MEMBEDAH KEPUTUSAN JAJAK PENDAPAT SETELAH 20 TAHUN

 MINGGU, 27 JANUARI 2019



Oleh: Basmeri

...kalau rakyat Hawai ingin bersatu dengan Amerika Serikat yang terpisah oleh samudera yang luas tidak dianggap aneh, mengapa pula keinginan rakyat Timor Timur untuk bergabung dengan Indonesia yang hanya dipisahkan oleh suatu garis buatan di darat yang pernah dibuat oleh orang-orang asing harus dianggap aneh? (Arnaldo dos Reis Araujo)

Kutipan di atas sebagai pintu masuk melihat kembali keputusan politik presiden Habibie tentang jajak pendapat Timor Timur (Timtim) yang pada hari ini tanggal 27 Januari 2019 genap 20 tahun. Bagi kelompok anti integrasi keputusan ini dianggap berkah sebaliknya bagi kelompok pro integrasi (Integrasionis) keputusan ini diterima sebagai  tragedi politik. Tragedi politik eksesif yang menjadi bagian dari sejarah kehidupan kaum integrasionis hingga waktu tidak terbatas sebab menjadi beban psikologi, sosial dan politik dalam kehidupan kaum integrasionis. Pemerintah dan sebagian besar masyarakat Indonesia boleh menganggap persoalan Timtim sebagai masa lalu yang telah terkubur, namun bagi kaum integrasionis persoalan itu belum selesai.  Akibat dari keputusan ini tidak hanya menyebabkan perubahan batas teritorial dimana  Timtim bukan lagi menjadi wilayah NKRI, tetapi juga menyebabkan pengungsian besar-besaran warga Timtim pro Integrasi  ke NTT dan wilayah lain di Indonesia.  Pengungsian besar-besaran ini merupakan wujud  kesetiaan kepada NKRI meski puluhan tahun menjalani hidup dengan segala keterbatasan di pengungsian. 

Pada tataran ini, penulis sebagai bagian dari mereka yang merasakan langsung dampak eksesif keputusan itu, berupaya melihat kembali persoalan itu dari sudut pandang warga Timor Timur Pro Integrasi. Kami tidak sebatas melihat ini sebagai suatu kecerobohan politik masa lalu yang tidak patut berulang. Namun juga  mendorong sikap politik para pemimpin negara ini untuk lebih arif dan bijak di dalam mempertimbangkan sebuah kebijakan politik penting menyangkut masa depan negara dan bangsa ini.  Seyogyanya para pemimpin negara mendudukan kepentingan negara dan bangsa sebagai satu kedaulatan politik yang tidak mudah terhempas oleh tekanan internasional. Persepsi dan sikap politik para pemimpin negara atas konsepsi NKRI hendaknya selaras dengan masyarakat umum, sebagaimana amanah konstitusi. Keselarasan pemikiran dan pemahaman konsepsi NKRI akan mengikat semua pihak dalam berbicara dan bertindak di ranah nasional maupun fora internasional. Sehingga tidak ada perbedaan persepsi dan sikap politik dalam kebijakan dan tindakan politik di antara pemimpin negara maupun dengan pembantu-pembantunya (baca: menteri). Berdasarkan pandangan ini, keputusan jajak pendapat menegaskan ketidakselarasan persepsi dan sikap politik di antara presiden dengn para menteri, khususnya dengan kementerian luar negeri. Untuk menyoroti permasalah ini dengan mengambil kasus keputusan jajak pendapat Timor Timur penulis akan membatasi pada (tiga) hal krusial yg secara secara definitif diabaikan di dalam  keputusan jajak pendapat Timor Timur (selanjutnya disingkat KJPTT).

Pertama; KJPTT mementahkan keseluruhan perjuangan politik negara melalui kementerian luar negeri sejak tahun 1975 di berbagai level forum internasional. Pada saat bersamaan juga membawa konsekuensi politik yang tidak mampu dinormalisasikan yaitu i) mendelegitimasi kesepakatan politik mayoritas masyarakat Timtim untuk berintegrasi ke dalam NKRI melalui 4 (empat) koalisi partai politik yang dimotori APODETI dan diagregasikan dalam Deklarasi Balibo 30 November 1975 sebagai wujud self-determination yang ekspresif dan riil, ii) menegasikan seluruh upaya politik dan pembangunan yang dilakukan negara di wilayah Timtim baik oleh pemerintah maupun oleh TNI-POLRI yang secara langsung dapat juga dilihat sebagai pengakuan presiden bahwa berbagai upaya negara membangun Timtim adalah hal yang keliru, iii) mendeklarasikan kepada warga negara Indonesia dan dunia bahwa tuduhan pihak asing kepada Indonesia sebagai negara penjajah Timtim adalah benar, dan iv) karena itu menjadi bangsa pelaku pelanggaran HAM berat di Timtim dengan membawa beberapa petinggi TNI ke dalam daftar pelanggar HAM. Pada tataran ini sesungguhnya NKRI secara faktual tunduk kepada eksistensi perlawanan kaum separatis FRETILIN yang merupakan satu satunya partai politik yang menolak integrasi. Perjungan politik yang dilakukan Pemerintah Indonesia mengenai mobilisasi dukungan politik dunia terhadap integrasi Timtim ke dalam NKRI sejak 1976 hingga 1999, merupakan kartografi perjuangan politik yang panjang dalam berbagai arena diplomasi dengan dinamika yang fluktuatif. Capaian-capaian siginifikan dalam rentang waktu lebih dari dua dekade runtuh di hadapan keputusan jajak pendapatnya Habibie. Keberhasilan lobi dan negosiasi menarik dukungan negara-negara PBB yang berseberangan maupun abstain dalam UN General Assembly Votes on East Timor (1976-1982) bukan hal menarik menurut Habibie. Berbagai sumber daya yang dikerahkan untuk kepentingan politik ini, tidak menjadi bahan pertimbangan Presiden Habibie. Pertimbangan-pertimbangan pragmatis jangka pendek tanpa melihat resiko domino politik ke depan, melahirkan pemikiran bahwa KJPTT lebih beradab dalam menyelesaikan persoalan Timtim. Tekanan politik dunia yang searah dengan perlawanan FRETILIN dan propaganda kemerdekaan Timor Timur di ranah global, turut mempengaruhi dinamika diplomasi politik Indonesia dengan Portugal mengenai status Timtim. Dimediasi Sekjen PBB, Indonesia – Portugal dipertemukan pada level menlu dan alotnya pembicaraan kedua pihak membawa konsekuensi pada tertundanya keputusan final mengenai penyelesaian masalah Timtim. Ketika Habibie mengeluarkan opsi kedua KJPTT sebagai penyelesaian masalah Timtim, secara fundamental telah mengabaikan landasan historis dan landasan hukum perjuangan politik dalam mendapatkan pengakuan dunia atas integrasi Timtim ke dalam NKRI.

Kedua; KJPTT ini telah menabrak peraturan perundang-undangan yang mengukuhkan integrasi Timtim ke dalam wilayah NKRI baik itu TAP MPR RI No. VI/MPR/1978  tentang Pengukuhan Penyatuan Wilayah Timor Timor ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, UU No. 7 Tahun 1976 tentang Pengesahan Penyatuan Timor-Timur Ke Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia Dan Pembentukan Propinsi Daerah Tingkat I Timor-Timur dan KEPPRES No. 62 Tahun 1988 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan di Propinsi Daerah Tingkat I Timor Timur. Sehingga keputusan politik presiden ini secara diametral bertentangan dengan dasar hukum pengakuan integrasi dan pembangunan di Timtim sendiri. Kedudukan keputusan politik Habibie tidak pernah lebih tinggi status hukumnya dari ketiga peraturan perundangan-undangan tersebut di atas. Mengingat bahwa pengukuhan integrasi melalui TAP MPR RI dan UU, maka keputusan memberikan opsi jajak pendapat kepada Timtim idealnya harus melalui pembahasan di MPR RI dan DPR RI, untuk memperoleh kekuatan hukum dan politik dalam menerbitkan kebijakan politik terkait potensi disintegrasi wilayah NKRI melalui KJPTT itu. Pengabaian hal ini tidak hanya memperlihatkan bahwa presiden tidak memahami prosedur hukum dan politik, tetapi juga upaya sadar melepaskan sebagian wilayah teritori NKRI yang secara hukum merupakan tindakan pidana. Integrasi Timtim yang dikukuhkan melalui peraturan perundangan-undangan secara de jure et de facto menjadikan Timtim adalah bagian dari wilayah NKRI yang harus dilindungi dan dipertahankan sebagai tumpah darah Indonesia bukan saja oleh pemerintah namun oleh segenap bangsa. Dalam konteks ini, kalangan terpelajar seperti analis hukum dan politik, akademisi, politisi, pengamat hukum maupun politik serta kalangan aktivis sosial tidak mampu mempersoalkan keputusan politik ini dalam konteks de jure pada kerangka keutuhan NKRI. Sebaliknya banyak kelompok terpelajar dan aktivis Indonesia tidak hanya mendukung keputusan politik ini namun lebih jauh memastikan Indonesia sebagai penjajah dalam berbagai frasa multi versi. Sementara media massa dalam negeri tidak menempatkan kepentingan nasional atas pemberitaan persoalan ini secara baik dan utuh, melainkan mengejar rating dan cenderung melakukan trial by the press. Pada hal dalam kondisi ini negara membutuhkan dukungan masyarakat dan media dalam negeri untuk membendung pandangan dan kontruksi wacana politik media asing yg menyebabkan tekanan politik internasional pada kasus  Timtim. Namun menghadapi tekanan politik internasional konstitusi pun dapat diabaikan oleh pemerintah negara ini secara sadar.  KJPTT adalah bukti nyata kebijakan politik yang bertentangan dengan konstitusi yang mengharuskan terlindungnya segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Ketiga; KJPTT merupakan gambaran sikap pemerintah Indonesia mematuhi (kalau bukan menyerah) pada tekanan dunia. Faktualnya, tekanan dunia hanya datang dari dua pihak yaitu Portugal selaku kolonialis Timtim yang ingin membersihkan kegagalan dirinya selaku penjajah dan FRETILIN selaku kelompok separatis  yang menolak integrasi dengan dukungan para leaders-nya di luar negeri. Tekanan ini dalam perjalanannya mendapat dukungan dari beberapa negara yang secara aktual dan kontinyu hadir dalam berbagai media massa asing dan mengundang sikap tegas PBB yg masih menganggap Portugal sebagai administering power atas Timor Portugis meskipun secara de facto Portugal telah lari  meninggalkan Timtim dalam perang saudara. Meski demkian apa pun bentuk tekanan dan sikap PBB atas persoalan Timtim, Indonesia sebagai bagian dari PBB sudah menempuh semua jalur politik yang diperkenankan. Sejak ahun 1976 hingga 1982 masalah integrasi Timtim diperbincangan dalam UN General Assembly Vote dan memperlihatkan bahwa Indonesia yang hanya didukung oleh 9 negara pada 1976 menjadi 46 negara di tahun 1982. Dukungan yang terus bertambah ini tidak dilihat sebagai keberhasilan diplomasi Indonesia, tetapi sensitivitas politik diarahkan merespon tekanan dunia, sehingga KJPTT dilihat sebagai solusi atas masalh Timtim. 

Uraian di atas menggambarkan bahwa masih rendahnya kesadaran berbangsa dan bertanah air baik dalam pemerintah maupun dalam masyarakat Indonesia sendiri. Rendahnya kesadaran ini mempermudah lahirnya kebijakan politik yang dapat saja keliru. Rendahnya kesadaran ini turut membantu lahirnya keputusan politk yang keliru bahkan bertentangan dengan landasan politik dan hukum yang tengah berlangsung dalam kehidupan politik negara dan bangsa ini. Setelah 20 tahun berlalunya keputusan jajak pendapat, keputusan ini tetaplah  sebuah kecerobohan politik yang tidak mendapatkan pembenaran hingga tulisan ini dibuat. Di lain pihak persoalan yang melingkupi masyarakat pengungsi asal Timor Timur di wilayah Timor Barat tidak kunjung berakhir. Mereka yang  setia kepada NKRI hingga hari ini belum menandatangani hasil dari jajak pendapat, sebagai bentuk penolakan atas hasil tersebut yg menurut kelompok ini dilakukan dengan segala  kecurangan sistematis.

Pelajaran dari persoalan di atas adalah segenap pihak khususnya pemerintah seharusnya menumbuhkembangkan kesadaran akan makna kebangsaan dan bertanah air yang satu, sebagai pijakan moral politik pemerintah Indonesia dalam menjalani tugas dan fungsi termasuk melindungi segenap bangsa Indonesai dan seluruh tumpah darahnya melalui berbagai kebijakan dan tindakan hukum dan politik. Di sisi lain masyarakat umum pun harus jujur bersikap secara realistis berdasarkan data valid dan realibel merespon suatu persoalan dalam negeri sehingga menjadi kontribusi pemikiran yang solutif dalam membantu pemerintah mencari solusi terbaik atas problematika yang dihadapi bangsa dan negara. Peristiwa lepasnya Timtim sebagai bagian dari NKRI merupakan preseden penting dalam membangun kesadaran politik kebangsaan di tanah air. Kesadaran politik yang memperteguh semua elemen masyarakat dalam kesadaran akan keutuhan sebagai satu kesatuan NKRI dan bertanggungjawab mempertahankannya dari berbagai bentuk ancaman internal maupun eksternal dalam aneka modul operandi di masa depan. 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama