TIMOR TIMUR
Waktu kejadian: 1975-1992
Korban: Orang Timor Timur
Jumlah korban: ± 200,000
Pelaku: Indonesia
Pada tanggal 7 Desember 1975 Indonesia melakukan invasi militer ke Timor Timur. Saat itu ada suatu konsensus umum di dunia internasional bahwa invasi itu hanya akan menjadi persoalan singkat. Angkatan bersenjata gerakan kemerdekaan Timor Timur yang kecil dan kurang dipersenjatai sama sekali bukan tandingan militer Indonesia. Oleh dunia internasional, Indonesia dilihat sebagai sekutu sangat penting, terutama bagi negara-negara industri maju. Di sisi lain, Timor Timur tidak memiliki dukungan internasional yang penting, dan akan sangat mudah diisolasi secara ekonomi, politik dan diplomasi oleh Indonesia. Pada tahun 1974, jumlah penduduk Timor Timur pun hanya 688,771 jiwa. Alhasil hampir tidak ada ribut-ribut dunia internasional tentang invasi tersebut. Apabila invasi berhasil mulus tanpa terlalu banyak korban, dunia internasional akan menganggapnya sebagai sekedar korban yang tak bisa dihindarkan dari sebuah operasi militer. Invasi itu pun akan diakui sepenuhnya. Akan tetapi Indonesia gagal menciptakan suatu “penaklukan singkat” tanpa skandal. Pembunuhan besar-besaran terjadi. Diperkirakan sepertiga penduduk Timor Timur binasa, sehingga kemudian digolongkan sebagai genosida.
Indonesia dan Timor Timur adalah negeri yang terbentuk akibat kolonialisme Eropa. Indonesia yang memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, dan memperoleh kedaulatan penuh pada tahun 1949 melalui Konferensi Meja Bundar di Den Haag, merupakan bekas wilayah Hindia Belanda. Sedangkan Timor Timur adalah bekas wilayah kolonial Portugis. Kuku Portugis ditancapkan di Timor Timur sedini tahun 1702, saat pertama kali mendirikan koloni di sana. Sejak saat itu, selama dua abad berikutnya mereka berkali-kali bertempur melawan Belanda dalam upaya saling rebut pulau Timor. Perjanjian damai akhirnya ditandatangani keduanya pada tahun 1913, yang membagi pulau Timor menjadi dua bagian: Timor Timur menjadi wilayah Portugis, dan Timor Barat menjadi wilayah Belanda. Pada tahun 1949, Timor Barat menjadi wilayah Indonesia, sedangkan Timor Timur tetap dipertahankan Portugal. Meskipun bertetangga, hampir tidak ada perhatian Indonesia terhadap wilayah itu selama bertahun-tahun. Saat Presiden Soekarno mengumumkan gerakan melawan kolonialisme pada tahun 1960-an, yang dimaksudkannya adalah kolonialisme Inggris di Brunei dan Malaysia. Tidak ada perhatian diberikan pada Timor Timur. Mungkin hal itu karena wilayahnya yang kecil, terisolasi, dan miskin.
Pada tanggal 25 April 1974, seiring kejatuhan diktator Marcelo Caetano di Portugal, rejim baru memutuskan untuk melepaskan negeri-negeri koloninya, yakni Angola, Mozambique, Guinea-Bissau, dan Timor Timur. Partai-partai gerakan kemerdekaan pun bermunculan di Timor Timur. Dua partai besar yang paling mendapat dukungan adalah Fretilin (Front for an Independent East Timor) dan UDT (Timorese Democratic Union). Keduanya menjadi pemain kunci dalam dinamika politik di Timor Timur. Pada bulan Januari 1975, UDT dan Fretilin bersatu membentuk koalisi untuk mempersiapkan kemerdekaan penuh bagi Timor Timur yang akan dicapai dalam tiga tahun ke depan.
Kekuatiran bahwa kemerdekaan Timor Timur bisa memicu upaya pemerdekaan kelompok etnik lain di wilayah sekitarnya, seperti Ambon dan Timor Barat, mendorong pemerintah Indonesia untuk memikirkan skenario pengintegrasian Timor Timur ke dalam Indonesia. Obsesi akan gerakan komunisme ikut memperkuat keputusan untuk menginvasi Timor Timur. Mereka kuatir Timor Timur menjadi basis komunisme. Selain itu, diduga ketertarikan terhadap cadangan minyak di Celah Timor, yang pada tahun 1970-an ditemukan, menjadi faktor lain yang menentukan. Pada saat itu dipercaya kalau Celah Timor menyimpan cadangan minyak terbesar di dunia, bahkan melebihi negara-negara teluk. Baru pada dekade belakangan diketahui kalau cadangan yang ada tidak sebesar yang diduga semula dan pengeborannya sangat sulit dilakukan.
Pada bulan-bulan awal tahun 1975, militer Indonesia membujuk UDT untuk mengadakan kudeta dengan menyodorkan alasan bahwa kaum muda radikal dalam tubuh Fretilin diduga akan mengadakan kudeta secepatnya. Kudeta untuk mendahului Fretilin pun dilancarkan UDT pada bulan Agustus 1975. Gubernur Koloni Portugis beserta para pegawai administrasinya melarikan diri ke kepulauan Atauro dan tidak pernah kembali. Akan tetapi Fretilin lebih siap menghadapinya. Banyak tentara kolonial desersi dari militer Portugal dan bergabung dalam Fretilin, lalu bersama-sama mematahkan kudeta UDT. Para pemimpin UDT lantas melarikan diri ke perbatasan Timor Barat dan memasuki wilayah Indonesia. Mereka menandatangani dokumen yang menyerukan pengintegrasian Timor Timur dengan Indonesia, yang kemudian digunakan sebagai justifikasi invasi Indonesia.
Sampai dengan September 1975, Fretilin menguasai sebagian besar wilayah Timor Timur. Para pemimpinnya berulangkali meminta Portugal kembali untuk menyelesaikan sepenuhnya proses dekolonisasi. Akan tetapi Portugal menolak, sehingga Fretilin menjadi pemerintahan de fakto. Pada saat yang sama, sejumlah besar personel militer Indonesia mulai berdatangan ke perbatasan Timor Barat. Dengan harapan adanya sokongan dari PBB, pada tanggal 28 November 1975, di tengah adanya tekanan militer Indonesia di perbatasan, Fretilin mengumumkan kemerdekaan Timor Timur. Seminggu kemudian, pada tanggal 7 Desember 1975, Indonesia melancarkan invasi penuh berkekuatan sekitar 30,000 tentara yang disebut sebagai “Operasi Komodo.” Operasi tersebut direncanakan oleh Letnan Jenderal Ali Moertopo, Mayor Jenderal Benny Moerdani dan Letnan Jenderal Yoga Sugama. Tujuannya mengambil alih Timor Timur apapun ongkosnya. Pada bulan Juli 1976, wilayah itu secara resmi dijadikan provinsi ke 27 Indonesia.
Invasi dilakukan melalui jalan udara dan laut, dengan tulang punggung pasukan terjun payung dan marinir. Hampir tanpa kesulitan berarti mereka berhasil menguasai kota Dili. Banyak yang menduga, bila militer masuk dengan cepat serta tidak menunjukkan tindakan brutal, invasi militer itu akan disambut di Timor Timur karena sebagian pihak memberikan dukungan pada pengintegrasian Timor Timur yang wilayahnya menyempil kecil di sudut wilayah Indonesia yang besar. Sebelumnya, dunia internasional pun sepertinya memberikan lampu hijau bagi invasi. Amerika Serikat menyatakan kalau hendak melakukan invasi dipersilakan asal tidak menggunakan senjata dari Amerika Serikat. Australia juga menyiratkan bahwa pengintegrasian sesuatu yang bisa diterima. Sayangnya, resistensi di kalangan orang Timor terhadap invasi yang semestinya diimbangi dengan pengambilan simpati, direspons dengan pembersihan ala militer yang brutal. Mereka yang dianggap menjadi penghalang pengintegrasian dibunuh.
Minggu pertama invasi telah menelan ribuan korban. Berbagai tindak kekejaman dilakukan. Penangkapan dan penyiksaan terjadi. Laporan-laporan menunjukkan kalau pembunuhan banyak sekali terjadi di mana-mana. Pada beberapa desa, seluruh penduduk dewasanya di bunuh. Korban dalam jumlah besar pun berjatuhan. Gara-gara kekejaman itu sekelompok bersenjata di bawah Fretilin melakukan perang gerilya. Alhasil, sampai tiga bulan kemudian kekuasaan militer Indonesia terbatas di wilayah pantai dan perbatasan, serta sedikit wilayah yang bisa dicapai oleh jalan raya yang sangat sedikit kala itu. Ribuan Orang Timor yang merasa terancam mengungsi ke belakang garis Fretilin. Setelah dua tahun berlalu, Fretilin masih bisa mempertahankan diri berkat adanya dukungan penduduk. Didorong oleh lambatnya perkembangan, militer Indonesia mulai meneror penduduk di luar wilayah Fretilin. Desa-desa dihancurkan, panen dibakar dan penduduknya dibunuh. Pembunuhan pada tahap ini terjadi secara spontan, tidak terorganisir dan reaktif.
Pada bulan September 1977 operasi militer besar-besaran dimulai. Wilayah-wilayah yang diduga menjadi basis Fretilin dibombardir. Semua yang dicurigai simpatisan Fretilin diburu, ditangkap, dan sebagian dibunuh. Sebagian dibawa ke kamp-kamp pengungsian yang hanya mendapatkan suplai sangat seidkit dari pihak militer sedikit sehingga memicu kelaparan. Pada tahun 1979, USAID memperkirakan sekitar 300,000 orang berada dalam kamp-kamp semacam itu, atau hampir separuh dari total populasi Timor Timur. Sampai dengan akhir 70-an, Fretilin masih terus memberikan perlawanan. Sebagai respons, Operasi Keamanan dilaksanakan. Pria berusia 8 sampai 50 yang diambil dari kamp dan desa-desa dipaksa berjalan dalam formasi panah di depan unit militer yang mencari anggota Fretilin. Mereka lalu dipaksa menyerah atau jika bertempur terpaksa harus menembaki orang-orang Timor sendiri.
Berbagai tindak kekerasan dilakukan militer Indonesia selama pendudukan, mulai dari penyiksaan, pemenjaraan hingga pembunuhan langsung, sebagai bagian dari upaya melenyapkan Fretilin. Teror dilakukan. Di mana-mana berdiri penjara. Setiap ada kepala polisi, di sana ada penjara; setiap ada kelompok marinir, di sana juga ada penjara. Asal dicurigai ada kaitan dengan Fretilin, seseorang akan dipenjara. Beragam metode penyiksaan dijalankan oleh militer Indonesia, dari cabut kuku sampai ditenggelamkan di laut. Pembunuhan menjadi hal lazim. Dalam pembersihan ke desa-desa, selain lelaki dewasa, tak jarang wanita dan anak-anak ikut dibunuh. Kekerasan demi kekerasan terus menerus berlanjut pada tahun-tahun kemudian.
Adam Malik, menteri luar negeri Indonesia menyatakan bahwa korban terbunuh sejak invasi hingga April 1977 diperkirakan antara 50,000 sampai 80,0000. Kelompok gereja mengklaim jumlah korban mencapai 100,000 orang pada saat yang sama. Setelah itu korban masih terus berjatuhan dalam berbagai operasi militer. Laporan Amnesti Internasional menunjukkan bahwa operasi militer Indonesia telah membawa korban hingga 200,000 orang. Itu artinya hampir sepertiga penduduk Timor Timur binasa.
Setelah terungkapnya politisida dengan korban komunal di Timor Timur dan kekerasan terus menerus yang dilakukan militer Indonesia, dukungan dunia internasional menjadi berkurang. Tekanan internasional menghampiri Indonesia. Uskup Bello dan Jose Ramos Horta yang terus menerus berusaha menyadarkan dunia internasional akan adanya kekerasan berkelanjutan di Timor Timur dianugerahi nobel perdamaian pada tahun 1996. Titik kulminasinya terjadi pada tahun 1999 ketika Presiden Indonesia, Habibie, menawarkan referendum bagi warga Timor Timur untuk tetap bergabung dengan Indonesia atau memilih keluar dari Indonesia. Hasilnya sudah bisa ditebak, lebih dari 76% suara menghendaki Timor Timur lepas dari Indonesia. Sulit dibantah bahwa kegagalan Indonesia mengintegrasikan Timor Timur merupakan akibat tindakan kejam militernya.
Sumber
James Dunn. (2004). Genocide in East Timor. Dalam Samuel Totten, William S. Parsons & Israel W. Charny (Eds.), A century of genocide: critical essays and eyewitness accounts, 2nd ed., hal. 263-293. New York: Routledge.
James Dunn. (2005). East Timor. Dalam Dinah L. Shelton (Ed.), Encyclopedia of genocide and crimes against humanity, hal. 273-274. Farmington Hills: Thomson Gale.
James Waller. (2002). Becoming Evil: how ordinary people commit genocide and mass killing. New York: Oxford University Press. (hal. 124-129).
John G. Taylor. (2003). “Encirclement and Annihilation”: The Indonesian occupation of East Timor. Dalam Robert Gellately & Ben Kiernan (Eds.), The Specter of genocide: mass murder in historical perspective, hal. 163-185. Cambridge: Cambridge University Press.