang selamat. Menurutnya, 25 orang tersebut secara keseluruhan tangannya diikat ke belakang. Kemudian mereka dinaikkan truk yang diparkir di depan penjara (Motel). Lalu kendraan menuju ke sungai, dan para tawanan tahu bahwa mereka akan dibunuh. Dalam truk juga ada empat penjaga bersenjata. Pada suatu saat seorang tawanan entah bagaimana dapat melepaskan ikatan dan mulai melepaskan ikatan teman-temannya. Dan orang-orang yang ikatannya sudah terlepas membantu melepaskan ikatan orang-orang lain dan seterusnya. Segala sesuatu dilakukan dengan sempurna tanpa diketahui para penjaga yang mengawasi. Ketika kecekpatan truk diturunkan untuk menikung, para tawanan menubruk para penjaga, mengambil senjata mereka dan lari memasuki perkebunan kopi. Dalam pelarian tersebut, Lino Pereira kurang beruntung dan dia mengakhiri hidupnya di sana. Kakinya cidera karena melompat dari truk. Dia menghabiskan waktu terlalu banyak untuk bangun. Kelambatan tersebut memungkinkan sebuah kendaraan ringan yang sudah sampai lebih dahulu kembali untuk missi menangkapnya. Dia berusaha untuk lari namun malang nasibnya dia tertembak. Para pelarian yang saat itu berlari membawa senjata, mendapatkan nasib baik, memanfaatkan setiap tikungan dan semak. Para penjaga Fretilin tidak berusaha mengikuti mereka, dibingungkan oleh kesemberonoan mereka, dan mungkin takut, karena para pelarian membawa senjata. Empat penjaga dieksekusi karena missi mereka gagal. Diantara 25 pelarian, saya hanya ingat nama-nama Lino Pereira (terbunuh), Mateus De Araujo, seorang tokoh Apodeti di Ataudo, sudah bersama kami, Miguel dan John Carceres. Sebagai suatu catatan kami tambahkan bahwa beberapa pelarian ditangkap kembali oleh Fretilin dan kemudian dibunuh.
Setelah rincian peristiwa di atas, kami memulai kesaksian saudara ipar saya Bento ketika masih di penjara "Motel". Dia mengatakan kepada saya bahwa pada tanggal 29 Januari, malam hari, dalam hari peristiwa pelarian 25 orang yang sama, para tokoh dan komandan Fretilin membahas situasi tersebut dalam pertemuan panjang, yang memutuskan membunuh teman kami dalam dua penjara "Motel" dan "Pasar", dengan melemparkan granat tangan dan menyapu segala sesuatu dengan suatu tembakan senjata otomatis. Karena terkejut, banyak tawanan bahkan tidak tahu bahwa mereka sedang sekarat. Lain-lainnya seperti saudara ipar saya Bento, Ferrao (seorang Kapten partisan), Jose Caldas, yang meloloskan diri pada ledakan-ledakan dan tembakan pertama, lari ke jendela-jendela yang daun-daunnya sudah terlepas, memecah kaca, melompat keluar dan berlari ke semak-semak. Dengan berhati-hati mereka menjauh dari kota. Saudara ipar saya menuju ke arah Rotuto, tempat mertua saya. Kapten Ferrao mendapatkan perlindungan di rumah temannya, dan lainnya hanya terlunta-lunta dalam semak-semak hingga bertemu pasukan gabungan. Saudara ipar saya Bento mengatakan bahwa, mungkin tidak ada lagi tawanan yang bisa lolos dari pembunuhan massal. Dia menambahkan bahwa Fretilin sudah memutuskan untuk memusnahkan para tawanan sebagai balasan terhadap larinya 25 orang tawanan.
Diliputi dengan kerahasian dan kehati-hatian sangat tinggi, saudara ipar saya Bento, dan saya hanya tinggal sepuluh hari. Kami harus segera pergi, karena berita kelompok-kelompok Fretilin terus menyisir semak-semak berusaha menangkap kembali 24 orang yang lari pada tanggal 29 Januari. Kelompok-kelompok lain sedang menyelidiki rumah-rumah untuk tujuan yang sama. Dengan mengetahui itu, kami memutuskan untuk meninggalkan daerah mertua saya. Dalam perlindungan malam, dengan rasa sakit luar biasa kami mengucapkan selamat tinggal kepada orang-orang yang kami cintai, berangkat masuk hutan. menuju ke daerah gunung Kablak. Kami mencapai daerah tersebut tanpa kesulitan, dan tinggal di sana selama 25 hari. Dalam pada itu kami menghubungi orang-orang yang dapat kami percaya. Kami ketahui bahwa pasukan gabungan sudah memasuki kota Ainaro pada tanggal 22 Februari dan mereka memblok semua jalan dan daerah-daerah sekitarnya berada di bawah kontrol mereka. Pada waktu yang sama pasukan-pasukan kami juga sudah memasuki Same dari Betano. Dengan demikian, memaksa Fretilin untuk menyelamatkan diri, mencari perlindungan di daerah Kablak. Karena fakta ini, maka tempat persembunyian kami menjadi berbahaya bagi kami dan kami memutuskan untuk pergi ke Ainaro.
Dalam periode singkat kami menjadi tahu posisi dan strategi Fretilin, sehingga kami bisa menghindari suatu pertemuan dengan mereka, dengan mengambil jalan-jalan pintas, selalu pada malam hari. Akhirnya kami sampai di Ainaro pada tanggal 12 Maret 1976. Kami disambut oleh pasukan gabungan dengan segala perhatiannya. Setelah observasi kami diberi makan, pakaian dan sepatu. Saya bisa katakan itu merupakan suatu bantuan persaudaraan riil dari mereka, yang mengorbankan jiwanya untuk membebaskan kami dari tindasan Fretilin.
Karena Bapak Moniz Maia dan Bapak Januario Carvalho memiliki tempat-tempat tujuan berbeda maka kami mengetengahkan yang terakhir ini untuk mengulangi
kesaksiannya:
"Pada tanggal 31 Desember 1975, sekitar pukul 8 pagi, sebuah truk yang membawa lima orang Fretilin bersenjata, yang dipimpin oleh mantan Sersan Manuel Pereira yang pada waktu itu menjadi komandar militer Fretilin di Ainaro, mantan Kopral Afonso dan Constantino tiba di depan penjara (motel). Di depan pintu, Manuel Pereira memanggil nama- nama 38 tawanan dan membariskan mereka di luar. Ketika mereka dipanggil, mereka menatap kami semua, seolah-olah memperingatkan kami, jangan melupakan janji untuk bercerita kepada sanak keluarga tentang penderitaan dan tanggal Fretilin menembak mereka. Pada waktu itu, suatu panggilan berarti kematian. Setelah apa yang terjadi terhadap teman-teman kami yang di pinggir sungai Same, kami menganggap mereka akan mengalami akhir yang sama. Jika sebelumnya kami sering berdo'a, maka terakhir kami berdo'a 24 jam kepada Tuhan, karena orang-orang yang mati terkutuk tidak memiliki harapan. Pada hari yang sama, melalui orang-orang sipil yang membawakan kami makanan, kami memohon agar Bapak Mariano datang menjenguk kami agar kami dapat menghapuskan dosa-dosa kami dan siap untuk kematian. Sebagai suatu catatan saya ingin mengatakan bahwa Bapak Mariano diperbolehkan melaksanakan Missa di dua penjara tersebut dengan menggunakan pengeras suara, dia berada di luar dan para tawanan di dalam penjara. Cara baru yang direkacipta Fretilin. Sekali pun demikian, Bapak Mariono tidak menyerah. Dia melakukan semua tugasnya tanpa mengindahkan kesulitan-kesulitan yang diciptakan Fretilin.
Dalam Missa, ketika sampai saatu untuk memberikan Perjamuan Suci, para penjaga pastor di dalam.
Kembali ke tanggal 31 Desember 1975.
Dalam memenuhi permintaan kami, Bapak Raphael, yang dikawal ketat, tiba di penjara pada pukul 4 pagi. Kami tahu pada hari berikutnya, bahwa pastor yang baik tersebut mengalami perdebatan sengit dengan para tokoh Fretilin untuk mendapatkan ijin mengunjungi kami. Orang-orang Fretilin melalui ancaman-ancaman ingin menghindari kunjungan pastor tersebut dengan segala cara. Seseorang mengatakan kepada saya bahwa pada suatu tahap tertentu Bapak Raphael mengatakan kepada para tokoh Fretilin: "Saya akan mengunjungi orang-orang yang mengundang saya. Saya tidak peduli apakah mereka berada dalam penjara atau tempat lainnya. Saya akan ke sana dengan atau tanpa ijin anda. Saya hanya patuh kepada Tuhan dan para atasan saya dalam Gereja. Jika anda ingin membunuh saya dalam perjalanan, anda boleh melakukannya, namun anda tidak bisa melarang saya mengunjungi orang-orang saya". Seraya berkata begitu, dia berdiri dan pergi.
Dengan demikian kami bertemu dia di sana. Dari beranda dia berbicara pada kami dengan menggunakan pengeras suara. Suaranya sungguh menyejukkan hati kami. Bapak Raphael mengatakan pada kami, karena tidak mungkin untuk mendengar pengakuan dari setiap orang, maka dia meminta kami untuk mengingat dosa-dosa kami, kemudian memohon ampun kepada Tuhan. Dengan demikian, itu kami lakukan. Akhirnya, para penjaga membuka pintu dan mengizinkan Bapak Mariano masuk, memberikan tanda salib suci di kepala kami. Kemudian dia keluar, kami masih sempat melihat linangan air matanya.
Kini, kami sudah siap. Saya merasa jauh lebih baik.Sekarang kami boleh mati kapan saja, namun saya tidak bisa berpikir mengenai orang-orang yang saya cintai. Mungkin, saya tidak akan pernah melihat mereka lagi.
Pada tanggal 1 Januari 1976, tahun baru, banyak orang yang dari bertemu dengan Bapak Mariano, membawakan kami makanan enak.
Ketika kami makan, kami memperoleh kesempatan mendengar dari orang-orang sipil tentang apa yang sedang berlangsung di luar penjara. Mereka mengatakan bahwa, sikap Bapak Mariano, telah banyak menyentuh hati para tokoh Fretilin, sehingga mereka mengatakan bahwa mereka akan mengobati para tawanan. Mereka juga mengatakan bahwa Nicolau Lobato sudah mengadakan suatu pertemuan massa untuk menyatakan bahwa, pembantaian yang dilaksanakan di sungai tanpa sepengetahuan Komite Sentral Fretilin (FCC) dan dia menambahkan bahwa orang-orang yang bersalah akan dihukum. Seperti halnya kami, mayoritas penduduk tidak mempercayai kata-kata Nicolau, karena, pada hari yang sama dia memerintahkan tahanan rumah terhadap Bapak Mariano. Kata-kata dari para tokoh Fretilin tidak akan meyakinkan siapa pun.
Pada tanggal 2 Januari 1976, mantan sersan Manuel Pereira kembali ke penjara kami pada tengah hari, yang diiringi oleh mantan Kopral Capriano De Araujo, mantan sopir Jose dan dua orang lainnya, saya tidak tahu namanya. Sebagaimana pada tanggal 31 Desember, Manuel Pereira, memanggil nama-nama dari suatu daftar, termasuk saya. Nama-nama tersebut masih saya ingat: Jose Trindade dari Ermera, Manuel De Almeida, Bere-China, Albino-Barros, Gabriel Trinoade dan Araujo de Jesus. Satu per satu kami menuju beranda. Sebuah "Unimog" diparkir di depan penjara. Tiga penjaga bersenjata diposisikan mengawasi kami. Manuel Pereira, kemudian pergi, mungkin Same. Seseorang yang datang bersama Pereira mengatakan kepada kami, kami akan dipindahkan ke Ainaro. Setelah begitu banyak kebohongan, kami tidak percaya lagi dengan kata-kata mereka. Namun kami percaya bahwa kami akan dibunuh di sungai, ke mana kami sudah dipersiapkan. Kami berdo'a. Kami sudah memberikan pengakuan. Bersama Tuhan kami tidak takut mati. Kami diperbolehkan duduk. Dalam waktu menunggu yang menyedihkan tersebut, sekali lagi saya berpikir tentang orang-orang yang saya cintai dan teman-teman saya, yang tentu saja tidak akan pernah saya lihat lagi. Ini tak terelakkan. Hanya orang-orang seperti saya dan lain- lainnya yang jatuh ke tangan Fretilin dapat menghapuskan kecemasan dan kesedihan pada saat-saat pemanggilan dan menunggu yang sangat mempengaruhi kami.
Fretilin, saya tidak tahu bagaimana mereka belajar menguasai diri dalam menyiksa korban-korban mereka. Memanggil, menunggu, membawa para tawanan ke tempat-tempat pembunuhan dan kemudian, mereka mengatakan "Lebih baikuntuk kami mati besok" dll. Itu akan menghancurkan seseorang secara psikologis. Saya merasa, bahwa itulah saat-saat terakhir kehidupan kami.
Pikiran-pikiran tersebut terganggu oleh kembalinya Manuel Pereira dan kelompoknya. Dengan perut kosong, hanya makanan kecil sehari sebelumnya, kami diperintahkan oleh Manuel Pereira untuk naik "Unimog". Ini terjadi sekitar pukul 5 sore. Mobil disetir oleh Manuel sendiri. Dua orangnya duduk bersamanya dalam kabin, dan lainnya duduk bersama kami. Kendaraan menempuh jalan Same-Ainaro. Apakah itu tujuan kami sebenarnya?
Apakah orang-orang Fretilin tidak akan mempersiapkan suatu simulasi? Kendaraan terus melaju di jalan Ainaro dengan kecepatan sedang. Para penjaga yang bersama kami duduk diam, begitu juga kami. Masing-masing mungkin berpikir tentang apa yang paling mereka takutkan. Akhirnya, tanpa suatu insiden kami sampai di kota Ainaro pada pukul 11 malam. Mobil diparkir di depan Akademi Kepandaian Putri, yang sekarang dirubah menjadi penjara. Kami diperintahkan untuk masuk, kejutan apa yang dipersiapkan untuk kami. Kami tidak percaya dengan penglihatan kami. Di dalam, antara lain, kami melihat teman-teman kami yang dibawa dari Same pada tanggal 31 Desember. Kami menganggap mereka sudah mati. Kami berpelukan satu sama lain seperti bertemu seorang saudara, yang dikira sudah mati.
Kami semua ingin tahu apa yang terjadi sejak kami dipisahkan. Kami menceritakan kejadian-kejadian di Same. Pada giliran mereka, teman-teman kami bercerita kepada kami apa yang terjadi dengan mereka.
Mereka mengatakan kepada kami, bahwa Manuel Pereira, Komandan Fretilin Ainaro, telah memerintahkan Nicolau Lobato selama kunjungannya di sana, untuk memindahkan semua tawanan kelahiran Ainaro atau dengan sanak keluarga di Ainaro ke penjara-penjara di sana, dengan mengatakan, itu adalah keinginan warga setempat yang telah meminta Pereira sebelum Nicolau Lobato menyetujui permintaan Pereira dan berkat dialah kami semua berada di sana, masih hidup dan ada harapan untuk selamat. Kami bertanya tentang Luiz Dos Reis Araujo, yang kami ketahui berada di Rumahsakit Ainaro Ketika di Alto-Flecha, karena agresi brutal di Maubisse, dia tidak bisa berjalan dan dibawa mobil ke kota Ainaro. Mereka katakan, Luiz R. Araujo sekarat ketika tiba di Ainaro. Ketika dia dikelilingi oleh para eksekutornya, Domingos Pereira dan kelompoknya, Luiz mengatakan kata-kata terakhir ini: "Saya tahu bahwa darah saya dan semua teman saya yang tertumpah di atas pulau Timor ini pasti untuk bendera merah putih yang akan berkibar di atas pulau ini. Komunis pada akhirnya akan tunduk. Kami tidak akan mati semuanya. Teman-teman kami yang selamat akan menceritakan apa yang anda lakukan terhadap kami".
Mendengar nama Luiz Araujo, orang-orang Fretilin ingin segera menghabisinya, namun dicegah oleh staf rumahsakit, yang meminta mereka pergi. Sendiri, Luiz meninggal dalam damai. Pada akhirnya jazadnya beristirahat dari semua penderitaan berat dan mengerikan. Dia adalah korban para agresor Fretilin.
Kemudian, kami mulai menyesuaikan diri. Kami tahu bahwa teman-temanu kami, sejak mereka berada di penjara ini, boleh kami katakan, telah menerima perlakuan sangat baik dibandingkan dengan perlakuan-perlakuan sebelumnya di penjara-penjara lain. Informasi ini benar. Kami menerima makanan yang kurang-lebih baik dengan kuantitas rerata. Dalam penjara baru tersebut, kami diherankan oleh tidak adanya sessi-sessi penyiksaan yang tak manusiawi, biadab.
Pada tanggal 4 Januari, kami mendapatkan berita mengerikan bahwa eksekutor kami Domingos Pereira berada di Ainaro. Dengan hati waswas, kami ingin tahu apa tujuan kedatangan orang sadis itu ke Ainaro. Berita itu diinformasikan oleh salah seorang penjaga kami. Beberapa jam kemudian, para penjaga yang sama, mengatakan kepada kami, bahwa Domingos Pereira ingin minta ijin dari Komandan Fretilin lokal untuk membawa Bapak Lucia Encarnacao kembali ke Maubisse untuk diadili oleh "Fretilin Ministers Council" (Dewan Menteri Fretilin). Permintaan tersebut ditolak oleh Komandan Manuel Pereira dan didukung oleh mantan Kopral Afonso Neves, yang mengatakan bahwa tinggalkan kota ini. Domingos Pereira, dalam menghadapi penolakan tegas dari kedua orang itu, menjadi nervous dan berusaha untuk membujuk keduanya, namun itu tidak merubah pendirian mereka. Dalam diskusi- diskusi, Afonso Neves mengatakan: "Para pemimpin kami terus mengatakan setiap saat bahwa kami harus berjuang untuk kemerdekaan. Namun jika kita terus membunuh setiap orang, maka siapa yang akan mengerjakan lahan kita? Anda sendiri?
Dengan argumen ini pun Domingos Pereira tidak menyerah, betapa besar keinginannya untuk membunuh Bapak Lucio. Dia pergi meninggalkan pertemuan dengan wajah masam dan berjanji untuk kembali lagi.
Bapak Lucio Encarnacao mengetahui peristiwa tersebut dan kami menasehatinya untuk mensimulasi suatu serangan jantung. Dengan berteriak, kami memanggil para penjaga, mengatakan bahwa teman kami sakit parah. Kami tahu bahwa di rumahsakit Bapak Encarnacao akan lebih terlindung terhadap ide-ide pembunuhan dari Domingos Pereira. Itu terkabul. Teman kami diopname hingga tanggal 30 Januari.
Pada tanggal 31 Januari, banyak orang Fretilin muncul di Ainaro, yang dipimpin oleh mantan Letnan Guido. Kami mengetahui mereka akan bertemu dengan komandan militer Fretilin Ainaro untuk mencari pemecahan terhadap para tawanan Ainaro.
Kami selalu diberi informasi oleh beberapa penjaga, kami boleh menghadiri sessi-sessi pertemuan. Dalam pertemuan pertama suara terpecah dalam dua faksi, satu, mayoritas yang tidak setuju dengan pemusnahan para tawanan, dan kelompok lain yang menginginkan pemusnahan sepenuhnya. Diskusi-diskusi berlangsung selama berjam-jam. Kedua faksi mempresentasikan opininya. Karena opini-opini tidak mencapai kesepakatan, maka pimpinan, mantan Letnan Guido, menunda pertemuan pada hari berikutnya. Kelompok yang menentang pemusnahan dipimpin oleh Manuel Pereira, dan kelompok lain untuk pemusnahan dipimpin oleh Domingos Pereira.
Pada tanggal 1 Februari 1976, Tokoh sadis Guido dan boneka-bonekanya memulai lagi pertemuan untuk memutuskan nasib kami. Guido, yang ingin mengakhiri pertemuan dengan cepat, mengusulkan untuk mengambil keputusan dengan voting. Kemudian, ini dilakukan. Hasilnya tak terelakkan, mayoritas memberikan suara menolak pemusnahan dan pemindahan para tawanan dari Ainaro, yang membuat Domingos Pereira dan para pendukungnya sangat marah.
Dalam pada itu, Guido, untuk menyelesaikan permasalahan dengan cepat, bertanya pada Manuel Pereira apakah semua tawanan U.D.T. atau Apodeti. Mantan Sersan Manuel Pereira berbohong, dengan mengatakan bahwa semuanya U.D.T., meskipun dia tahu bahwa banyak tawanan, misalnya
saya sendiri, adalah Apodeti. Maka, Guido berkata, karena sebelumnya U.D.T. berjuang untuk kemerdekaan, maka menurut pendapatnya semua tawanan harus dimaafkan. Karena orang- orang yang hadir hanya kaki tangan Domingos maka dia dapat mempertahankan posisi awalnya. Guido memerintahkan bahwa semua tahanan di Ainaro dibebaskan dan dipulangkan. Namun, mengenai Lucio (Mantan Administrator dalam Pemerintahan Kolonial Portugis) Guido mengatakan, orang tersebut akan tetap ditahan hingga keputusan-keputusan baru, karena dia harus menghadapi pengadilan rakyat (popular justice).
Dengan mengetahui keputusan akhir, Lucio Encarnacao, yang sudah kembali ke penjara pada tanggal 30 Januari, menjadi sangat sedih, tersiksa oleh ide bahwa segera Fretilin akan membunuhnya.
Manuel Pereira dan Afonso Neves, dengan menerka maksud pemimpin Fretilin mengenai Bapak Encarnacao, memutuskan untuk menyembunyikannya. Mereka menyembunyikan Bapak Encarnacao di sebuah batu karang (coral).
Hari-hari berikutnya, suatu kelompok Fretilin mendatangi komandan militer Ainaro untuk mengatakan mereka mendapatkan perintah dari para pemimpin untuk membawa Bapak Lucio Encarnacao. Manuel Pereira, pada waktu itu lmenjadi komandan Ainaro, mengatakan kepada mereka bahwa Bapak. Encarnacao sudah dibawa hari sebelumnya oleh suatu kelompok lain. Kebohongan tersebut menyelamatkan jiwa teman kami Lucio Encarnacao.
Pada tanggal 22 Februari pasukan gabungan tiba di Ainaro, akhirnya kami bisa bernapas lega. Kami diselamatkan. Kami adalah segelintir orang yang selamat dalam melarikan diri dari Fretilin. Manuel Pereira tidak lari. Namun boneka-boneka Fretilin seperti Guido Soares, Domingos Pereira dan lain-lainnya yang berani di hadapan para tawanan tak bersenjata lari seperti kucing ketakutan. Pasukan-pasukan gabungan bahkan tidak menembakkan satu peluru pun. Sejak jam-jam pertama, saya berusaha dengan pasukan-pasukan kami untuk memberikan semua perlindungan yang perlu terhadap Manuel Pereira, karena dia saya masih hidup. Sekarang ini, Manuel Pereira tinggal di Ainaro menjalankan usahanya dengan bebas.
TTD
Januario