40 Tahun Pertempuran Motaain

  Laras Post, 28 September 2015

Peter A. Rohi,

Konseptor Harian Sinar Harapan


Laporan saya dari Timor Leste yang dimuat 
sebagai  laporan utama di halaman 1 Harian 
Pikiran Rakyat. 

TANGGAL 14 September 1975. Empat puluh tahun lalu ketika saya menyusup ke Batugade, meliput pertempuran antara pasukan Apodeti (Associacao Popular Democratica Timorense) bersama pasukan UDT (Uniao Democratica Timorense). melawan pasukan Fretilin (Frente Revolucionario de Timor Leste independente ) . 

Sebulan sebelumnya, tepatnya tanggal 11 Agustus 1975 UDT lebih dulu memproklamirkan diri sebagai penguasa tunggal di situ; Tetapi UDT tetap berada di bawah Portugal sebagai protektorat. Sedang Apodeti ingin merdeka dari Portugal dan bergabung dengan Indonesia.  Akhirnya keduanya bergabung untuk melawan Pasukan Fretilin yang ingin berdiri sendiri sebagai negara merdeka.  

Tentu saja semua wartawan RI berpihak pada Apodeti. Harapan kami segera dilakukan pendekatan damai melalui diplomasi agar tidak banyak terjadi korban jiwa. Maklumlah, sebagai orang Timor warga negara Indonesia saya setuju dengn planningnya Gubernur NTT El Tari, agar integrasi dilakukan dengan pendekatan social budaya dan historis, tidak melalui perang berdarah.  

Tetapi sebelum Apodeti bergerak, Fretilin telah membuat gerakan mencounter gerakan UDT. Mayor Mota yang menguasai gudang senjata lebih bersimpati pada gerakan sosialis dan mempersenjatai Fretilin, partai yang berazaskan sosialisme itu..UDT yang makin terdesak akhirnya membuat pertahanan di tepi pantai hanya seratus meter dari pos Indonesia di Motaain. Pos Indonesia yang kosong berukuran kecil, hanya ada sebuah meja tanpa kursi di situ sudah lama kosong. Beberapa kali pos itu menjadi tempat bermalam saya seorang diri. 

Suatu pagi pertahanan UDT diserang dari laut. Anak2 remaja portugal dan blasteran berlompatan menindih saya yang sedang mengambil potret dari balik perahu.menyaksikan apa yang terjadi. Fretilin melakukan penyerangan, bahkan melewati perbatasan. Saya yang berada di tengah bersiliwerannya peluru tiarap, tapi kepala saya tetap terangkat untuk membuat foto dan tentu agar bisa melaporkan apa yang terjadi.

 Dukungan saya pada Arnaldo Dos Reis Araujo.

Saya melihat Irene, seorang perawat dan seorang temannya yang yang juga cewek melarikan diri  dari Dili dengan menggunakan Jeep tertembak di rusuk kiri. Untung tembakan itu agak ke bawah sehingga tidak menyentuh jantungnya. Sedang seorang anggota UDT yang tiarap tidak jauh dari saya tertembak di kepalanya. Otaknya berserakan.  

Pasukan Fretilin makin mendesak dan akhirnya UDT tidak lagi berdaya. Tanggal 24 September di sebuah sekolah di tepi pantai, yang berhadapan dengan benteng Batugade ditandatanganilah Petisi 31 Pasal yang intinya bergabung dengan Indonesia. 

Benteng Batugade dipakai UDT untuk menawan Komandan Kompie V Bononaro, Mayor Rodriguez dan anak buahnya. Saya berhasil menyusup ke benteng UDT yang dijaga ketat itu dengan menyamar sebagai anggota Apodeti. Saya melaporkan adanya tawanan di situ. Berita saya itu dikutip kantor berita asing dan sampai ke Palang Merah Internasional di Swiss. Presiden Palang Merah Internasional Dr Michael Testuz segera datang meninjau mereka dan meminta semua pihak untuk memperlakukan tawanan itu sesuai dengan Konvensi Jenewa.

Pihak militer Indonesia tampaknya berkeberatan, tidak memberinya fasilitas. Tapi diam-diam dia menyewa sepeda motor dari Atambua seorang diri menuju Batugade. Saya menyodorkan pulpen dan bloknote agar dia bisa mencatat nama2 para tawanan itu. 

Semua mata, kebanyakan intelijen yang berkeliaran di situ memandang saya dengan sinis. Bahkan ada yang melotot, ingin membuat saya ciut dan ketakutan. Tapi saya tidak peduli, karena apa yang saya lakukan itu demi kemanusiaan. 

Suatu hari saya berada di Motaain, bertemu mantan anak buah saya dari Batalyon Tank Amphibie KKO-AL. Beberapa dari mereka meminta saya untuk memperbaiki sistem jaringan radio dalam tank. Saya memang yang merawat jaringan radio Batalyon Tank Amphibie KKO-AL sekaligus dengan sandi jaringan radionya. 

Begitu saya selesai beberapa anggota KKO yang datang darti Balibo memberitakan tertembaknya lima wartawan Australia di Balibo.

Empat puluh tahun yang lalu, kami berjuang untuk Timor Timur masuk ke wilayah RI. Tetapi kemudian penyerangan atas masyarakat yang sedang beribadah dan ziarah di pemakaman Santa Cruz, dalam sekejap menghancurkan semua strategi dan harapan. Demi kemanusiaan, sebaiknya mereka merdeka, pikir saya. Kemerdekaan tanpa kemanusiaan lebih kejam dari penjajahan.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama