Cerita Bekas Reserse 3, Skandal Penugasan ke Timor Timur dan Para Jenderal Pengecut


Oleh

Anton Agus Setyawan

(Tulisan Tahun 2015, 26 Juni)


Suatu hari di awal tahun 2000, saya dan ayah saya sedang menonton berita di salah satu televisi swasta yang sedang menyiarkan demo di Jakarta. Di selingan acara, ada wawancara dengan salah seorang pejabat Mabes Polri dengan pangkat Brigadir Jenderal, tiba-tiba bapak saya bergumam "Oh, si pengecut itu sekarang sudah jadi jenderal rupanya,". Bapak saya tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Saya bertanya ", Kok pengecut pak, memang kenapa dia?". Bapak saya kemudian mengambil sebuah kertas lusuh dari lemari di rumah dan menunjukkan pada saya. Ternyata kertas lusuh itu adalah SK penugasan bapak saya ke Timor-Timur dan disertai dengan daftar nama para anggota Polri di Polwil. Bapak kemudian menunjuk beberapa nama perwira yang cukup terkenal saat ini. Saya yang masih bingung kemudian bertanya lagi "kenapa dengan mereka, pak?". Bapak saya menjawab "mereka tidak pernah sampai ke Timor-Timur.". Saya menunggu penjelasan dari beliau.

Ingatan saya kemudian mundur ke sekitar awal 1984, waktu itu saya sudah kelas 4 SD. Pada tahun itu, bapak saya masih berpangkat Letnan Dua (Inspektur Dua) dan menjabat sebagai Kapolsek di sebuah kecamatan di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.  Sore hari di awal 1984, bapak menjelaskan bahwa beliau mendapatkan tugas untuk berangkat ke Timor-Timur. Pada masa itu, banyak anggota Polri dan TNI memang ditugaskan untuk berangkat ke TimTim sebagai bagian dari Tour Of Duty mereka. Tahun 1984 situasi di TimTim sedang bergolak karena pasukan Fretelin (Falintil) mengubah perjuangannya dari perang terbuka menjadi perang gerilya dan sabotase. Mabes ABRI waktu itu memutuskan untuk melakukan Operasi Militer dengan nama Operasi Kikis sebagai kelanjutan operasi Seroja, kode bagi pasukan bapak saya adalah Rotasi XI. Artinya penugasan ke 11 bagi anggota Polri dan TNI sejak operasi Seroja tahun 1975. Saya tahu bapak saya sudah berpengalaman di medan tempur sejak tahun 50-an sampai 60-an, tetapi mendengar orang yang kita cintai harus pergi ke wilayah perang untuk bertempur tetap saja ada perasaan was-was. Pada masa itu, keluarga anggota Polri dan TNI yang kebetulan berangkat ke Tim-Tim ada kemungkinan tidak kembali.

Singkat cerita bapak saya berangkat ke Tim-Tim pada pertengahan 1984 sampai dengan akhir 1985. Beliau menjabat sebagai Kapolsek di Kec. Vatu Carbau di Kab. Viqueque Tim-TIm. Wilayah ini hanya berjarak 3 km dari Gunung Matabean yang merupakan basis gerilya Fretelin. Selama masa penugasan itu, setiap bulan beliau selalu menulis surat menyampaikan kabarnya. Terkadang ibu menyembunyikan surat itu kalau bapak bercerita ketika sedang berpatroli disergap musuh. Bahkan saya baru tahu ketika bapak pulang, bahwa markas Polsek pernah dikepung semalam suntuk dan bapak harus melayani kontak senjata semalam suntuk di kegelapan malam dengan senjata SKS/Chung yang sering macet. Padahal semua itu ditulis disurat bapak, tetapi ibu tidak menyampaikan pada kami. Mungkin beliau tidak ingin anaknya khawatir. Ada beberapa anak buah bapak yang terpaksa menjadi korban para sniper dari Fretelin, bahkan seorang diantara mereka harus gugur seminggu sebelum penugasannya berakhir. Pada akhir 1985, bapak kembali dari Tim-Tim dengan selamat, meskipun seminggu kemudian bapak harus dirawat di rumah sakit karena gula darahnya tinggi.

Kembali ke tahun 2000-an saat saya dan bapak sedang mengobrol sambil melihat TV. Bapak menjelaskan bahwa sebenarnya yang harus berangkat ke Tim-Tim dari Polwil X ada sekitar 140 orang baik perwira, bintara dan tamtama, namun yang berangkat hanya 32 orang. Saya agak heran, bagaimana bisa penugasan dengan jumlah banyak hanya bisa diberangkatkan satu peleton. Bapak saya menjawab kalau tidak ingin berangkat ke Tim-Tim bisa tetapi harus membayar sekitar Rp 100-500 ribu, tergantung pangkatnya, kalau perwira ya bisa Rp 500 ribu. Bapak kemudian menunjukkan nama-nama perwira lengkap dengan NRP-nya (sampai sekarang masih saya simpan daftarnya) yang saat ini banyak yang sudah jadi Jenderal di Mabes Polri. Para perwira lulusan Akpol ini pada tahun 1984 masih berusia antara 27-30 tahun, tetapi mereka semua dinyatakan tidak memenuhi persyaratan fisik untuk bertempur. Bapak saya dengan usia 43 tahun (waktu itu) dan ketika diperiksa oleh dokter gula darahnya mencapai 200 dinyatakan lolos tes fisik untuk bertempur. Ada seorang perwira di Polwil yang juga lulusan Akpol yang menawari bapak untuk membayar sejumlah uang dan bisa dibatalkan penugasannya, bapak saya dengan halus menolaknya. Perwira ini juga bercerita bahwa semua anak-anak lulusan Akpol di Polwil X pada masa itu memilih untuk membayar dan menghindari penugasan ke TimTim. Akhirnya dari satu peleton Polwil X yang berangkat ke TimTim tidak ada satu orang pun perwira lulusan Akpol yang notabene masih muda. Peleton ini dipimpin seorang perwira berusia 40-an dengan kondisi sakit diabetes.

Pada tahun 2003, saat bapak dan ibu saya berkunjung ke rumah mertua saya, bapak saya diajak berkenalan oleh seorang pensiunan Brigadir Jenderal Polisi. Pada saat bapak bercerita pernah bertugas di Tim-tim tahun 1984, bapak pensiunan Brigjen ini bercerita bahwa pada masa itu, penugasan ke Tim-Tim menjadi bisnis bagi banyak perwira Polri, karena mereka bisa mendapatkan banyak uang dari anggota Polri yang menolak penugasan ke Tim-Tim. Bapak saya hanya membayangkan dua anggotanya yang harus tewas diterjang peluru gerilyawan karena kekurangan personel, sebab banyak anggota Polri yang menolak ditugaskan ke Tim-Tim. Ironisnya, para perwira lulusan Akpol yang menolak untuk bertugas di Tim-Tim justru banyak yang jadi Jenderal di Mabes Polri atau menjadi Kapolda.

Sumber

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama