Brilio.net – Seakan tidak ada habisnya kisah heroik yang ditorehkan oleh prajurit Korps Baret Merah, Kopassus TNI AD (dulu bernama Kopassandha). Salah satu sosok yang terus dikenang adalah perjuangan tak kenal menyerah Pratu Suparlan dalam operasi di Timor Timur.
Pada 9 Januari 1983, saat satu unit gabungan tentara Nanggala-LII Kopassandha pimpinan Letnan Poniman Dasuki berpatroli di KV 34–34/Komplek Liasidi, suatu daerah sangat rawan di pedalaman. Daerah tersebut merupakan tempatnya para pentolan pemberontak Fretilin (sayap militer terlatih Timor Timur).
Dalam patroli itu, seperti dikisahkan dalam Majalah Baret Merah Edisi April 2014 yang ditulis lagi dalam situs resmi Kopassus, sepasukan kecil TNI ini dihadang oleh sekitar 300-an Fretilin lengkap bersenjatakan senapan serbu, mortar, dan GLM. Terjadilah pertempuran tak imbang antara ratusan Fretilin di ketinggian, dengan TNI pada posisi di pinggir jurang.
Satu per satu anggota pasukan kecil TNI gugur. Menyadari hal ini, Komandan Tim memerintahkan pasukan untuk meloloskan diri ke satu-satunya peluang, yakni ke celah bukit. Namun hanya sedikit waktu yang tersisa bagi pasukan kecil ini.
Di sinilah jiwa patriot Pratu Suparlan membuncah. Dia menyatakan pada komandannya untuk terus maju menghadang musuh.
Pratu Suparlan membuang senjatanya dan mengambil senapan mesin milik rekannya yang gugur. Tanpa gentar sedikit pun, ia menerjang ke arah pasukan Fretilin. Hamburan peluru senapan mesin musuh yang mengoyak tubuh Pratu Suparlan dibalasnya dengan rentetan peluru hingga amunisinya habis.
Tak terhitung jumlah peluru yang telah menancap di tubuhnya, membuat seragam loreng yang dikenakan Pratu Suparlan, berubah warna menjadi merah akibat darah yang mengucur deras dari luka-lukanya. Meski bersimbah darah, prajurit Kopassus ini tetap tegar bagai Banteng Ketaton. Bukannya roboh seperti harapan musuh, Pratu Suparlan justru menghunus pisau komandonya, lalu berlari mengejar Fretilin ke tengah semak belukar, dan merobohkan 6 personel Fretilin.
Tibalah Pratu Suparlan pada ambang kesanggupannya, ia terduduk dan tak lagi mampu menggenggam pisau komandonya. Ia kehabisan darah. Namun ia tak pernah kehabisan akal maupun semangat untuk membela Ibu Pertiwi dari rongrongan pemberontak.
Saat jatuh terduduk, pasukan Fretilin segera mengerumuninya. Setelah puluhan musuh makin dekat mengepungnya, dengan sisa tenaga yang ada, ia susupkan tangan ke kantong celana. Dalam hitungan detik, dicabutnya pin granat lalu ia melompat ke arah kerumunan Fretilin di depannya seraya berteriak, “Allahu Akbar”. Dentuman keras membahana, mengiringi robohnya puluhan prajurit Fretilin, bersama seorang prajurit Kopassus bernama Prajurit Satu Suparlan.
Sementara itu, sisa pasukan “Unit Suparlan” yang tinggal 5 orang telah menguasai ketinggian di celah bukit. Melihat gugurnya Pratu Suparlan, dari atas bukit mereka menghujani tembakan kepada kerumunan Fretelin. Jatuh korban dari kedua belah pihak. Tak lama, pasukan bantuan pun tiba, dan segera membantu memukul mundur Fretelin.
Pertempuran berlangsung hingga malam hari. Pasukan bantuan menemukan tujuh orang Unit Pratu Suparlan yang gugur. Jenazah Pratu Suparlan sendiri ditemukan dalam keadaan tidak utuh. Sedangkan dari pihak Fretelin kehilangan 83 orang milisinya, sisanya beberapa ditangkap hidup-hidup.
Keberanian, kecerdasan, dan baktinya pada Ibu Pertiwi, membuat negara menganugerahi KPLB (Kenaikan Pangkat Luar Biasa) kepada Prajurit Satu Suparlan satu tingkat lebih tinggi dari pangkat semula yaitu Kopda (Anm). Tanda jasa Bintang Sakti pun diberikan pada Kopda (Anm) Suparlan pada 13 April 1987, melalui Keppres No. 20/ TK/TH 1987.
Nama Suparlan terpahat di atas batu granit hitam Monumen Seroja, di Komplek Markas Besar TNI Cilangkap, serta diabadikan sebagai nama Lapangan Udara Perintis di Pusdikpasus Batujajar Bandung yang diresmikan oleh KSAD Jenderal TNI Edi Sudrajat pada 26 Mei 1991. Kepada tujuh personel yang gugur dari “Unit Suparlan”, negara juga menganugerahkan kenaikan pangkat.