Indonesia di Timor Portugis

 Sumber: Senin, 09 Februari 2015


Timor Leste sewaktu masih menjadi bagian dari Indonesia (baca : Timor Timur) merupakan satu-satunya wilayah yang bukan bekas jajahan Belanda, melainkan bekas jajahan Portugis. Dulu selalu dikatakan bahwa Belanda termasuk bangsa yang amat keras dan kolot dalam politik kolonialisme. Tidak pernah Belanda bermurah hati dengan memberikan pengajaran kepada bangsa Indonesia yang sudah dijajah ratusan tahun. Tidak seperti Inggris yang memberikan pengajaran kepada banyak negara jajahannya, seperti India, Malaysia, yang pada akhirnya sekarang mereka sudah lebih maju daripada Indonesia. Akan tetapi, Portugal masih lebih kolot dan keras penjajahannya terhadap Timor Portugis (baca: Timor Leste). 

Alfred Russel Wallace, naturalis, ilmuwan dan geografer masyhur, menulis pada 1861 bahwa “pemerintahan Portugis di Timor merupakan salah satu yang paling telengas. Tiada seorang pun yang setidaknya peduli pada perbaikan negeri tersebut, dan pada saat ini, setelah tigaratus tahun pendudukan, tiada satu mil jalan yang meretas kota, dan tak ada seorang penduduk Eropa yang bermukim sendirian di manapun” (Wallace 1869; 1962:151).

Dili, catatnya, “tempat paling miskin bahkan sekalipun dibandingkan kota-kota termiskin di Hindia Belanda… tak ada tanda-tanda orang bercocok-tanam atau peradaban di sekitarnya” (Wallace 1869; 1962:144-5).

REVOLUSI ANYELIR

                25 April 1974 di Portugal terjadi sebuah kudeta militer nyaris tanpa setitik darah pun yang dipimpin oleh Jenderal António Ribeiro de Spínola dan menggulingkan Marcello das Neves Alves Caetano, gerakan tersebut kini dikenal sebagai Revolusi Anyelir. Pemerintahan baru secara resmi menerima prasyarat Resolusi PBB 1960 tentang dekolonisasi yang pada masa pemerintahan sebelumnya selalu ditentang. Spínola memberikan tiga pilihan kepada negara-negara jajahan Portugal, yaitu perang, revolusi atau melakukan self determination.  Dimulai dengan Portugis Guinea pada September 1974 yang diberi kemerdekaan dan menjadi Republik Guinea Bissau. Dekolonisasi Cape Verde Islands dan Mozambik terjadi pada bulan Juli 1975. Angola menyusul pada November 1975.

Partai-partai politik di Timor Portugis diizinkan berdiri seiring datangnya musim semi Revolusi Anyelir. Uniao Democratica Timorense (UDT) ialah partai politik yang pertama terbentuk. Menyusul kemudian Associacao para Integracao de Timor na Indonesia, menyuarakan integrasi dengan Indonesia, berubah namanya jadi Associacao Popular Democratica Timorense (Apodeti) setelah diterima ikut pemungutan suara. Partai ketiga, Associacao Social Democratica Timorense (ASDT) yang ganti nama menjadi Frente Revolucionária do Timor-Leste Independente (Fretilin), berdiri pada September 1974. Sebenarnya masih ada partai-partai kecil yang tidak banyak berpengaruh seperti partai buruh Trabalhista, partai Aditla yang menginginkan integrasi dengan Australia dan KOTA yang menghendaki Monarki.

 INTRIK DAN PERMAINAN POLITIK

Fretilin dan UDT merupakan dua parpol terkemuka. Keduanya memperjuangkan kemerdekaan, mula-mula mempromosikan kemerdekaan secepat-cepatnya dan kemudian secara bertahap.

Fretilin juga mengagendakan reforma agraria, meningkatkan anggaran pendidikan, dekolonisasi struktur administratif, dan mulai mendirikan industri kecil yang produk utamanya berpusat pada kopi, serta negosiasi kontrak minyak dengan Portugal (Hill 1980:8-15). Fretilin juga menegaskan bahwa ia “satu-satunya wakil yang sah” dari rakyat Timor, tak hanya bersandarkan setiap legitimasi pemungutan suara tapi ‘atas dasar nilai-nilai yang diklaim secara umum bagi “semua rakyat Timor”’ (CAVR 2005: Vol 3, hal 27).

UDT, didominasi keluarga-keluarga pemilik tanah berpandangan konservatif, menentang program Fretilin. Minimnya pengalaman politik semua pemimpin bumiputra itu dengan sendirinya hasil dari bertahun-tahun hidup di bawah otoritarianisme Portugis termanifestasikan dalam kontes politik sesudahnya, saat kedua kubu saling bersitegang secara verbal dan kadang-kadang adu-fisik.

Pada Januari 1975, Fretilin dan UDT bersatu dalam apa yang menjadi koalisi politik berumur singkat. Baik keduanya setuju bahwa Timor Portugis harus merdeka, dan mereka akan membentuk pemerintahan sementara yang dipimpin anggota-anggota kedua partai. Namun, sikap saling curiga terbukti jauh lebih kuat, dan minimnya pengalaman politik menjelaskan mereka tak punya mekanisme khusus untuk mengatasi perbedaan itu. Khususnya, UDT terancam oleh Fretilin yang mendapat dukungan populer luarbiasa. Kedua partai terus saling memprovokasi, dan ketegangannya menjalar di distrik-distrik. Koalisi antara UDT dan Fretilin ambruk setelah berjalan empat bulan saat UDT mencabut koalisi unilateral menyusul pertemuan dengan personel Indonesia di Jakarta.

Ada dua aliran aliran dalam pemerintahan Timor Portugis pada waktu itu, yaitu duet Letnan Kolonel Maggiolo Gouveia dan Kolonel Lemos Pires yang sejalan dengan UDT, serta pasangan Mayor Fransisco Fernandes da Mota dan Mayor Jonathans yang berada dibelakang FRETILIN. Kedua tokoh ini kemudian berusaha membelokan arah FRETILIN ke haluan Komunis.

Revolusi di Timor Portugis pecah tanggal 11 Agustus 1975. Xanana Gusmao mencatat, partai UDT melancarkan gerakan besar-besaran, bahkan nyaris kudeta. EM Tomodok, Konsul Jenderal RI di Timor Portugis, 1972-1976, dalam Hari-Hari terakhir di Timor Portugis , terbitan Pustaka Jaya, 1996, mencatat, menjelang pukul 03.00 waktu setempat, sekelompok kecil orang sipil UDT merebut markas besar kepolisian lengkap dengan senjatanya, dan tanpa mendapat perlawanan. Kejadian itu belakangan diketahui atas dasar perintah Letnan Kolonel Maggiolo Gouveia, Komandan Markas Besar Polisi yang juga anggota UDT. Semua jalan dalam kota dijaga ketat anggota UDT, lengkap dengan senjata baru hasil rampasan, dibantu beberapa perwira Portugis. UDT juga menuntut pengusiran orang Komunis  (Movimento Revolucionario Anti Comunista). Mereka menggeledah dan menjarah rumah-rumah aktivis dan simpatisan Fretilin bahkan mereka menangkap dan menyiksa dan lebih jauh lagi membunuh orang-orang Fretilin begitu saja.

Tanggal 20 Agustus 1975, Fretilin yang selama ini tertindas melakukan serangan balik dan secara resmi membentuk FALINTIL (Forcas Armadas de Libertacao Nacional de Timor Leste / Armada Pembebasan Nasional Rakyat Timor Leste), sebagai sayap militer. Dibawah kepemimpinan Nicolau Lobato, FRETILIN berhasil mengambil alih markas tentara dalam bentrokan senjata di Aileu. FRETILIN terus meningkatkan serangan hingga Dili. Karena terdesak dan merasa terkepung, UDT melarikan diri ke Timor Barat disekitar Motaain . Sedangkan Gubernur Portugis Lemos Pires melarikan diri ke Pulau Atauro. Keberhasilan itu membuat FRETILIN secara sepihak memproklamasikan negara Republik Demokrasi Timor Leste (RDTL) pada tanggal 28 November 1975. Namun ditolak oleh empat partai lain. Tomodok mencatat, sebagian masyarakat justru menilai proses itu bukan dekolonisasi. Karena itu, mereka bersepakat melahirkan deklarasi Balibotanggal 30 November 1975, yang Inti isinya adalah pernyataan kesepakatan mereka atas nama rakyat Timor Timur (sebelumnya Timor Portugis), memproklamasikan pengintegrasian bekas Timor Portugis ke negara kesatuan RI sebagai provinsi ke-27.

                Dalam kondisi dunia yang masih mengalami Perang Dingin, dan melihat Angola dan Mozambik yang akrab dengan Uni Sovyet dan Kuba setelah merdeka dari Portugis, dan kekalahan di Vietnam tentu saja menimbulkan kekhawatiran Amerika  dan Australia yang amat berkepentingan untuk kebebasan angkatan militernya di Samudra Pasifik dan Samudera Hindia, dengan hapusnya negara Timor Leste (baca : Timor Portugis) yang sosialis kiri. Melihat rekam jejak Indonesia dalam melikuidasi Komunisme ketika terjadi G30S/PKI pada tahun 1965. Maka terjadilah tekanan dari Barat khususnya AS dan Australia yang tidak mau bergerak sendiri dan lebih memanfaatkan Indonesia yang kuat sikap antikomunisnya.           

INVASI INDONESIA

Alasan utama Indonesia bergerak dalam konflik horizontal di Timor Portugis adalah melarikan dirinya Lemos Pires ke Atauro, yang pada akhirnya ditafsirkan sebagai sikap tidak bertanggung jawab Portugal. Portugal lari tunggang langgang ketika kondisi Timor Portugis masih sangat porak poranda. Pires sebagai perwakilan pemerintahan Portugal di Timor, tidak mampu berbuat apa-apa.

Padahal sebelum Invasi dilakukan, Indonesia terlebih dahulu telah ikut melibatkan diri di konflik Timor Portugis, diawali Operasi Prihatin (Penggalangan Politik), kemudian Operasi Flamboyan (Operasi Intelijen), dan diteruskan dengan Operasi Seroja pada tanggal 7 Desember 1975.

KEGANJILAN OPERASI SEROJA

Letjen TNI (Purn.) Sayidiman Suryohadiprojo yang saat itu sebagai Gubernur Lemhannas, mengaku tidak pernah diajak bicara mengenai proses pelaksanaan serangan pasukan Indonesia 7 Desember 1975, walaupun cukup masuk akal, karena Gubernur Lemhannas tidak terlibat dalam fungsi operasi. Akan tetapi, sangat mengherankan ketika Kepala Staf TNI AD Jenderal Widodo, Kepala Staf TNI AL Laksamana Subono, dan kepala Staf TNI AU Marsekal Saleh Basarah juga tidak diajak bicara. Padahal, dalam operasi yang relatif besar ukuranya pada 7 Desember 1975 itu digunakan kekuatan-kekuatan binaan KSAD,KSAL,dan KSAU. Menurut Pak Widodo, dalih yang diberikan mengapa para kepala staf angkatan tidak diajak bicara dan melarang dia pergi ke Dili adalah bahwa dilakukan Operasi Intelijen. Dengan alasan itu, semua kegiatan menjadi monopoli para petinggi intelijen yang dipimpin Asisten Intelijen Hankam/ABRI. 

Jenderal Maraden Panggabean (MP) yang menjabat sebagai Menhankam/Pangab pada tahun 1975, mengatakan bahwa pada akhir November 1975 Mayor Jenderal L.B. Moerdani (LBM), Asisten Intelijen Hankam /ABRI, menghadap dan memohon agar dapat segera menghadap Presiden Soeharto (PH). Pak MP menjawab bahwa PH sedang sakit dan ada dirumah di tempat tidur. Namun, LBM terus mendesak sehingga MP tidak tahan terhadap desakan LBM dan akhirnya mendampinginya menghadap PH. LBM melaporkan kepada PH bahwa keadaan di Timor Indonesia gawat. Sebagai akibat tindakan kejam Fretilin terhadap lawan-lawannya di Timor Portugis, banyak rakyatnya bergerak mengungsi ke Timor Indonesia. LBM khawatir Fretilin akan menggunakan keadaan itu untuk bergerak masuk ke daerah Indonesia dan melanjutkan tindakannya di daerah Indonesia. Untuk mengakhiri pengungsian yang banyak itu, LBM mengatakan bahwa Fretilin harus diserang di Timor Portugis. PH menjawab “ Beliau tidak mendapatkan mandat MPR untuk masuk dan menguasai Timor Portugis “.

Akan tetapi, LBM terus mendesak bahwa perlu tindakan segera. Kalau tidak, Indonesia akan mengalami banyak masalah. Mungkin karena PH sedang sakit dan menerima mereka sambil tiduran di kamar tidur, akhirnya PH mengalah . PH bertanya kepada LBM apa sudah siap untuk bertindak, yang dijawab dengan tegas oleh LBM,”sudah”.

Kemudian PH mengatakan,”boleh bergerak sebagai operasi intelijen !”. Instruksi PH inilah kemudian yang menjadikan landasan untuk melakukan serangan pada 7 Desember 1975. Namun, instruksi melakukan operasi intelijen rupanya disalahartikan. Pada dasarnya satu operasi intelijen adalah tertutup (covert), bukan secara terbuka. Jadi, melaksanakan operasi intelijen dengan cara operasi militer konvensional merupakan keganjilan, bahkan kesalahan. Apalagi melakukan operasi sebagai satu operasi yang begitu spektakuler berupa operasi gabungan antar angkatan dengan disertai operasi lintas udara (airborne operations) pada dasarnya satu kesalahan.

Mayjen L.B. Moerdani memegang peran kunci dalam operasi ini, walau secara operasional komando berada di tangan Mayjen Soewono, Panglima Komando Wilayah Pertahanan (Pangkowilhan) II. Diakui, operasi di Timtim ini sebagai yang terbesar setelah kemerdekaan Indonesia. Operasi ini menurunkan sekitar 10.000 personel dari Kopassandha (Komando Pasukan Sandhi Yudha/Kopassus), Kopasgat (Komando Pasukan Gerak Cepat), Korps Marinir, serta Batalion dari Divisi Siliwangi dan Brawijaya.

DIMANA POSISI BARAT ?

Pada awalnya keputusan Indonesia didukung pihak Barat dan Jepang. Hal itu dipastikan Chomsky, dalam The Guardian. London, 7 Mei 1994. Ia menggambarkan persoalan Timtim dengan mengutip ucapan Menlu Ali Alatas yang sangat terkenal sekitar tahun 1992. Waktu itu, Alatas mengatakan bagi pemerintah, masalah Timor Timur telah menjadi seperti "sebuah kerikil tajam dalam sepatu". Chomsky mengakui, pihak Barat memang tidak mempertajam kerikil itu . Tetapi sebaliknya , Barat dan Jepang justru berada dipihak Indonesia saat memutuskan memasuki Timtim.

Tidak hanya berhenti disitu, Chomsky juga mengutip laporan Kedutaan Inggris di Jakarta. " Jelas terlihat dari sini, sebenernya niat Inggris, bahwa Indonesia harus secepat mungkin menyerap (absorb) wilayah itu tanpa harus menonjolkan diri, dan jika menjadi genting dalam jajaran masalah di PBB, kita harus tetap menundukan kepala, menghindari benturan dengan pemerintah Indonesia."

Begitu juga Australia, Menurut Chomsky, Agustus 1975, Dubes Australia untuk RI, Richard Woolcott mengirim kawat, menyatakan "Australia harus lebih bersikap pragmatis daripada setia pada prinsip." dalam pandangan Woolcott, urusan Celah Timor akan lebih mudah dirundingkan dengan Indonesia daripada dengan Portugal atau Timor Portugis yang merdeka.

Sedangkan Amerika tidak bisa dikatakan lepas tangan, karena 90 persen senjata RI pasokan AS. Tulisan Chomsky itu kemudian dijadikan kata pengantar karya Matthew Jardine yang berjudul East Timor: Genocide in Paradise, Odinian Press, Tucson, Arizona, 1995.

Jardine dalam tulisannya mengemukakan, "Lima hari setelah invasi (sebutan Jardine untuk masuknya Indonesia ke Timtim), Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi yang menyesalkan invasi itu, meminta Indonesia segera menarik pasukannya, serta membenarkan hak rakyat Timor Timur untuk melaksanakan penentuan nasib sendiri (self determination).

Keputusan ini didukung oleh 72 suara, Sepuluh suara diantaranya menentang, dan 43 abstain. dari yang 43 itu, termasuk Amerika Serikat, Kanada, dan Eropa Barat. Hingga 1982, Majelis Umum PBB setidak-tidaknya telah mengeluarkan tujuh resolusi tentang Timtim. Namun, Pransis, Jerman, dan Inggris selalu abstain, sedangkan Amerika, Australia, dan Jepang lebih banyak mengatakan "tidak".

Sebenarnya, dari awal, posisi Amerika Serikat sudah lebih jelas. tidak sampai 24 jam, sebelum RI memasuki Timtim, Presiden AS Gerald Ford dan Menlu Henri Kissinger bertemu Presiden Soeharto dalam kunjungan singkat ke Jakarta. Seiring dengan kunjungan itu, Indonesia pun menunda serangan hingga pukul 02.00 dini hari, sambil menunggu kedua pejabat tinggi AS itu pergi.

Bisa dipastikan dengan adanya persetujuan penundaan penyerangan, Amerika memberi lampu hijau pada upaya Indonesia itu, "Amerika memahami posisi Indonesia dalam kasus Timor Timur" kata Henri Kissinger di Jakarta. Sedangkan Presiden Ford mengatakan, jika harus memilih antara Timor Timur dan Indonesia, Amerika harus berada di sisi Indonesia.

Hal itu diperkuat Arnold S Kohen dalam From the Place of the Dead: Bishop Belo and the Struggle for East Timor, terbitan Lion, Australia, 1999. Ia menuliskan, "Jelas, tidak akan ada invasi besar-besaran oleh Indonesia tanpa dukungan senjata Amerika" (h. 33). Dalam salah satu testimoninya tahun 1997, Amerikamenatakan bahwa 90 persen persenjataan di Angkatan Bersenjata Indonesia tahun 1975 merupakan pasokan dari Amerika.

Sedangkan Jepang selalu menolak kedelapan resolusi tentang Timtim yang dikeluarkan PBB. Menurut Jardine, itu semata-mata karena hubunganya yang sangat dekat pada saat pemerintahan Presiden Soeharto. Tahun 1975 itu, Jepang merupakan salah satu investor asing terbesar. data dari Dana Moneter Internasional (IMF) menunjukan, tahun 1992 Jepang menerima 37 persen dari ekspor Indonesia tahun 1991 yang sebagian besar berupa minyak dan gas alam.

Begitu juga dengan Kanada memilih mendukung Indonesia untuk mempertahankan investasinya yang waktu itu mencapai 5 milyar dolar Kanada. Posisi Abstain Inggris, antara lain disebabkan oleh keinginannya untuk meneruskan penjualan pesawat tempur Black Hawk ke Indonesia.

Persoalannya, negara-negara itu pada akhirnya justru berbalik dan sebagian mengingkari pernyataannya. Apa sebabnya? Tak ada jawaban pasti. Yang pasti, Timor Timur telah menjadi Timor Leste. Setelah jejak pendapat yang dilakukan pada 30 Agustus 1999 dan dengan perolehan 344.580 suara dimenangkan pihak yang menolak otonomi (78,5 persen), sedangkan 94.388 suara menerima otonomi  (21 persen), dan 7.985 suara dinyatakan invalid. Dan baru pada 20 Mei 2002 Timor Leste resmi dinyatakan merdeka.


Daftar Pustaka 

Timor Timur: Satu Menit Terakhir, Catatan Seorang Wartawan, CM Rien Kuntari

Timor Timur the Untold Story, Kiki Syahnakri

http://hass.unsw.adfa.edu.au/timor_companion/countdown_to_freedom/kolonialisme_timor-leste.php

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama