Keganasan Fretilin Terungkap di Kamp Pengungsi

Foto hanya ilustrasi tulisan


Atambua, NTT, 21/8/2001 

Keganasan sikap dan tindakan partai Frente Revolucionaria de Timor Leste Independente (Fretilin) pada pergolakan perang saudara 1975 di Timor Lorosae mulai terungkap di berbagai kamp pengungsi di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT). “Para pendukung partai Fretilin sangat ganas. Mereka tidak hanya membunuh saudara sebangsanya tetapi juga menyayat tubuh korban yang sudah menjadi mayat itu secara sangat tidak manusiawi,” kata salah seorang ibu rumah tangga, Amelia de Deus Pinto, di atambua, Selasa. Dia mengakui, ketika terjadi pergolakan di Timtim tahun 1975, dirinya sudah berusia 15 tahun sehingga dapat memahami secara baik dan benar perjuangan politik Fretilin ketika itu.

Sehingga, masuknya Pasukan TNI ke wilayah Timtim pada tahun itu sebenarnya merupakan jawaban atas permintaan mayoritas rakyat di negeri itu agar ideologi komunis dapat secepatnya diberantas dari persada Timor Lorosae. Dikatakan, jika Fretilin hendak membunuh seseorang yang tidak sehaluan politik dengannya, maka terlebih dahulu lawan politiknya itu disiksa secara kejam.

Fretilin juga telah banyak membunuh anak-anak dan perempuan yang tidak berdosa. Mereka membantai warga timtim dalam jumlah yang sangat banyak lalu dibuang ke dalam jurang terjal. Karena itu, jika pada kampanye pemilu perdana ini partai Fretilin menyatakan bahwa mereka telah berjasa menghantar rakyat Timtim ke pintu gerbang kemerdekaan secara damai maka pernyataan itu merupakan kebohongan yang paling besar. Fretilin harus lebih dahulu menunjukkan kuburan massal rakyat Timtim pada pergolakan tahun 1975 sebelum mereka keluar sebagai pemenang pemilu 30 Agustus nanti.

Seorang pengungsi lainnya, Carlito BC. Alves mengatakan, dirinya tidak percaya kalau Fretilin dapat memimpin Timor Lorosae menuju sebuah bangsa dan negara yang merdeka dan sejahtera karena tangan dari mereka yang memimpin itu telah dilumuri darah saudara-saudaranya sendiri. “Kekejaman Fretilin itu tidak hanya terjadi pada tahun 1975 tetapi hingga 1999. Karena itu mustahil bangsa dan negara Timor Lorosae dipimpin oleh manusia yang bertangan darah,” katanya.

Pada masa integrasi (1976-1999) Fretilin telah banyak membantai TNI dan Polri kelahiran Timtim. Mereka membantai secara sangat keji di luar batas-batas peri kemanusiaan. Karena itu, lanjutnya dirinya merasa khawatir, jika terjadi pergolakan di Timtim pasca pemilu yang berujung pada pecahnya gelombang pengungsian ke wilayah NTT, maka TNI dan Polri yang bertugas di tapal batas NTT akan bersikap apatis dalam membantu pengungsi itu.

Bila TNI dan Polri di wilayah perbatasan NTT benar-benar bersikap apatis terhadap pengungsi pasca pemilu, maka hal itu harus dimaklumi juga. Mungkin mereka masih merasa sakit hati karena banyak rekan mereka dibantai selama bertugas di Timtim. Padahal, lanjutnya kalau masyarakat Timtim saat ini bersikap jujur maka kedatangan TNI ke Timtim tahun 1975 berawal dari permintaan rakyat Timtim sendiri melalui para pemimpin partai Uniao Democralica Timorense (UDT) dan Associacao Popular Democratica Timorense (Apodeti).

“Kedatangan TNI ke Timtim pertama-tama bertujuan kemanusiaan yakni mengangkat rakyat Timtim keluar dari limpur pertikaian fisik, tetapi akhirnya dibalas oleh Fretilin dengan tindakan kekerasan hingga 1999,” katanya.


Sumber


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama