Perjuangan rakyat Timor Timur lebih mengandalkan diplomasi internasional ketimbang perlawanan bersenjata.
Oleh Hendaru Tri Hanggoro
SETELAH Revolusi Anyelir di Portugal pada April 1974, Timor Portugis menjadi daerah tak bertuan. Portugal meninggalkan daerah itu, mengakhiri tirani, dan membiarkan organisasi politik tumbuh. Meski sudah ada organisasi politik dengan beragam tujuan, masa depan Timor Portugis belum jelas. Dua negara tetangganya, Indonesia dan Australia, ikut terpanggil untuk menentukan masa depan wilayah itu.
Presiden Soeharto pun mengundang Perdana Menteri Gough Whitlam. Dalam pertemuan di Yogyakarta pada 6 September 1974, Soeharto menanyakan sikap Australia. Whitlam menjawab: “Timor Portugis terlalu kecil untuk berdiri sendiri. Perekonomian mereka belum bisa diandalkan. Kemerdekaan tak bisa diterima, baik oleh Indonesia, Australia, dan negara sekitarnya.”
Soeharto tersenyum. Dia merasa mendapat lampu hijau untuk memasukkan Timor Portugis ke wilayah Indonesia. Tapi ada satu kerikil: Fretilin, yang memperjuangkan kemerdekaan Timor Portugis.
Untuk menghadang perjuangan Fretilin, Soeharto menggelar operasi destabilisasi wilayah Timor sejak Oktober 1974. Tujuannya: memojokkan Fretilin tanpa operasi militer. Salah satu taktiknya melancarkan propaganda bahwa Fretilin agen komunis Tiongkok dan Uni Soviet.
Namun Fretilin tak mudah diintimidasi. Mereka didukung rakyat kebanyakan. Operasi militer terbuka pun dilancarkan pada 7 Desember 1975 di Dili. Korban sipil pun berjatuhan. Tak ada protes dari pemerintah Australia, Amerika Serikat, Inggris, dan Organisasi Non-Blok, di mana Indonesia berlakon sebagai ketuanya.
Sadar tak bisa mengimbangi kekuatan militer Indonesia, yang mendapat dukungan pemerintah Australia dan AS, Fretelin memilih taktik gerilya. Ini dibarengi dengan pencarian dukungan masyarakat Internasional untuk Timor Timur –setelah 1975 nama Timor Portugis tak digunakan lagi.
Clinton Fernandez, lewat bukunya, menjelaskan bagian yang kerap luput dari amatan orang. Sebuah fase perjuangan diplomasi rakyat Timor Leste. “Perang tak hanya berlangsung di gunung, kota, dan desa di Timor Leste, tapi juga di ibukota Indonesia, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), sejumlah negara, dan media internasional,” tulis Clinton.
Sikap Pemerintah dan Aktivis
Invasi Indonesia diketahui beberapa aktivis kemanusiaan di luar negeri. Arnold Kohen, jurnalis berusia 25 tahun, menggalang dukungan untuk menekan kongres AS agar menolak invasi Indonesia. Untuk memperkuat lobinya, dia menghubungi ahli kajian Indonesia terkemuka, Benedict Anderson. Ben bersedia membantu.
Jose Ramos Horta, salah seorang pemimpin Fretilin, berkunjung ke AS pada April 1976. Ben dan kawan-kawannya, termasuk Noam Chomsky, mengundangnya berbicara di Cornell University. Sebelumnya, Horta tampil di depan sidang PBB. “Dia mengingatkan dunia tentang situasi di Timor Timur,” tulis Clinton.
Para aktivis kemanusiaan juga menggalang dan mengirimkan bantuan begitu menerima laporan kelaparan akibat blokade militer Indonesia. Laporan itu berasal dari jurnalis asing –jumlahnya bisa dihitung dengan jari– yang berhasil beroleh izin memasuki Timor Timur.
Seorang pastur dari Society of the Divine World, Stanislaus Bessin, tiba di Atambua dengan membawa 100 ton bahan pangan. Pemerintah Indonesia mencegah masuknya bantuan makanan. Militer hanya berjanji akan meneruskan bantuan itu; entah sampai atau tidak. Empat aktivis Australia mencoba mengirimkan bantuan lewat kapal namun setiba di Pelabuhan Timor Timur mereka ditangkap dan bantuannya disita.
Perhatian juga datang dari aktivis di Inggris. Salah satunya John Taylor, seorang peneliti utama British Indonesia Committee, yang membawa isu Timor Timur ke media-media di Inggris dan melobi anggota parlemen dari Partai Buruh.
Dukungan internasional tak menghentikan langkah Indonesia mendeklarasikan Timor Timur sebagai provinsi ke-27 pada 26 Maret 1979. Secara formal, perjuangan bersenjata kelompok prokemerdekaan telah berakhir. Tapi tidak untuk perjuangan diplomasi.
Titik Balik
Fretilin menyambut hangat perhatian para aktivis kemanusiaan. Mereka menjalin hubungan dengan para aktivis dan saling berbagi informasi. Satu kekuatan penting lainnya di Timor Timur, gereja, juga terlibat dalam pembentukan jejala solidaritas internasional. Dimotori Uskup Bello, gereja melindungi dan membela orang-orang yang menderita karena pendudukan Indonesia.
Selama 1980-an, dukungan untuk kemerdekaan Timor Timur terus mengalir. Terutama dari negara-negara yang pemerintahnya mendukung atau mendiamkan pendudukan Indonesia di Timor Timur, seperti Kanada, Jerman, dan Portugal.
Pembantaian Santa Cruz pada 1991 membawa Timor Timur ke panggung internasional. “Pemerintah Indonesia tak bisa lagi menutupi apa yang mereka lakukan terhadap Timor Timur,” tulis Clinton. Dari Irlandia, Bono, vokalis U2, turut mengecam pembantaian itu. Dia kenal secara pribadi dengan Horta.
Terpilihnya Ramos Horta dan Uskup Belo sebagai penerima hadiah Nobel Perdamaian 1996 menjadi kemenangan publik internasional atas kerja bersama menentang pendudukan Indonesia.
Meski Indonesia meraih kemenangan bersenjata atas Timor Timur, citra Indonesia di masyarakat internasional kian terpuruk. “Apalagi laporan internasional menguatkan pelanggaran HAM berat selama pendudukan Indonesia di Timor Timur seperti jatuhnya korban jiwa dari warga sipil,” tulis Clinton.
Ekonomi Indonesia anjlok pada 1998. Pemerintahan pun berganti. Mulai muncul desakan dari berbagai tokoh di Indonesia untuk menggelar referendum.
Pemerintah Indonesia tak mampu lagi menolak desakan dari dalam dan luar negeri. Sejumlah negara yang mendukung invasi Indonesia pada 1975 seperti AS dan Australia berbalik membela Timor Timur. Alasannya, tulis Clinton, “mereka perlu menata ulang hubungan dengan pemerintah Indonesia setelah 1998. Keadaan Indonesia tak stabil.”
Referendum digelar pada 1999. Hasilnya: rakyat Timor Timur memilih merdeka ketimbang integrasi ke Indonesia.