Belu, CNN Indonesia -- Simao Lopes terlihat sibuk membersihkan halaman belakang rumahnya yang berhadapan langsung dengan samudra lepas. Itulah Selat Ombai yang memisahkan Pulau Timor dengan Alor. Pantai Wini di Kecamatan Insana Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur, merupakan tempat tinggal lelaki berusia 68 tahun itu. Sejauh mata memandang, laut dan langit menghampar luas, dengan bukit gersang rebah di sisi kanan rumah. Wilayah tersebut ialah perbatasan Indonesia dengan bagian barat Timor Leste (dulu Timor Timur) –tanah kelahiran Simao.
Simao menyeberang ke Nusa Tenggara Timur, Indonesia, pada 1999 pasca-kelompok prointegrasi kalah dalam referendum. Ia membawa istri dan empat anaknya ikut serta. Jika tak ikut gelombang eksodus, ujar Simon, nyawa menjadi taruhan, sebab kelompok prokemerdekaan telah mencatat nama-nama orang yang prointegrasi. “Orang yang jahat balas dendam. Kami (kelompok prointegrasi) tahu diri. Kalau di sana, maka kami bisa dibunuh,” kata Simao, menuturkan kisah hidup dia di teras belakang rumahnya yang menghadap ke laut.
Pria suku Dawan itu memulai cerita dengan lembaran terkelam dalam hidupnya. “Saya dicatat PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) sebagai buron nomor satu di Oekusi. Tentu titel pelanggar HAM (hak asasi manusia) ditujukan bagi pihak yang kalah. Mereka yang menang disebut pahlawan,” ujar Simao kepada CNNIndonesia.com, Rabu (3/8/2016). Ia membeberkan fakta muram itu dengan suara tenang. Wajah Simao yang ramah tak sedetik pun menegang. Senyum kerap tersungging di bibirnya.
Oekusi ialah daerah asal Simao. Sebuah eksklave –wilayah negara yang terpisah dari teritori induknya dan dikelilingi area negara lain– di barat Pulau Timor. Secara geografis, Oekusi, meski bagian dari Timor Timur, berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Oleh sebab itu Oekusi berbatasan dengan NTT dari segala penjuru, kecuali bagian utara yang bersisian dengan Laut Sawu.
Di Oekusi itu, tepatnya Passabe, terjadi kerusuhan pada 1999, usai referendum yang menghasilkan keputusan kemerdekaan Timor Timur dari Indonesia. PBB menyebutnya pembantaian oleh milisi prointegrasi. Saat itu diperkirakan lebih dari 80 orang tewas di Passabe, dan 90 persen infrastruktur Oekusi hancur.
Tragedi itu membuat Simao dan 10 orang lainnya pada 2001 didakwa Jaksa Penuntut Umum Pemerintahan Transisi PBB di Timor Timur (United Nations Transitional Administration in East Timor, UNTAET) melakukan kejahatan melawan kemanusiaan. Simao yang merupakan Komandan Tertinggi Milisi Sakunar (Kalajengking) dituduh melakukan kejahatan berat berupa perampasan kebebasan fisik yang melanggar aturan dasar hukum internasional. Dia dan 10 orang rekannya dijatuhi delapan dakwaan, antara lain pembantaian terhadap 47 orang pada 10 September 1999, pembunuhan terhadap 18 orang pada 8 September 1999, penahanan atau pembatasan berat atas kebebasan fisik terhadap 43 orang di Polres Passabe pada 18 April 1999, pemindahan penduduk secara paksa terhadap sekelompok warga sipil yang tidak diketahui jumlahnya pada 9 September 1999.
Sejak saat itu, Simao masuk daftar pencarian orang (DPO) PBB untuk diadili. Tak cuma dia, ratusan orang mantan milisi prointegrasi tercantum dalam daftar buron yang dicari Unit Kejahatan Serius PBB dengan tuduhan melakukan pelanggaran HAM. Padahal, tuding Simao, kelompok prokemerdekaan juga melanggar HAM dengan melakukan pembunuhan besar-besaran. “Sayap kanan propemberontakan yang namanya Falintil East Timor Defence Force dulu berdiri dari tahun 1975. Berapa banyak yang mereka bunuh di hutan? Apa itu tidak melanggar HAM?” kata Simao. “Kebetulan yang memenangi jajak pendapat itu Fretilin, jadi kami milisi pro-Indonesia dicap bertindak anarki, membunuh, membumihanguskan (daerah), dan melanggar HAM berat,” ujar camat Passabe periode 1976-1985 itu.
Fretilin, Frente Revolucionária de Timor-Leste Independente (Front Revolusioner Independen Timor Timur), merupakan partai prokemerdekaan. Sementara Simao ialah anggota Partai Apodeti (Associação Popular Democratica Timorense) yang mendukung integrasi dengan Indonesia.
Total ada 344.580 orang atau 78,5 persen penduduk Timor Timur yang memilih merdeka dalam referendum 30 Agustus 1999. Sementara mereka yang memilih tetap menjadi bagian dari Indonesia sebanyak 94.388 orang atau 21,5 persen warga Timor Timur.
Simao pun angkat kaki dari daerah asalnya yang kini merdeka, demi keselamatannya. Padahal, kata Simao, dalam perundingan tripartit di New York Amerika Serikat antara Indonesia, Portugal, dan PBB pada 5 Mei 1999, sebelum referendum, telah disepakati bahwa kelompok prokemerdekaan akan merangkul kelompok prointegrasi jika memenangi referendum. Begitu pula sebaliknya.
Tanda jasa
Simao hijrah dengan menyandang status buronan PBB. Namun menjadi buron bukan akhir segalanya. Simao, juga rekan-rekannya, boleh saja diburu PBB, tapi mereka dilindungi pemerintah Indonesia. Pun nasib Simao tergolong baik. Tak seperti sebagian pejuang prointegrasi yang merasa tidak diperhatikan pemerintah Indonesia, Simon lebih beruntung.
Setelah mengungsi dari Timor Leste ke Nusa Tenggara Timur, dia menjadi staf Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Utara hingga pensiun lima tahun kemudian, 2004. Simao bahkan dianugerahi Satyalancana Seroja oleh Menteri Pertahanan dan Keamanan Leonardus Benyamin Moerdani –kerap disebut Benny Moerdani– pada 16 Mei 1994 atas jasanya mengatasi ancaman keamanan di Nusa Tenggara Timur.
Satyalancana Seroja, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1978 yang ditandatangani Presiden Soeharto 6 Februari 1978, “Diadakan untuk memberi penghargaan kepada mereka yang berjasa melaksanakan tugas negara dalam menanggulangi gangguan keamanan oleh gerombolan-gerombolan pengacau dari luar perbatasan terhadap kestabilan wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur...”
Itu adalah lencana tanda kesetiaan yang diberikan pemerintah Indonesia selama periode 1975-1999. Tahun 1975 akhir merupakan awal dari Operasi Seroja, invasi militer Indonesia ke Timor Timur yang digelar akibat khawatir popularitas partai sayap kiri Fretilin akan mengarah pada pembentukan negara komunis di perbatasan Indonesia. Keresahan itu disampaikan Presiden Soeharto saat menerima kunjungan Presiden Amerika Serikat Gerald Ford pada 6 Desember 1975. Jika Timor Timur sampai jatuh ke tangan komunis, dicemaskan negara tetangganya “tertular” menjadi komunis seperti kasus Kamboja dan Vietnam.
Pada 17 April 1975, Khmer Merah –sayap militer Partai Komunis Kamboja– menguasai ibu kota Kamboja, Phnom Penh. Setelahnya, Partai Komunis Kamboja yang merupakan cabang Partai Rakyat Vietnam, menjadi partai berkuasa di Kamboja. Tiga belas hari kemudian, 30 April 1975, Angkatan Bersenjata Vietnam Utara (komunis) merebut Saigon, ibu kota Vietnam Selatan (yang didukung AS yang antikomunis), disusul proses bersatunya Vietnam di bawah pemerintahan komunis. Kasus Vietnam-Kamboja itulah yang disinggung dalam pembicaraan Soeharto dan Gerald Ford. Maka 7 Desember 1975, sehari sesudah pertemuan kedua kepala negara, dan satu dekade usai Partai Komunis Indonesia diberangus Soeharto, Angkatan Bersenjata RI memasuki Timor Timur. Operasi Seroja dimulai.
Salah satu arsitek di balik Operasi Seroja ialah Benny Moerdani yang kala itu menjabat Asisten Intelijen Menhankam merangkap Asisten Intelijen Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, Kepala Pusat Intelijen Strategis, serta Wakil Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara. Sebelum Operasi Seroja dimulai, Benny telah mengirim tentara RI menyusup ke Timor Timur. Tanda tangannyalah 19 tahun kemudian selaku Menhankam yang tertera pada Surat Tanda Penghargaan Satyalancana Seroja untuk Simao Lopes.
Selain dianugerahi Satyalancana Seroja, Simao memperoleh piagam penghargaan dari Menteri Pertahanan pada 17 Oktober 2014 atas jasa dan kesetiaannya membela Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai pejuang Timor Timur.
Simao tak sedikit pun menyesal berjuang untuk Indonesia. Ia berkata, amat cinta pada Indonesia. Dia pun merasa beruntung telah memilih pindah ke Indonesia. Menurut Simao, banyak warga Oekusi hidup susah. Di Oekusi, sembilan bahan pokok untuk kehidupan sehari-hari masyarakat, kecuali beras, berasal dari Indonesia sekalipun Oekusi bagian dari Timor Leste.
Tingkat keamanan di Oekusi pun disebut Simao sangat rendah dibanding daerah-daerah yang berada di bawah pemerintahan Indonesia. “Timor Leste sangat tergantung kepada Indonesia,” kata Simao yang pernah menjadi Camat Oesilo, salah satu wilayah di Oekusi.
Meski berstatus penjahat HAM, Simao hingga kini tak ditangkap. Ia bahkan bisa berdiskusi bebas dengan Perdana Menteri Timor Leste Xanana Gusmão di Mota Ain, perbatasan Indonesia dan Timor Leste bagian timur, pada 2012. “Kaki saya ditepuk Xanana ketika kami bicara. Saat itu saya minta rekonsiliasi dilanjutkan, dan dia setuju,” ujar Simao.
Di sela debur ombak, dibelai angin pantai, Simao berkata mensyukuri kehidupan yang telah ia tapaki. Termasuk rezeki pensiunnya sebagai pegawai negeri. Simao tak hendak menuntut apapun lagi dari pemerintah Indonesia. Ia tiba di pengujung kisah. Dengan titel yang disematkan PBB kepadanya sebagai buronan, Simao sudah punya segalanya: kemerdekaan.