(Tahun tulisan: 6 September 2016 -- Oleh: Aboeprijadi Santoso)
Sisi Sepi Sebuah Transisi
NAMANYA tak disebut-sebut dalam hiruk-pikuk pemberitaan seputar Jajak Pendapat PBB (UN Plebiscite) di bekas propinsi RI ke-27 Timor Timur pada 1999. padahal Adi Sasono, yang baru-baru ini wafat, adalah salahsatu dari ‘Trio Habibie’ yang berperan dalam transisi 1997-1999. Pers asing malah mencatatnya, meski cuma sepintas, ketimbang pers kita. Maklum, media massa Indonesia dibesarkan di bawah ketiak Orde Baru. Mereka terbiasa menulis dalam narasi dan semangat bahwa Indonesia telah mengucurkan trilyunan dana “pembangunan” dan kini harus “kehilangan” sebuah propinsi yang “tak tahu berterima kasih”. Jadi, “pantaslah” bila tentara kita hengkang dengan penuh amarah dan kekerasan. Dalam kerangka itu, biang kerok “lepasnya” Tim-Tim bukan keangkuhan dan kelemahan kita, melainkan permainan adidaya Amerika Serikat, yang mendukung invasi, tapi selepas Perang Dingin menyia-nyiakan kita, dan Australia, yang mengincar minyak di Laut Timor. Begitu alur gagasan media umumnya.
Walhasil, publik dan media di bawah rezim SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) di era Orde Baru sungguh asing terhadap narasi sebaliknya, yakni alur-pikiran tentang perlunya “aparat” negara meninggal-kan wilayah jajahan yang diduduki secara paksa, yang menjadi beban negara ketika “demokrasi menjadi hak hak rakyat”.
Nah, relevansi, kebutuhan, dan kemudian desakan demi memajukan diskursus politik ini tidak hanya datang dari para aktivis jalanan yang terorganisir di dalam mau pun luar negeri dan LSM mau pun gerakan solidaritas. Trio Habibie sebelum jatuhnya Soeharto juga berpendapat Indonesia tidak berhak atas Timor Timur dan isu ini hanya merugikan bangsa. Tulisan ini tidak menyajikan risalah lengkap, melainkan mencatat konteks dan indikasi peran tersebut. Ini cuma catatan awal.
London April 1998
April 1998, sebulan sebelum Presiden Soeharto turun, Wakil Presiden B.J. Habibie memimpin Delegasi RI menghadiri KTT ASEM (Asean-Europe Meeting) II di London, diikuti stafnya, termasuk sejumlah tokoh ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Saat itu penguasa Orde Baru was was terhadap kelompok-kelompok perwira tinggi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) yang selama dekade 1990-an terlibat pergulatan kuasa internal seputar isu Tim-Tim. Soeharto tengah gandrung dengan politisi Islam. Sejak 1970-an, jauh selepas Genosida 1965, Orde Baru tidak lagi khawatir perlawanan kelompok massa. Dengan sumpah serapah “Gebuk!” (1989) yang dialamatkannya kepada Jenderal Benny Moerdani dari pesawat sepulang dari Beograd, Yugoslavia, obsesi Soeharto beralih ke aparat bekas tunggangannya, yaitu bagaimana mengatur agar elite ABRI tidak menyusun kekuatan dan mengganggu stabilitas kuasanya. Saat itulah dia menyiapkan dukungan baru dengan merayu Islam politik (political Islam) dengan mendirikan ICMI. Di persimpangan itu pula Adi Sasono dkk. berbicara tentang ABRI dan pimpinan negara yang diisyarat-kannya dengan sebuah kata yang kerap disebutnya: “aparat”.
Di London akhir 1998 itu, Adi Sasono hadir sebagai anggota delegasi Wapres B.J. Habibie yang juga Ketua ICMI. KTT Uni Eropa-Asean itu tidak lebih dari sebuah babak diplomatik baru. PM Inggris Tony Blair dan Uni Eropa bermaksud mengajak Asean merangkul rezim eks Khmer Merah Hun Sen, untuk membendung pengaruh kebangkitan Vietnam. Saya sudah lelah meliput pertengkaran Kamboja antara Hun Sen dan eks Khmer Merah, Eropa dan Asean sejak awal 1990-an. Tugas saya untuk Radio Nederland meliput KTT ini tidak terlampau berkesan, maka saya menemui Adi Sasono. Mas Adi (demikian ia disapa) saya kenal sejak pertengahan 1980-an di tengah aktivis-aktivis lokal dan INGI: Adnan Buyung Nasution, Mulya Lubis, Hakim Garuda Nusantara, Gus Dur, Pipit Rochijat, dll, yang berkumpul di bungalow Bang Buyung yang nyaman di pinggir Hilversum. Sesekali kami – Buyung, Gus Dur, Aswab Mahasin, Adi Sasono (semuanya kini telah almarhum) dan Dawam Rahardjo – berkumpul di rumah saya di Amsterdam. Dari semua itu hanya sedikit, a.l. Adi Sasono, yang berperan penting di masa transisi 1997-1999.
Ketika saya temui di London berdua saja – dia yang memilih tete a tete – mas Adi spontan menyapa “Hai Tos, selamat ya! Tim-Tim .. beres deh!” Saya tertegun. Aaach, .. apanya yang “beres”? Mengapa pula dia katakan itu dengan nada menjanjikan? Soeharto saat itu masih jaya. Perkembangan terakhir menunjukkan Menlu RI Ali Alatas dan, sebelumnya, Uskup Timor Carlos Felipe Ximenes Belo mencoba membujuk presiden agar mempertimbangkan opsi Otonomi Khusus, tapi Soeharto menolak mentah-mentah. Jenderal satu ini memang angkuh. Pernah, saat berdua di helikopter usai meresmikan patung Yesus ‘Christus Rei’ di Dili, Uskup Belo memohon kesempatan audiensi di Jakarta, Soeharto cuma membalas dengan senyum kosong. Belakangan Alatas pun terpaksa menangkis pertanyaan pers sekitar special autonomy dengan menggambarkan sikap ‘sepihak’ para penyokong Timor Timur. “Well, .. they want to have the cake and eat it, too, he?” tukasnya menuduh seolah mereka mau enaknya sendiri saja tanpa mengindahkan kepentingan Indonesia.
Soeharto adalah Gubernur Jenderal yang berkuasa paling lama di Nusantara. Dia berambisi digdaya, menuntut keamanan yang mantap dan tandas, dan perangkat kuasa-nya sejajar dengan Gouverneur General Hindia-Belanda yang memiliki exorbitante rechten (hak-hak luar biasa) dan menuntut Rust en Orde (Kamtibnas). Jika VOC (Kumpeni) masih berkompromi teritorial dengan Raja Raja Jawa, Soeharto – mirip Nederlandsch-Indie – tak hendak mengendorkan kuasa negara (kraton)nya. Jika ada penguasa ingin menggenggam kuasanya secara absolut di Tim-Tim dan Indonesia, maka Raja itu adalah Jenderal (jagal) Besar satu ini. Kuasa negara menjadi tolok ukur status sosialnya. Maka memberi hak khusus bagi Tim-Tim, Aceh, Papua, tak ada dalam kamusnya. Bahkan, lebih dari semua pendahulunya, dia berhasil menanamkan doktrin kesatuan teritorial dan kiat-kiat kuasanya pada aparatnya, ABRI. Soeharto boleh jadi sempat bimbang tentang cara-cara mencaplok Tim-Tim, tetapi sekali mencaplok – invasi 1975 berkat desakan Ali Moertopo, Benny Moerdani dan restu Presiden Amerika Serikat Gerard Ford dan Menlu Henry Kissinger – dia kepala batu. Selain itu – ini kita sering lupa – di tahun 1970-an itu Soeharto, semacam Napoleon dan Hitler untuk Eropa, melalui Menlu Mochtar Kusumaatmadja memaksakan konsep kesatuan “Wawasan Nusantara” dalam Law of the Sea yang mencakup Tim-Tim.
Dengan pintu yang tertutup rapat bagi solusi apapun bagi Tim-Tim pada 1997, maka ungkapan Adi Sasono yang antusias tadi menjadi teka-teki yang mencurigakan. Apalagi, ini terjadi satu setengah tahun sebelum Presiden Habibie mengusulkan jajak pendapat.
The Deep State
Sayang, tak banyak diketahui, cerita-cerita lengkap di balik semua itu. Barangkali ini perlu dimaklumi di saat mereka, Trio Habibie itu, harus berkutat di tingkat elit Negara yang berada dalam transisi hanya setahun sebelum, dan setahun sesudah, jatuhnya kediktatoran Soeharto. Timor Timur pada 1997-1998 ramai tentang hilangnya secara misterius pemimpin gerilya Falintil Nino Konis Santana dan kerusuhan-kerusuhan yang meradang dengan aksi-aksi lompat pagar aktivis-aktivis Timor oleh Luciano ‘Timor Maubere’ Conceicao dkk. di sejumlah perwakilan asing di Jakarta. Tapi Trio Habibie tidak berurusan dengan, bahkan tidak peduli perkembangan on the ground. Mereka jauh dari aktivisme pro-Timor yang dimotori teman-teman Timor, Indonesia dan asing, di dalam dan luar negeri.
Untuk ‘sektor’ ini, media pada 1990-an harus berpaling ke aktivis HAM terhormat Ibu Ade Rostina Sitompul, kawan-kawan aktivis LSM, PRD, Pijar, Solidamor, Yayasan Hak dll dan jurnalis-jurnalis di dalam dan luar negeri. Di Eropa kebangkitan gerakan pro-Timor sejak pertengahan 1970-an bergulir lebih dini dan lebih laju. Gerakan ini dirintis oleh Olle Tornquist dan Hendrik Amarhorseja di Stockholm, Swedia, kemudian Carmel Budiardjo dan Liem Soei Liong dari Tapol di London, Yvette Lawson dan Hasjrul Junaid dari Komite Indonesie di Amsterdam dan Kusni Sulang dan Umar Said di Paris. Kemudian juga George Junus Aditjondro sekembali dari AS (1992). Secara kronologis demikian, tapi bentuk dan bobotnya berbeda-beda: Tapol berperan kunci. Sejak 1994, dengan APCET di Manila – a.l. dengan Jose Ramos-Horta, Paulino ‘Mouk Moruk’ Gama, Rachland Nashidik, Tri Agus Siswowihardjo, Max Lane dan aktivis-aktivis Asia – kegiatan di Eropa itu bersambung dengan di Indonesia.
Trio Habibie jauh dari semua itu. Mereka ‘bermain’ di kutub seberang, di zona resmi Negara yang aman namun tidak populer bagi jejaring aktivis di masa hangat-hangat-nya Reformasi. Mereka berada di dalam State justru di saat lembaga dan aparat State itu ada di persimpangan krusial: menjadi sasaran protes sekaligus bertransisi. Sebagai peralihan, rezim ini juga ‘dikawal’ dari dalam tubuh rezim. Meminjam khasanah politik Turki, inilah apa yang disebut the Deep State, yaitu, unsur-unsur formal dan informal di dalam institusi-institusi Negara yang berambisi ala jenderal -jenderalnya Soeharto tengah giat mengintip tindak-tanduk penguasa resmi negara. Spektrumnya meliputi kelompok ‘Ijo royo-royo’ (Hijau, berorientasi Islam) seperti Feisal Tanjung, Prabowo, dan Kelompok ‘Merah-Putih’ (nasionalis) termasuk unsur-unsur intel BAIS bentukan Jenderal Benny Moerdani, sementara ‘kutu-kutu berbintang’ – seperti Pangab Wiranto, karena dia mantan ajudan Soeharto – melompat-lompat di antara kedua kubu itu. Tepat, pengamat Amerika Jeffrey Winter dini hari, di akhir Mei 1998, sudah memperingatkan bahwa Soeharto bukan “ stepping down” (turun), melainkan “stepping aside” (minggir).
Barangkali, justru karena berada di tengah elit negara tapi di luar elit militer itulah, Trio Habibie mampu ‘berbunyi’, karena membawa citra membangun demokrasi. Setidaknya sementara. Tapi di mata aktivis, mereka terabaikan dan dicemoohkan karena terbawa dan terwaris ‘cemar’. Mereka adalah “orang-orangnya Soeharto” yang menggantikan Soeharto dan orang-orangnya. Masih ingat gambar Habibie bagai Kaisar Napoleon yang galau, terpampang dalam di dinding Kedai Tempo di Utan Kayu, KBR68, Jakarta, tempat rendezvous para jurnalis dan aktivis kala itu?
Trio Habibie
Memandang rezim pengganti Soeharto yang sebelumnya jadi bagian dari rezimnya tidak berarti harus mengabaikan jerih payah dan makna episodenya. Ada kerancuan, memang, ketika Negara ‘hanya berganti baju’. Di satu pihak, mereka orang-orang lama, di lain pihak mereka berada di ambang era baru. Secara antropologis-historis, ini semacam rites de passage (alih-jenjang) seorang bocah. Ingat peran jejaka dan dara dengan gairah muda mereka di saat beranjak dewasa, pada usia 15-20an tahun, di tengah pergolakan 1940-an, sehingga perjuangan kemerdekaan kita pantas disebut ‘Revolusi Pemuda’. Soerjono, sohib eks-aktivis Pesindo yang menjalani detik-detik bergerak dari Blitar ke Surabaya dengan penuh gelora revolusioner, memastikan bahwa tanpa spirit pemuda tak akan ada ‘10 Nopember 1945’. Di akhir 1990-an, yang ‘muda’, yang ‘bocah’, bukanlah tokoh-tokohnya, melainkan elan dan semangat baru pasca-tiga dekade kediktatoran. Disini, analoginya ada di karakter peralihan emansipatif itu.
Ini penting untuk memahami upaya menggolkan gagasan dan jerih kerja mereka sehingga Presiden B.J. Habibie akhirnya mengusulkan Jajak Pendapat PBB untuk Timor Timur. Setidaknya tiga di antara mereka ini adalah trio Ginanjar Kartasasmita, Dewi Fortuna Anwar dan Adi Sasono. Ginanjar kala itu memangku jabatan resmi selaku Menteri Energi dan Pertambangan di Kabinet Habibie. Sekembali dari sebuah konferensi di Jenewa, dia mengeluh tentang kealotan dan kerewelan sikap komuniti internasional terhadap Indonesia karena terkendala oleh masalah Tim-Tim. Alatas, menlu yang paling kenyang menggeluti soal Tim-Tim, merumuskannya dengan jitu: ada “kerikil di dalam sepatu” kita. Jitu, tapi eufemistis: bukankah “kerikil” itu sesungguhnya sudah menjadi ‘batu karang’ di hadapan bangsa? Kami, aktivis-aktivis di luar negeri, lebih suka menyebutnya “Achilless’ heel” (Titik lemah rezim).
Input Ginanjar menjadi pertimbangan penting bagi B.J. Habibie saat belum lagi setengah tahun menjabat presiden. Sementara dua aktor yang lain, Dewi dan Adi, boleh jadi tak berbeda prinsip, namun berbeda tugas. Dewi berkiprah di panggung, Adi di balik panggung. Dewi, penasehat presiden bidang luar negeri, melayani media, tapi diam-diam juga bertemu dengan diplomat-perjuangan wakil resmi gerakan kemerdekaan Timor Timur CNRM, Jose Ramos-Horta dan beberapa aktivis di luar negeri. Keduanya sempat mampir di tetangga saya, Liem Soei Liong (Tapol) di Amsterdam. Sedangkan Adi Sasono bermain sepi. Habibie rupanya memerlukan mereka bergerak demikian. Pasca Mei 1998, soal Tim-Tim memanas, menjadi hot potatoes yang harus dituntaskan demi menanggulangi krismon dan menyukseskan kepresidenan Habibie. Bahkan, dengan serba cepat, sehingga Menlu Alatas di Jakarta, dan Wakil Tetap RI untuk PBB Wisnumurti saat mendarat di New York, terkejut ketika mendengar bahwa Habibie telah mengumumkan mengusulkan Jajak Pendapat PBB.
Di luar dugaan, para jenderal di kursi negara seperti Menko Polkam Feisal Tanjung dan Pangab Wiranto di hadapan Presiden Habibie menyatakan menyetujui gagasan jajak pendapat untuk Tim-Tim. Mereka yakin kelompok pro-integrasi bakal menang. Hanya satu jenderal – Zacky -mengaku meramalkan kemungkinan selisih tipis: kekalahan atau kemenangan kecil. Dari semak-semak Deep State inilah agen-agen intel mereka – Jenderal Zacky Anwar Makarim, Garnadi, Gleny Kahuripan, Adam Damiri, Tony Suratman, Yayat Sudrajat, Nur Moeis – menyiapkan Plan B yang dikenal sebagai “Dokumen Garnadi”. Oleh karena situasi remang-remang itulah, agaknya, Adi Sasono, bak agen intel, enggan bercerita lengkap, namun merasa cukup mengisyaratkan dengan menekankan pentingnya “aparat” meninggalkan bumi Timor Timur “karena demokrasi,” demikian tegasnya, “menjadi hak rakyat.” Habibie ingin bergerak cepat dan efektif – meski kadang emosional. Oleh karena itu, Trio Habibie merasa perlu menyiapkan jauh sebelumnya. Mereka tahu opsi Opsus bakal ditolak Soeharto, tapi dengan semangat dan ‘bahasa’ nasionalisme dan perhitungan politik dia mencari dan menata momentum untuk memantau “aparat” yang pada 1997 masih dicurigai Soeharto dan kemudian mengawal Habibie itu, demi menggolkan soal hak rakyat Tim-Tim.
Ikon-ikon bangsa terjajah
Tahun 1997 berlalu tanpa perubahan berarti bagi Timor Timur. Tahun 1998, tahun genting, tahun krusial, bagi Indonesia. Tahun 1999, tahun was was, tahun penentuan bagi Timor Timur.
Isyarat Ginanjar – ada ‘kerikil’ dunia gara-gara ‘kerikil’ Tim-Tim – mendapat perhatian serius. Dalam keadaan gamang itu, pertengahan Desember 1998 datang surat PM Australia John Howard. Dia mengusulkan agar Timor Timur diberi waktu beberapa tahun demi otonomi khusus sebelum diberi peluang memilih status-tetap ke depan. Presiden Habibie terkejut dan tersinggung berat. Kalau Alatas dulu berdalih ide otsus itu curang, Habibie lain. Usul Howard ditafsirkannya sebagai kebijakan penjajah Prancis terhadap Kaledonia Baru. Alih-alih mendapat sambutan manis dari Jakarta, banting-stir Howard dengan bahasa puja-puji itu malah menyulut amarah. Maka usulan Habibie demi Jajak Pendapat PBB itu sesungguhnya bertolak dari momentum pahit dan kesal tatkala PM Australia seolah menyamakan Indonesia dan Prancis sebagai penjajah. Kemarahan Habibie itu sepintas identik dengan kebanggaan pemimpin Timor Timur Jose Xanana ‘Key Rala’ Gusmao. Habibie marah marah karena bangga selaku pembela bangsa, tapi sepi tentang ulah tentaranya yang berdarah-darah. Xanana (2003), ketika saya tanya langkah Indonesia apa yang pernah membuat dirinya paling marah, menjawab tegas: “serbuan Indonesia!” (invasi 1975), bukan jatuhnya korban 180an ribu anak bangsa. Yang satu melupakan “aparat”nya yang menjajah bangsa tetangga, yang lain membela bangsanya yang jadi korban. Lain nasionalis, lain patriot.
Bagi Timor Timur, usulan Habibie itu bagai pucuk dicinta ulam tiba. Jajak pendapat memulihkan hak penentuan nasib sendiri menuju kemerdekaan. Sedangkan motif referendum pada Habibie adalah menolak gagasan tersirat bahwa Indonesia adalah penjajah Timor Timur. Howard, meski oportunis dari sudut geo-politik Canberra, tidak keliru: Indonesia adalah agresor dan penjajah Tim-Tim. Bagi Trio Habibie, selaku aktor politik Negara, motif itu tak terlalu soal. Itu bagian dari momentum taktis. Adi Sasono seorang politikus jeli yang tak banyak bicara, bersemangat Islam dan nasionalis, namun pragmatis.
Di kalangan LSM, gaya Adi yang nasionalis itu tak asing lagi di forum INGI. Bang Buyung antusias dengan retorika pedas anti-kolonialnya, tapi terlampau nasionalistis untuk peduli soal Tim-Tim. “Sudahlah Tos, kita upayakan integrasi saja,” begitu pesannya suatu saat. Padahal publik Indonesia, menyusul publik jagad, sejak Peristiwa Santa Cruz 1991, sudah mencium aib soal Tim-Tim. Onghokham, sejarahwan yang lama merenungi ulah Negara, menulis kritis di The Jakarta Post, mengimajinasikan Orde Baru bagaikan Nederlandsch-Indie. Sejalan dengan itu, Ben Anderson, kala berjumpa di Estoril, Portugal (1993), menunjuk: “(Sikon) Tim-Tim itu persis seperti (perang kolonial) Belanda dulu (1945-1949)”. Secara militer Tim-Tim “bisa dihabisi” oleh ABRI, seperti lasykar-lasykar Indonesia bisa dipatahkan oleh Belanda, tapi opsi militer ini secara politik pasti buntu. Begitu pula penahanan Xanana Gusmao di Cipinang (1992): dampak politisnya sama persis dengan penahanan Soekarno di Yogya dan Prapat (1949). Karena itu, Soeharto-ABRI, analog dengan Belanda-KNIL, demi kepentingannya sendiri, mau tak mau harus melepas ikon-ikon bangsa terjajah itu dan berunding.
Sedikit orang menyadari butir ini. Kelak dapat kita catat Indonesia sebagai State harus berdamai dengan Gerakan Aceh Merdeka GAM, yang bukan State melainkan suatu gerakan kemerdekaan (2005). Kemudian pintu pun terbuka bagi Tgk. Hasan di Tiro, yang bertahun-tahun giat di pengasingan, untuk kembali ke Aceh. Adalah langkah historis dan terhormat bahwa Indonesia akhirnya menyelesaikan masalah negara kesatuan dengan referendum (Timor Timur) dan perundingan (Aceh).
Kutukan geo-politik
Tetapi, seperti konflik Aceh dan Papua dicemari perang yang ganas terhadap penduduk sipil, solusi Tim-Tim, selain perang kejam terhadap penduduk, juga dinodai aib besar. Agen-agen Deep State tadi – boleh jadi juga Menteri Transmigrasi Hendropriyono untuk mengatur deportasi – memainkan Plan B sejak hasil Jajak Pendapat PBB diumumkan pada 4 September. Mereka melancarkan aksi bumi-hangus dan kekerasan dengan ratusan milisi sebagai proxies. Hasilnya memburu rakyat, menelan 1400an jiwa, mendeportasikan 200an ribu warga Tim-Tim ke NTT dan menjarah harta benda pejabat-pejabat lokal. Di Dili pada 5 September 1999, rumah hunian kami dibakar dan bersama Mindo Rajaguguk, Yeni Rosa Damayanti dll kami mengungsi. “Lari dan mengungsi sudah menjadi tradisi kami sejak Indonesia masuk,” keluh nestapa sebuah keluarga warga biasa di Dili.
Disitulah terungkap keterbatasan fatal peran Trio Habibie, termasuk presiden himself. Lagi lagi, pihak luar disalahkan. Habibie berdalih kekerasan terjadi karena Sekjen PBB Kofi Annan mempercepat pengumuman hasil jajak pendapat. Tetapi dia sendiri, selaku Panglima Tertinggi ABRI, baru pada 20 September memerintahkan mengendalikan keadaan. Saat itu, darah sudah mengalir, aib sudah terjadi.
Menurut pihak ABRI, kekerasan di Tim-Tim terjadi akibat “perang saudara” yang berkepanjangan antara kelompok pro-integrasi dan pro-kemerdekaan selama ini. ‘Tesis’ ini menjadi hipokrisi karena mengabaikan campur tangan dan agresi Indonesia sepanjang 1974 yang melahirkan kelompok -kelompok pro-Indonesia untuk melawan Fretilin. Dengan dalih “perang saudara”, menjelang referendum dan setelahnya, Pangab Wiranto menuju Dili dengan mengaku membawa “misi damai”. Jose Ramos-Horta, ketika saya temui di Jenewa, menanggapi nyanyian gombal Sang Pangab begini: Wiranto seperti Jack the Ripper (penjahat Inggris abad XIX), tudingnya, “pretending to reconcile the women he raped” (seolah mau mendamaikan perempuan-perempuan yang diperkosanya).
Namun, sungguh ironis, Wiranto dkk belakangan justru beruntung karena ‘diselamatkan’ dari kemungkinan suatu tribunal internasional justru berkat sikon geo-politik ancaman laten Goliath terhadap si Kecil David. Politik boleh berubah dasyhat tapi geografi tidak, tetapi keduanya selalu akan saling terkait. Setelah Panel Spesial SCU (Serious Crimes Unit) PBB pada Februari 2003 memutuskan Wiranto dkk bersalah dan mendakwa mereka melakukan tiga ihwal Crimes against Humanity (Kejahatan terhadap Kemanusiaan: persekusi, pembunuhan massaal dan deportasi), Jaksa Agung Timor Leste Longuinhos Monteiro minta SCU menahan Wiranto (Mei 2004). Ketika SCU bermaksud melaksanakannya, Presiden Xanana Gusmao membatalkan penahanan tsb. Keputusan tersebut strategis dan penting. Ia diputuskan hanya dua tahun – betapa tragis – setelah Timor Leste merdeka (20 Mei 2002) di tengah potensi ancaman ribuan milisi dan keberadaan pasukan Indonesia di NTT – hanya lima tahun sejak deportasi massal yang menyakitkan hati mereka dan menyatukan mereka dengan batalyon ABRI yang berpangkalan di Atambua. Sebelumnya, di sana banyak terjadi kerusuhan pasca-Jajak Pendapat, seperti hilangnya Orang Kedua gerilya Falintil, Mau Hudo. Hal lain yang menghebohkan adalah saat milisi yang berpangkalan di Timor Barat itu membunuh dua staf PBB (2003). Kelak (2009) Jakarta bahkan menuntut seorang pemimpin milisi yang terlibat pelanggaran HAM berat dibebaskan dari tahanan Kejagung Timor sebelum Menlu Hasan Wirayuda tiba untuk menghadiri perayaan ulang tahun Redeklarasi Kemerdekaan Timor Leste 20 Mei. Pendeknya, Dili memandang Atambua dan NTT yang berbatasan dengan Timor Leste, seperti di masa agresi dan intervensi sepanjang 1974, menjadi faktor geo-politik rawan yang berpotensi konflik yang dapat membahayakan negara yang baru lahir ini.
Walhasil, dengan intervensi dan pelukan Xanana pada Wiranto di Bali (2004) dan dengan Pengadilan ad-hoc HAM Indonesia yang mencabut dakwaan terhadap para pati ABRI itu (2003), maka kedua negara melimpahkan impunitas atas kekerasan September 1999 dan para pelakunya. Empat tahun kemudian, Agustus 2008, atas prakarsa Timor Leste, negara baru ini bersama pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersepakat mengubur ‘untuk selamanya’: tidak hanya kasus kekerasan September 1999, tapi juga seluruh tragedi perang dan pendudukan selama 24 tahun, hanya dengan dua gores tandatangan kesepakatan CTF (Joint Commission of Truth & Friendship, KKP, Komisi Kebenaran dan Persahabatan) di Denpasar (2008).
Dengan demikian, baru sejak itulah perang resmi berganti persahabatan. Namun, di bawah kutukan geo-politik tadi, persahabatan baru David dan Goliath harus dibayar dengan impunitas tanpa tribunal internasional. Tak seorang pun perwira dan milisi (kecuali Eurico Guteres) pernah dihukum penjara, idem dito mereka yang pernah berperilaku kejam di pihak Fretilin. Mereka tetap berstatus terdakwa SCU, bahkan naik pangkat di jajaran ABRI.
Tangan-tangan genosidal
Sikon menjelang hari pengumuman hasil Jajak Pendapat PBB 4 September 1999 memang menegangkan. Pak Herb (alm. Herbert Feith) yang tinggal serumah bersama kami, membisikkan berita ‘internal’ bahwa tentara dan kapal-kapal Australia disiagakan. Dini hari pada tanggal itu, kami mendengar gemuruh pesawat Hercules mendarat yang mengangkut pasukan, dan teman-teman yang mengungsi menyaksikan sejumlah pasukan ABRI disiagakan di Laga, dekat Dili. Semua itu tentu bukan pembenaran untuk aksi-aksi genosidal milisi-milisi pro-integrasi keesokan harinya.
Betapa pun, aib besar yang memalukan itu nyaris niscaya. Perang rahasia Indonesia melawan Fretilin (1974 -1978), disusul status Tim-Tim sebagai daerah militer dan propinsi tertutup hingga 1989, telah menempatkan ABRI di Tim-Tim sebagai kelas sosial kuasa yang hegemonik. Pertama kali dalam sejarah, sosok sebuah aparat Negara Indonesia itu sendiri menjadi ruling social class. Ernst Utrecht di tahun 1970 menyebut Indonesia, di bawah Orde Baru, diperintah oleh sebuah “kasta militer”. Wawasan Utrecht ini penting, namun, menurut hemat saya, peran ekslusif oligarkhi-kuasa ABRI ini sebenarnya terlebih berlaku di Tim-Tim pada 1970-1990an. Sepanjang pendudukan selama 24 tahun, ABRI – hanya elit ABRI – menguasai geo-politik dan infrastruktur Tim-Tim. Hanya mereka yang mengetahui dan menguasai kondisi politik, sumberdaya ekonomi-keuangan (kopi PT Denok di bawah Benny Moerdani), struktur dan jaringan klientelis lokal. Semua unsur birokrasi yang terlibat penyelenggaraan Jajak Pendapat PBB, dari Presiden, Trio Habibie, Deplu, Dephukham, Deptrans hingga Pemda dan Camat, harus bekerjasama dengan ABRI. Semua itu memungkinkan elit militer bersinkronisasi secara rahasia menjalankan Plan B. Tak heran, uang palsu untuk membiayai milisi-milisi pun bisa beredar.
Satu-satunya hal yang ‘merecoki’ ABRI pada 1999 adalah kehadiran lembaga PBB UNAMET, media dan LSM-LSM asing dalam jumlah ratusan di kota yang hanya sebesar Madiun. Hal itu, menurut penasehat politik UNAMET Geoffrey Robinson “membuat penguasa militer terkejut”, tak siap. Dengan kata lain, jika tanpa mata dunia itu, persekusi dan genosida – face-to-face genocide ala 1965 (bukan industrial genocide ala Nazi) – bisa terjadi lebih meluas.
Pahitnya, semua itu berlangsung disaksikan dan dibiarkan-seolah-olah-dibenarkan oleh tim resmi pemerintah yang justru bertugas selaku laison officers resmi untuk memantau penyelenggaraan Jajak Pendapat PBB. Di Dili saya menyaksikan mereka hadir dalam jumpa pers, keliling kota, juga ongkang-ongkang di salahsatu bungalow di Pante Makasar Dili. Anehnya, mereka – Marzuki Darusman, Dino Pati Djalal, Timbul Silaen, Benyamin Mangkudilaga dll – balik ke Jakarta sebelum 4 September, hanya dua hari sebelum aksi bumi hangus bermula di Dili yang seharusnya mereka catat dan laporkan dengan seksama. Sama dengan banyak jurnalis media arus utama Jakarta. Kebetulan? Belakangan salah seorang wartawan tersebut mengaku “kami ditelpon Cilangkap diperintahkan pulang”. Benyamin Mangkudilaga, salahsatu laisson officers, pada 2008 mengamininya: “Habis gimana, kami waktu itu diminta pulang oleh Cilangkap kok”. Semua itu menegaskan adanya suatu operasi Plan B langsung dari Jakarta.
Namun, celakanya, tak jelas benar rantai komando militer (chain of command) mana yang bekerja: yang formal (Wiranto, Adam Damiri ke satuan-satuan lokal) atau kelompok informal Menko Polkam (Ijo royo-royo-nya Feisal Tanjung). Selain itu, ada satuan Kopassus, yang oleh seorang diplomat Australia, disebut-sebut sebagai “paling mengancam keamanan”. Masuk akal. Tony Suratman yang bertugas di lapangan adalah anggota Kopassus. Boleh jadi, gabungan ketiganya sampai ke para komandan lapangan Plan B itulah yang mendalangi aksi-aksi kekerasan milisi pro-integrasi sejak serbuan ke rumah keluarga Carrascalao di pusat kota Dili, April, hingga bumi hangus, deportasi dan penjarahan September 1999. Celakanya, video pemeriksaan Wiranto oleh KPP-HAM, justru tentang rantai komando itu, kabarnya sirna dari arsip Komnas-HAM secara misterius.
Dengan Plan B Garnadi itulah Deep State mempraktikkan dengan sempurna Doktrin “NKRI Harga Mati” – sebutlah runaway nationalism – dengan memakai tangan-tangan genosidal milisi-milisi pro-integrasi yang menyandang nama-nama yang jingois, jagois dan xenofobis.
Pada akhirnya, berlawanan dengan aspirasi Trio Habibie mau pun aktivis-aktivis pro-hak Timor tersebut di atas, selepas kediktatoran Soeharto, Indonesia tetap militaristis dengan nasionalisme yang kalang kabut.
Puncak kebrutalan
Timor Timur bukan perhatian utama Trio Habibie, tapi ketiganya ‘kebetulan’ berada di locus yang pas, konjungtur politik yang tepat, dan momentum yang genting. Di situ, dan sebatas itu, mereka menyumbang ke arah jalan keluar yang tepat meski bukan tanpa kegagalan. Suka atau tak suka, di jalan yang sepi itu mereka dan banyak aktivis telah ikut menyumbang pada pewujudan hak kemerdekaan rakyat Timor Leste.
Akhirnya, sebagai pembelajaran bangsa, harus disimpulkan bahwa negara Orde Baru, khususnya dalam hal perilakunya terhadap Tim-Tim, telah menunjukkan puncak kejayaan kebrutalan suatu rezim. Genosida 1965 tentu saja lebih dasyhat, meluas dan mendalam, tetapi maha bencana pertengahan 1960-an itu ‘hanya’lah sebuah halaman pembuka. Di Tim-Tim-lah, Orde Baru dapat berkuasa penuh tanpa memperhitungkan kekuatan politik lain di luar ABRI. Disanalah elite ABRI, meminjam Ernst Utrecht, menjadi sosok “kasta militer”, atau oligarkh eksklusif, sepanjang seperempat abad, dengan mengingkari semangat Proklamasi dan konstitusi yang menghormati “hak segala bangsa”. Sejarah Timor Leste, dengan demikian, merupakan suatu pembelajaran yang amat berharga bagi republik mau pun publik Indonesia.***
Penulis banyak meliput Timor Timur semasa bekerja untuk Radio Nederland (1982-2012). Tahun 2014 menerima medali penghargaan dari Presiden Timor Leste
*) Sebutan ‘Tim-Tim’ disini merujuk ke Timor Timur semasa pendudukan Indonesia 1975-1999, ‘Timor Leste’ untuk pasca Restorasi Kemerdekaan 2002, dan ‘Timor’, ‘Timor Timur’ untuk secara umum.